7 'Ramalan' Nasib Amerika di Bawah Kepemimpinan Donald Trump

Profesor dari Univeristas Princenton memprediksi, akan ada sejumlah isu politik yang akan mendominasi di tahun 2017. Apa saja?

oleh Irma Anzia diperbarui 03 Jan 2017, 06:27 WIB
Diterbitkan 03 Jan 2017, 06:27 WIB
20161110- Gaya Donald Trump Saat Bertemu Obama di Gedung Putih-Reuters
Presiden AS Barack Obama bertemu dengan Presiden terpilih Donald Trump di Gedung Putih, Washington, AS, Kamis (10/11). Meski saat kampanye Obama berseberangan dengan Trump, kini ia meminta rakyat AS untuk mendukung Trump (REUTERS / Kevin Lamarque)

Liputan6.com, New York - 2017 baru saja berlangsung tiga hari. Namun, siap-siap, bisa jadi akan banyak catatan sejarah yang ditorehkan pada tahun ini.

Hal tersebut dikemukakan oleh Julian Zelizer, profesor sejarah dan hubungan internasional di Princenton University dalam opini CNN yang dikutip Liputan6.com pada Selasa (3/1/2017).

"Hal ini karena Donald Trump mengguncang AS dengan kemenangannya dalam pemilu presiden yang tak terduga," tulis Zelizer.

"Kampanye, persona, gaya, dan retorikanya -- tidak pernah ada kandidat politik utama seperti dia sepanjang sejarah, apalagi menjadi pemenang," lanjutnya.

Profesor yang juga penulis buku "Jimmy Carter" itu menganalis, setelah tahun yang penuh kejutan, tidak mudah untuk memprediksi ke mana AS akan melangkah. Namun, sejumlah isu politik besar kemungkinan akan mendominasi tahun 2017.

Anggota dari lembaga think tank New America ini memprediksi akan ada sejumlah isu politik yang akan mendominasi di tahun 2017.

Berikut penjabaran 7 isu penting yang akan dihadapi AS. Apa yang terjadi Negeri Paman Sam tentu saja akan berpengaruh terhadap politik dunia secara keseluruhan.

Salah satu pertanyaan besar yang bakal mendominasi tahun shio Ayam ini adalah, akankah AS terlibat langsung dalam perang?

1. Nasib Kelas Menengah AS

Isu terdepan dalam Pilpres 2016 adalah kenyataan bahwa kelas menengah Amerika tengah berada dalam kesulitan.

Meskipun indikator ekonomi terlihat baik, kebanyakan keluarga di Amerika Serikat tidak merasakan masa depan yang aman. Mereka melihat makin melebarnya jurang ekonomi antara si miskin dan si kaya, dan merasa takut bahwa anak-anak mereka akan terperosok ke strata sosial terbawah.

"Mereka memiliki pekerjaan dan pendapatan yang lebih baik dari beberapa tahun yang lalu, namun jenis pekerjaan yang  dapat mereka nikmati tampak kurang stabil dibandingkan saat maraknya serikat pekerja, dengan renumerasi yang lebih sedikit, serta prospek peningkatan karier yang lebih suram," jelas Zelizer.

"Dengan biaya pendidikan dan kesehatan yang makin melonjak, mereka khawatir akan masa depan anak-anak mereka," lanjutnya.

Para pendukung capres dari Partai Republik Donald Trump bergembira merayakan hasil perhitungan suara di Ohio dan Florida di Manhattan, New York, AS, (8/11). (REUTERS / Carlo Allegri)


Isu ini nyata terlihat dalam bentuk dukungan terhadap Bernie Sanders dalam pemilihan di Partai Demokrat.

Kegelisahan ekonomi juga yang mendorong jutaan warga untuk memilih Donald Trump dan bukan Hillary Clinton, karena yakin bahwa perubahan yang fundamental amat diperlukan jika komunitas mereka ingin terbangun kembali.

Apa pun perbedaan antara kedua partai, terdapat persamaan dalam masalah utama.

"Pertanyaannya adalah apakah pemerintahan Trump nanti akan bertindak untuk mengatasi kekhawatiran ini, dan dengan cara yang memungkinkan bagi kubu Demokrat untuk membantu mereka," analisis Zelizer.

