Donald Trump Akhirnya Mengakui Intervensi Rusia dalam Pilpres AS?

Menurut Priebus, presiden AS terpilih itu tidak menolak laporan intelijen yang mengungkap keterlibatan Rusia dalam pilpres AS.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 09 Jan 2017, 13:40 WIB
Diterbitkan 09 Jan 2017, 13:40 WIB
Donald Trump
Donald Trump (Reuters)

Liputan6.com, Washington, DC - Donald Trump tidak lagi menyangkal dugaan serangan siber yang dilakukan Rusia terhadap rivalnya dalam pilpres Amerika Serikat (AS), Hillary Clinton dan Partai Demokrat. Hal tersebut disampaikan Reince Priebus, sosok yang dipilih Trump untuk mengisi jabatan kepala staf Gedung Putih.

"Menurut saya dia menerima hasil temuannya (data intelijen yang mengacu pada FBI, CIA, dan NSA)," ujar Priebus seperti dikutip dari The Guardian, Senin, (9/1/2017).

Versi terbuka dari laporan yang menunjukkan bahwa Presiden Rusia, Vladimir Putin memerintahkan sebuah operasi demi memenangkan Trump dirilis pada Jumat. Trump sendiri sudah mendapat pengarahan satu hari sebelumnya.

Meski demikian, Priebus berusaha untuk "mengurangi" ketegangan atas skandal peretasan yang dilanjutkan dengan publikasi email yang dicuri ini oleh WikiLeaks.

"Semua ini sudah dimulai dari Rusia sejak 50 tahun yang lalu, dengan kata lain ini adalah sesuatu yang telah terjadi di pemilu kita selama bertahun-tahun. Ini terjadi dalam setiap periode pemilu," kata Priebus.

Presiden Putin telah membantah terlibat dalam peretasan. Sementara penegasan belum keluar langsung dari mulut Trump apakah ia menerima atau menolak laporan intelijen yang menyimpulkan peran Putin untuk melemahkan legitimasi pemilu dan membantu kampanye Partai Republik.

Semasa kampanye, Trump terkadang bertentangan atau bahka menolak pernyataan yang dibuat oleh penasihatnya. Sejak dirinya terpilih hingga saat ini, Trump belum sekali pun mengadakan konferensi pers untuk menjawab berbagai isu dan menjelaskan arah kebijakan pemerintahannya kelak.

Sementara itu, para pejabat intelijen dikabarkan memberikan Trump pengarahan pada Jumat lalu. Dan selang dua hari kemudian, juru bicara Trump, Kellyanne Conway mengatakan kepada CNN bahwa, presiden terpilih AS itu percaya "Rusia, China dan sejumlah pihak lain telah berusaha untuk menyerang institusi pemerintahan, bisnis, dan individual serta organisasi beberapa kali."

"Namun kita tidak membutuhkan WikiLeaks untuk meyakinkan rakyat Amerika bahwa mereka tidak menyukainya (Hillary), tidak memercayainya, dan menemukan bahwa dia tidak jujur. Dia yang memulainya," kata Conway.

Priebus bahkan berpendapat bahwa Partai Demokratlah yang "mengizinkan" para peretas mencuri email mereka. Namun beberapa senator dari Partai Republik di antaranya John McCain dan Lindsey Graham menegaskan bahwa aksi peretasan merupakan preseden berbahaya bagi legitimasi pemilu di masa depan.

Keduanya menyerukan agar AS lebih banyak memberi bantuan ke Ukraina dalam menghadapi Rusia selain tentunya menjatuhkan sanksi baru ke Negeri Beruang Merah.

"Kita semua, baik Republikan maupun kaum Demokrat harus mengecam Rusia atas apa yang mereka lakukan. Dan sebagian Republikan mengutuk apa yang dilakukan Rusia sementara bagi orang-orang yang bergembira dengan itu maka Anda adalah peretas politik, Anda bukan Republikan, Anda bukan seorang pahlawan," kata Graham.

Lebih lanjut, Graham berharap Trump akan membalas dugaan tindakan peretasan oleh Rusia sehingga dapat mencegah hal serupa terulang kembali. Di lain sisi, McCain mengatakan akan menyelidiki persoalan tersebut dengan rekan-rekannya di Kongres, tak peduli bahkan meski ia harus ditentang Senat atau Gedung Putih.

Tak lama, Presiden Barack Obama mencuatkan kekhawatirannya tentang para petinggi Partai Republik yang mungkin akan mendukung Putin. Ia pun mendesak semua rakyat AS bersatu.

"Kita harus mengingatkan diri kita untuk berada di tim yang sama. Dan Vladimir Putin tidak termasuk di dalam tim kita," tegas Obama.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya