Liputan6.com, Paris - Ledakan besar pada Abad ke-13 merebak hampir ke seluruh muka bumi. Debu menyebar ke mana-mana, hingga kutub. Berbagai budaya seluruh dunia meyimpan kisah tentangnya.
Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, satu per satu potongan-potongan fakta itu tersusun dalam suatu bingkai kisah sesungguhnya.
Advertisement
Baca Juga
Dikutip dari Qimisummit.com pada Jumat (16/9/2016), sekitar 3 tahun lalu para peneliti Prancis mengaku telah menemukan sumber ledakan yang membahana tersebut.
Tim peneliti di bawah pimpinan Franck Lavigne dari Université Paris 1 Panthéon-Sorbonne menduga bahwa itu adalah letusan gunung Samalas yang berada di pulau Lombok, Indonesia.
"Orang sudah lama mencari-cari." Tapi, baru setelah temuan bukti oleh para ahli glasiologis sekitar 3 dekade lalu, para ilmuwan bisa menentukan sumber bencana global tersebut," kata Lavigne.
Dugaan para peneliti, ledakan besar itu diduga delapan kali lebih kuat daripada ledakan Krakatau (1883) dan dua kali lebih kuat daripada erupsi Tambora (1815). Dari bukti-bukti yang ada, letusan gunung itu diduga terjadi antara Mei dan Oktober 1257.
Temuan itu dituangkan dalam Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS).
Penyingkapan Tabir Misteri
Untuk memecahkan misteri itu, tim multidisiplin mencocokkan petunjuk-petunjuk yang sudah diketahui dengan hasil tarikh radiokarbon, jejak kimia semburan vulkanik, data stratigrafik, dan tulisan-tulisan bersejarah.
Lavigne menjelaskan, "Erupsi itu diketahui dalam banyak disiplin keilmuwan oleh banyak peneliti, tapi masalah utamanya adalah mereka bekerja masing-masing secara terpisah."
Menurutnya terpecahkannya teka-teki letusan Samalas dapat menjadi langkah penting untuk mengungkap erupsi-erupsi lain. "Ada ahli geologi, geokimia, geografi, sejarah, spesialis tarikh karbon, dan lainnya, semua peneliti dengan spesialisasi berbeda untuk menggabungkan fakta-fakta."
Bencana 1257 itu melontarkan 40 kilometer kubik debu hingga 43 kilometer di angkasa dan kemudian menghujani seluruh dunia. Di sekitar tempat ledakan sendiri debu-debunya menumpuk menjadi endapan tebal yang disampel di 130 titik oleh para peneliti. Hasilnya adalah gambaran stratigrafis dan sedimentologis tentang kejadian ledakan itu.
Para peneliti kemudian mempersempit tebakan rentang waktu ledakan menggunakan sampel 3 batang dan cabang pohon hangus di seputar gunung Samala dan Rinjani.
Data radiokarbon yang dihasilkan konsisten dengan tanggal erupsi. Tidak ada sampel yang berasal dari 1257. Dengan hasil ini, para peneliti bisa mengesampingkan ledakan El Chichón dan Okataina yang terjadi di luar rentang waktu hasil pentarikhan karbon.
Gunung Quilotoa di Ekuador memang menghasilkan erupsi masif pencipta kaldera kira-kira pada waktu yang sama dan menyisakan kaldera serupa dengan Segara Anak di Lombok, tapi bukti-bukti dalam es memberi kepastian.
Komposisi geokimia yang mempelajari serpihan-sepihan kaca di lapisan es Greenland dan Antartika tidak terlalu cocok dengan susunan kimia kaca bongkahan Quilotoa. Sebaliknya, susunan kimia itu malah sangat cocok dengan Samalas.
Ahli geologi Ben Andrews dari Global Volcanism Program di Smithsonian Institution mengatakan, "Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak yang tidak kita ketahui tentang erupsi vulkanik, bahkan pertanyaan-pertanyaan yang sepertinya paling mendasar."
"Tim internasional para cendekiawan ini telah sangat membantu kita mengerti tentang hal ini," lanjutnya. Global Volcanism Program menyediakan kepada publik basis data erupsi vulkanik selama 10 ribu tahun.
Advertisement
Dampak ke Seluruh Dunia
Erupsi Samalas jelas terjadi dekat garis khatulistiwa, tapi dampaknya terasa di seluruh dunia. "Iklim terganggu setidaknya selama 2 tahun setelah erupsi," kata Lavigne.
"Bukti tentang ini ditemukan dalam penelitian cincin-cincin pohon yang menyingkap kecepatan pertumbuhan abnormal, model iklim, maupun catatan historis bahkan hingga ke Eropa."
Sejumlah catatan Abad Pertengahan menceritakan adanya "tahun tanpa musim panas", yaitu ketika musim panas 1258 justru bersuhu dingin sehingga panen gagal dan hujan tak henti yang memicu banjir perusak.
Sebaliknya, musim dingin Eropa sesudah letusan malah lebih hangat, karena erupsi tropis tersebut memiliki kandungan tinggi belerang (sulfur).
Tim peneliti mengutip catatan bersejarah dari Arras di utara Prancis yang menyebutkan bahwa musim dinginnya terlalu jinak sehingga "bekunya tidak sampai dua hari."
Bahkan, pada Januari 1258, "bunga violet bermekaran, dan pohon stroberi serta apel bertunas."
Di Indonesia, catatan yang ada menyebutkan bencana yang jauh lebih dahsyat. Babad Lombok menjelaskan adanya ledakan masif gunung berapi hingga membentuk kaldera di Gunung Samalas di pulau Lombok.
Diceritakan di situ tentang kematian ribuan orang karena aliran aspal dan lahar yang menghancurkan Pamatan, ibukota kerajaan, dan daerah sekitarnya.
Catatan yang ada memang tidak menyebutkan tanggal pasti, tapi sekedar menyebutkan terjadi sebelum akhir Abad ke-13, sehingga catatan sejarah ini bersesuaian dengan bukti ilmiah erupsi tersebut.
Andrews mengamati bahwa penjelasan sesungguhnya erupsi itu sangat jarang ada karena terjadi hanya sekali tiap 600 tahun.
"Kejadian ini ditulis ketika terjadi dekat dengan orang yang menuliskan catatan, tapi tidak sedemikian dekatnya hingga erupsi merenggut mereka."
Dalam kasus Samalas, masih mungkin dilakukan temuan peninggalan-peninggalan fisik yang lebih kuat daripada tulisan-tulisan. Pamatan, ibukota kerajaan Lombok purba, mungkin terkubur karena ledakan besar itu.
Catatan para penulis penelitian menyebutkan, "Pamatan mungkin bisa dibilang 'Pompeii di Timur Jauh'", walaupun kondisinya tidak bisa ditebak.
Andrews menambahkan, "Hal itu jelas menarik. Kadang-kadang dampak alirah lahar bisa cukup lembut seperti Pompeii, ketika debunya membunuh semua warga tapi tidak membinasakan kotanya. Erupsi lain, semisal Gunung St. Helens pada 1980 meratakan pedesaan, jadi aliran lahar ini kadang-kadang membinasakan semuanya. Tidak bisa diketahui."
Dalam laporan PNAS.org disebutkan bahwa kala itu sebagian besar wilayah Lombok, Bali, dan bagian barat Sumbawa menjadi steril dan tak dapat dihuni selama beberapa generasi.
Temuan ini mungkin bisa menjelaskan alasan mengapa Raja Kertanegara dari Jawa yang melakukan invasi ke Bali pada 1284 tidak menemukan perlawanan dari penduduk lokal.