Meskipun tentu terdapat beberapa isu yang merapatkan Trump pada kebijakan kubu partai Republik, seperti potongan pajak untuk pemasok, terdapat pula wiayah-wilayah yang memungkinkan untuk dilakukan kesepakatan.

"Kuncinya adalah bahwa paket infrastruktur tidak boleh berupa serangkaian potongan pajak untuk proyek-proyek swasta, yang sejauh ini telah diusulkan Trump, namun lebih baik berupa stimulus pendanaan yang  akan membuka lapangan pekerjaan yang baik bagi para pekerja," tandasnya.


2. Kebijakan Anti-Terorisme AS

Kini saatnya untuk memperbarui total kebijakan anti-terorisme AS.

Dengan kemunculan ISIS, Amerika Serikat dan dunia telah menghadapi peningkatan ancaman jaringan teroris yang tersebar dan mengandalkan pelaku tunggal yang berkomitmen untuk melakukan tindakan keji atas nama ISIS.

Jenis serangan seperti ini dapat dianggap sebagai serangan terhadap "target lunak," seperti pertokoan saat liburan Natal, dan klub malam, yang biasanya bukan merupakan fokus operasi keamanan.

Bendera ISIS (Reuters)

Kemudian, terorisme sering kali dilakukan oleh individual 'sakit jiwa' yang menyatakan persekutuan mereka dengan ISIS meskipun mereka tidak atau hanya sedikit berhubungan langsung dengan kelompok teroris itu.

"Sebagai sebuah negara dan bagian dari komunitas internasional, Amerika telah gagal menerapkan strategi yang efektif untuk memerangi ancaman ini. Negara adidaya ini harus berpikir ulang tentang upaya keamanan mereka dan mengembangkan cara yang lebih baik untuk menandai individu yang mungkin bermasalah," kritik Zelizer.

Mereka juga perlu mengarahkan operasi keamanan kepada target lunak dan bukan hanya lokasi yang banyak dikunjungi turis.

Hingga mereka mampu melakukannya, mereka akan terus-menerus hidup dalam ketakutan.

3. Nasib Institusi Demokrasi AS?

Pertanyaan tentang apakah institusi demokrasi AS akan bertahan dalam masa kepresidenan Trump telah disuarakan oleh banyak kritikus.

Kandidat independen Evan McMullin termasuk yang terdepan, menulis sejumlah peringatan bahwa ia melihat kecenderungan autokrat dan kediktatoran dalam presiden yang baru akan mengancam kebebasan pers, kebebasan rakyat, dan seterusnya.

"Pemahaman Trump akan kekuatan eksekutif akan membuat cabang lainnya waspada dan dalam posisi defensif," kata Zelizer.

"Kaum Konservatif yang sering mengecam Demokrat karena terlalu banyaknya campur tangan pemerintah dalam ekonomi telah waspada saat presiden yang akan datang ini menyuarakan kemarahan terhadap bisnis tertentu dan mulai mengancam jika mereka memindahkan pabrik ke luar negeri."

Seorang pria mengambil gambar rambu bertuliskan

Penolakan Trump, tambah Zelizer, adalah  untuk mengambil langkah drastis untuk melenyapkan potensi konflik kepentingan yang muncul akibat kerajaan bisnis yang dimilikinya -- telah meningkatkan kewaspadaan tentang apakah presiden yang satu ini akan membuat keputusan besar tentang kebijakan domestik dan luar negeri hanya dengan mempertimbangan kepentingan bisnis keluarganya dan bukannya untuk kepentingan nasional.

Meskipun keluhan tentang kekuatan eksekutif yang berlebihan dan penyalahgunaan kekuasaan selalu didengungkan dalam dunia politik, kekhawatiran yang nyata tentang kondisi institusi demokrasi AS saat ini lebih meningkat jauh dibandingkan sebelumnya.

4. Nasib Jurnalis AS?

Jurnalisme AS dapat disebutkan dalam kondisi krisis. Setahun belakangan, telah terbuka sejumlah tantangan struktural, profesional, dan teknologi yang mengguncang  industri ini.

"Tekanan komersial yang dihadapi hampir semua organisasi berita  televisi dan cetak telah mendorong upaya mengejar berita yang mungkin tidak terlalu perlu diperhatikan namun dijamin akan dibaca oleh banyak mata," kata Zelizer.
 
AS kini memiliki pemerintahan akan datang yang jelas telah menantang pers, dan ini tak pernah terjadi sejak Presiden Nixon dan Wakil Presiden Spiro Agnew -- yang mengincar "para pemilik media kaya yang penuh kenegatifan" dengan menahan informasi dari para wartawan dan sedapat mungkin menghindari kontak langsung.

Donald Trump Usir Wartawan Keturunan Meksiko Saat Konfrensi Pers (CNN)

"Media sosial memberi kesempatan bagi Trump untuk berbicara langsung kepada para pengikutnya dengan memotong jalan media utama," ungkap Zelizer.

"Trump tak ragu-ragu untuk menyerang langsung para wartawan, seperti yang telah dilakukannya melalui Twitter, dalam lingkungan media sosial tak sehat yang mendorong serangan sengit dari para pengikutnya," kecamnya.

Fenomena berita palsu dan bersedianya para aktor politik untuk mengucapkan hal-hal yang tidak benar juga memaksa wartawan untuk mencari cara mengatasi informasi semacam ini sementara tetap menerapkan standar profesi yang tinggi.

Semua tantangan tersebut telah tumbuh sejak beberapa lama, tidak muncul begitu saja pada tahun 2016. Namun pemilu tahun ini telah membawa mereka semua menjadi yang terdepan dalam debat nasional dan, untuk  beberapa pihak, mengungkap konsekuensi berbahaya yang dapat dihasilkan oleh era jurnalisme saat ini.

5. Apa Jadinya Jika 'Kekuatan Jahat' Bebas

Meski banyak politikus partai Republik yang mengabaikan bagian buruk dari kampanye partai mereka, mereka tak dapat melakukannya. Menghindari kekejian di tahun lalu tidak akan meminimalkan kekuatan amat gelap dari tim kampanye Donald Trump.

Melalui pernyataan-pernyataannya yang berpolemik dan kontroversial, Trump memobilisasi elemen paling reaksioner dari konstituennya.

"Kata-katanya sendiri tentang imigran ilegal sebagai "pemerkosa dan pembunuh," hinaan-hinaannya yang seksis, serangannya terhadap seluruh pemeluk Islam, dan keraguannya untuk menjauhkan diri dari orang-orang semacam David Duke (pemimpin Ku Klux Klan - red) telah menyemangati kelompok pinggiran Amerika yang marah terhadap kecenderungan pluralitas masyarakat Amerika sejak tahun 1960-an," kritik Zelizer.

Hanya karena kampanye telah berakhir, dan Trump telah beralih ke moda "pemerintah" tidak berarti bahwa semua pemilih dan organisasi yang menjadi bersemangat karena kampanyenya akan hilang begitu saja.

Mereka tidak dapat bermain-main dengan semangat politis untuk kepentingan politis, dan lalu berasumsi bahwa hal itu dapat dilupakan.

Apakah Demokrat atau Republik dapat melawan kekuatan ini akan menjadi bagian penting dari tahun depan. Sebagaimana diketahui para provokator di masa lalu, adalah hal yang mustahil untuk memperbaiki kerusakan yang telah dilakukan oleh kampanye mereka. Peningkatan kejahatan karena kebencian yang terjadi setelah pemilu mungkin hanya sedikit contoh akan apa yang akan terjadi di masa depan.

6. Peran Partai Demokrat

Partai Demokrat benar-benar terhantam di pemilu kali ini. Dengan pemerintahan yang bersatu, partai Republik kini dapat melakukan perubahan besar jika mereka kompak.
 
Belum jelas apakah partai Demokrat tahu apa yang harus mereka lakukan. Beberapa dari mereka merasa perlu untuk bekerja sama dengan pemerintah baru, mencari area yang dapat disepakati bersama.

Yang lainnya bersikeras melawan usulan untuk bekerja sama dengan Trump karena apa yang diusungnya dan ancaman radikal yang diluncurkannya, kabinetnya, serta Kongres Partai Republik terhadap jaring pengaman sosial.

Mereka telah melihat bagaimana partai Republik telah berhasil secara politis dengan menjadi penghalang selama masa kepresidenan Obama. Dan kini, mereka merasa tidak ada alasan kenapa mereka tak dapat melakukan hal yang sama.

"Pertarungan akan siapa yang akan mengarahkan Komite Nasional Demokrat telah menjadi debat tentang siapa yang memiliki visi terbaik untuk membangun kembali elektoral dan organisasi Demokrat setelah mereka menerima begitu banyak cobaan sejak 2010 dengan semakin banyaknya peta politik yang berubah menjadi merah," analisis Zelizer.

Menurut Zelizer, Partai Demokrat harus mulai membuat beberapa keputusan besar tentang bagaimana harus merespon dalam beberapa bulan setelah Tahun Baru. Pertempuran paling awal mungkin saat Trump mengusulkan RUU Infrastruktur.

Mereka juga harus memutuskan bagaimana akan menanggapi jika Presiden Trump menggunakan kekuasaan eksekutif untuk mulai memereteli kemajuan yang telah dicapai Presiden Obama dalam isu-isu utama seperti perubahan iklim.

7. Apakah AS Akan Berperang?

Kemungkinan perluasan konflik militer mungkin akan meningkat dengan hasil pemilu kemarin. Presiden terpilih Trump adalah orang yang tidak keberatan menjadi provokatif dan telah membuat beberapa pernyataan yang mengancam diplomasi, seperti tentang bagaimana ia akan menanggapi ISIS, dan beberapa kali ia juga mengangkat tema isolasi.

Dalam beberapa hari setelah memenangkan pemilu, ia menerima telepon dari pemimpin Taiwan, sebuah ancaman nyata terhadap kebijakan "satu Tiongkok" yang telah diikuti AS sejak 1970-an, dan Trump melanjutkan tema ini dengan cuitan yang menyerang negara adidaya komunis terakhir itu.

Di sisi lain, ia mendukung pemerintah Rusia -- yang dengan mudah dapat menciptakan situasi panas di seluruh dunia.

Terdapat pula beberapa orang kepercayaannya, seperti Penasihat Keamanan Nasional Mike Flynn dan calon Wakil Menteri Luar Negeri John Bolton, yang bersedia menggunakan kekuatan militer sebagai langkah pertama.

Kondisi Aleppo yang belum hancur akibat perang, Suriah (3/12). Pertempuran sengit antara tentara Suriah dengan pemberontak menyebabkan kondisi Aleppo semakin memprihatinkan. (AFP PHOTO / Youssef KARWASHAN) Mungkinkan banyaknya jendral di kabinet akan mengarah pada kecenderungan untuk menggunakan kekuatan militer dibandingkan diplomasi?

Rakyat AS kini berada dalam situasi yang memanas. Perang sipil di Suriah telah menjadi bencana kemanusiaan yang kemungkinan belum akan berakhir dalam waktu dekat.

Presiden Rusia Vladimir Putin semakin berani dan akan memberi lebih banyak dukungan pada rezim brutal Bashar al-Assad. Konflik yang telah ada ini, dengan presiden AS yang memiliki visi yang lebih jelas tentang siapa yang akan dilawannya membuat dunia menahan napas melihat apa yang akan terjadi nanti.

Isu konkret paling penting  yang harus dibahas adalah perjanjian nuklir dengan Iran. Meskipun perjanjian ini amat kontroversial saat dibuat, kini perjanjian telah dijalankan.

Bahkan pengkritik seperti Jendral James Mattis, calon Menteri Pertahanan, berpendapat bahwa itu tak mungkin dibatalkan. Namun jika Trump menggunakan kekuasaan eksekutifnya untuk membatalkan perjanjian, maka ini akan menjadi tanda pertama yang jelas bahwa Amerika akan semakin mendekati perang yang berbahaya dengan Iran.

Amerika memasuki tahun 2017 dengan sangat terbelah, dengan satu sisi takut akan konsekuensi dari kepresidenan Trump, sedangkan yang lainnya dengan harapan besar bahwa kita akan memasuki periode perubahan yang positif. "Sebentar lagi kita akan mengetahui siapa yang benar," tutup opini Zelizer.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya