Liputan6.com, Jakarta - Banyak perubahan dalam diri manusia. Dengan kemajuan selama ini, kita telah mengembangkan bentuk-bentuk pemerintahan, teknologi, dan hal-hal baru dalam seni dan ilmu pengetahuan.
Tapi, baik hidup di masa lampau ataupun alam demokrasi modern sekarang, ada beberapa hal yang tidak pernah berubah. Misalnya, kita marah dan ingin mengatakan kepada orang lain yang telah menyebabkan kemarahan itu.
Advertisement
Baca Juga
Seperti dirangkum dari listverse.com pada Selasa (16/5/2017), ungkapan demikian biasanya kita sampaikan dalam bahasa yang dipilih-pilih tapi tidak banyak bedanya entah dalam bahasa Sumeria di masa lampu atau bahasa masa kini.
Ada beberapa bukti tulisan-tulisan kemarahan yang menyintas dari peradaban-peradaban lampau. Bahasa dan tulisan menjadi temuan hebat untuk menyampaikan rasa geram kepada sesama manusia seperti tujuh pesan berikut ini:
1. Lempeng Keluhan Terkait Bisnis Tembaga
Pria bernama Nanni yang hidup sekitar 4000 tahun lalu pada 1750 SM adalah seorang pengusaha tembaga di Ur, sebuah kota Babilonia. Suatu kali, ia merasa kecewa dengan pengiriman batangan tembaga yang diterimanya dari pemasok bernama Ea-nasir.
Nanni kemudian mengirim pesan keluhan kepada pemasoknya. Isi pesan pada lempeng tanah liat yang sekarang ada di British Museum itu mirip dengan isi keluhan pelanggan pada masa kini.
Ada dugaan bahwa praktik kotor berbisnis oleh Ea-nasir kemudian merugikan dirinya. Ekskavasi rumahnya menengarai bahwa ia harus menjalani hidup lebih sederhana, diduga untuk mencukupi diri dengan berkurangnya pemasukan dari bisnis tembaga yang semakin sulit.
Demikian bunyi keluhannya:
Bilang kepada Ea-nasir: Nanni mengirimkan pesan ini: Ketika kamu datang, kamu bilang begini: "Saya akan memberikan Gimil-Sin (ketika ia datang) batangan-batangan tembaga bermutu bagus."
Kamu pergi tapi tidak melakukan apa yang kamu janjikan kepada saya. Kamu memberikan batangan-batangan yang tidak bagus kepada utusan saya (Sit-Sin) dan berkata: "Jika kamu mau membawanya, bawalah; jika tidak mau membawanya, pergilah!"
Kamu anggap saya ini siapa, memperlakukan seseorang seperti saya dengan hinaan? Saya telah mengirimkan para utusan yang bermartabat seperti kita untuk mengambil kantong uang (yang kamu isikan) tapi kamu memperlakukan saya dengan hina karena beberapa kali memulangkan mereka dengan tangan hampa, bahkan melintasi wilayah musuh.
Apakah ada satupun di antara para pedagang yang berdagang dengan Telmun pernah memperlakukan saya seperti ini? Hanya kamulah yang memperlakukan utusan saya dengan hina! Berkaitan dengan satu mina perak yang menjadi hutang saya kepadamu, kamu bicara seenaknya, sementara saya telah menyetor kepada istana 1080 pon tembaga demi kamu, selain daripada apa yang kita telah tuliskan pada lempeng bersegel yang disimpan dalam kuil Samas.
Bagaimana perlakuanmu untuk tembaga itu? Kamu telah menahan-nahan kantong uang saya di wilayah musuh; sekarang kewajibanmu untuk mengembalikan (uang saya) sepenuhnya.
Camkanlah bahwa (sejak saat ini) saya tidak akan lagi sudi menerima tembaga yang bukan bermutu baik. (Sejak saat ini) saya akan memilih dan mengambil masing-masing batangan di halaman saya, dan saya memiliki hak menolak karena kamu telah memperlakukan saya dengan hina.
Advertisement
2. Surat Seorang Wanita yang Tertekan
Bangsa Sogdia adalah bangsa keturunan Iran. Mereka memainkan perang penting dalam perdagangan di Jalur Sutra dari abad ke-4 hingga 9. Seorang wanita Sogdia yang terjebak di kota Dunhuang menulis surat yang ditujukan kepada suaminya:
Lihatlah, aku masih hidup…dengan buruk, tidak sehat, menderita, dan aku menganggap diriku sudah mati. Berulang-kali aku mengirimkan surat kepadamu, tapi aku tidak menerima satupun surat dari kamu, dan aku sudah putus asa terhadapmu.
Nestapaku ialah bahwa aku ada di Dunhuang selama 3 tahun, karena dirimu, walaupun ada kesempatan pertama, ke dua, bahkan ke lima, tapi kamu menolak membawa keluar…Pastilah para dewa murka kepadaku ketika melakukan kemauanmu! Lebih baik aku menjadi istri anjingmu atau babimu daripada menjadi istrimu!
3. Menolak Surat
Di masa Kekaisaran Neo-Babilonia, tabung-tabung tanah liat dipakai sebagai surat. Isi pesan dituliskan langsung di permukaan tabung, dan ada lapisan luar dari tanah liat menjadi amplopnya yang dibubuhi dengan ukiran nama pengirim dan penerima.
Seperti halnya dengan surat-surat masa kini, orang bisa mengetahui si pengirim surat sebelum membuka suratnya. Seorang pria bernama Esarhaddon menerima surat dari seseorang yang dianggapnya bukan benar-benar warga Babilonia walaupun orang itu tinggal di Babilon. Esarhaddon mengirimkan kembali surat itu bersama dengan surat berisi alasan kemarahannya:
"Bersama ini saya kirimkan kembali kepadamu, dengan segel yang utuh, suratmu yang percuma dan dikirimkan kepada saya. Mungkin kamu akan bilang, "Kenapa ia mengembalikannya kepada kita?"
Ketika para warga Babilonia, yang adalah pelayan saya dan mencintai saya, menuliskan kepada saya, maka saya membuka surat itu dan membacanya. Sekarang, apa gunanya saya menerima dan membaca surat dari tangan para penjahat yang menghina sang dewa?
Advertisement
4. Pamer Karena Mampu Membaca
Dalam beberapa kasus, para pembawa pesan zaman dulu yang bertugas mengirimkan surat akan membacakannya secara nyaring kepada si penerima. Dalam beberapa kasus lain, seorang pujangga ditugaskan melakukan pembacaan itu.
Kadang-kadang, si penerima itulah yang dengan bangga membacanya sendiri, misalnya Hoshayahu, seorang pegawai pemerintah kota Lachish pada masa Ibrani Kuno.
Atasannya menyindir Hoshayahu seakan tidak bisa membaca surat-suratnya sendiri, padahal Hoshayahu membaca sendiri surat-suratnya. Ia pun menuliskan kepada atasannya:
Sekarang, jelaskan kepada bawahanmu ini arti surat yang kamu kirimkan kemarin malam. Bawahanmu ini merasa sakit hati sejak kamu mengirimkan surat itu kepada bawahanmu. Di dalamnya, yang terhormat, tertulis: "Tidakkah kamu tahu membaca surat?"
Demi Yahwe yang hidup, tidak ada seorangpun yang pernah mencoba membacakan surat kepada saya! Lebih dari pada itu, surat manapun yang ditujukan kepada saya dan telah saya baca, maka saya mampu mengulanginya hingga perincian yang paling kecil sekalipun.
5. Surat Kepada Ayah
Pada abad ke-3 M, seorang anak lelaki bernama Thonis mencoba membujuk ayahnya yang bernama Arion agar menyetujui seorang guru yang telah bersepakat dengan ayahnya. Arion jarang membalas surat Thonis dan berkali-kali menunda kunjungan agar mendapat kepastian dari guru tersebut.
Thonis memulai suratnya dengan salam pembuka yang biasa, mendoakan kesehatan ayahnya dan lain-lain. Kemudian Thonis langsung mulai menagih ayahnya agar segera mengunjunginya. Thonis kemudian mengakhiri surat itu secara cukup santun dan sekilas meminta ayahnya merawat hewan peliharaan yang ditinggalnya di rumah. Demikian bunyinya:
Kepada ayahku yang terhormat, Arion, Thonis mengucapkan salam. Terutama, aku berdoa setiap hari, berdoa kepada para dewa leluhur negeri tempat tinggalku sekarang ini agar kamu dan keluarga kita sejahtera.
Begini, ini adalah surat ke lima yang kutuliskan dan, kecuali suatu kali, kamu belum menuliskan kepadaku, bahkan tentang kabar baikmu, dan kamupun belum mengunjungi aku.
Walaupun sudah berjanji "Aku datang," kamu tidak melakukannya agar kamu bisa mengetahui apakah sang guru memang mengunjungi aku atau tidak.
Jadi, hampir setiap hari, ia bertanya tentangmu, "Belum datangkah dia?" dan aku hanya menjawab satu kata, "Ya"…Jadi upayakanlah datang kepadaku segera sehingga ia bisa mengajarku, karena ia ingin sekali.
Seandainya kamu sudah ada bersamaku di sini, aku sudah lama diajari. Dan ketika kamu datang, ingatlah tentang apa yang sudah beberapa kali kutuliskan kepadamu. Cepatlah datang sebelum ia pergi ke wilayah atas.
Aku mengirimkan salam kepada satu per satu kerabat kita dan kepada teman-temanku. Sampai jumpa, ayahku yang terhormat, dan aku berdoa agara kamu sehat-sehat di masa depan, demikian juga dengan saudara-saudara lelakiku. Jangan lupa burung-burung merpati milikku.
Advertisement
6. Menagih Biaya Makan Malam yang Batal
Plinius Muda, seorang senator Romawi Kuno dan berkuasa, merasa kesal. Ia telah mengundang salah satu sahabat karibnya, Septitius Clarus, untuk makan malam bersama, tapi Septitius tidak pernah datang.
Plinius menulis surat kepada temannya untuk meminta penggantian biaya makan malam yang terbuang percuma. Pada awalnya, isi surat terasa seperti amarah tapi kemudian ketahuan hanya sebagai guyonan. Plinius lebih terdengar seperti orang yang kecewa karena ia dan temannya batal bersua:
Ah! Si ganteng ini! Kamu berjanji datang untuk makan malam tapi tidak pernah muncul. Keadilan harus ditegakkan, kamu harus mengganti kepadaku hingga sepeser terkecil biaya yang kukeluarkan demi kamu; asal kamu tahu, jumlahnya tidak sedikit.
Oh, kamu jahat, mengesalkan temanmu, saya hampir saja mengatakan ini; dan setelah dipikir-pikir, begini saja: betapa menyenangkannya kalau kita malam itu bersama, dalam tawa, gembira, dan hiburan-hiburan!
Menurut saya, kamu bisa saja mampir ke beberapa tempat lain yang lebih hebat; tapi tanpa kegembiraan tak terkekang, kesederhanaan, dan kebebasan: silahkan coba-coba, dan kalau kamu tidak bisa berkelit pergi dari teman-teman yang lain untuk datang ke sini, ajaklah aku untuk ikut ke mereka. Sampai jumpa.
7. Surat Kepada Kerabat yang Meninggal
Di masa Mesir Kuno antara 2686 hingga 1069 SM, ada kebiasaan menuliskan pesan kepada kerabat yang sudah meninggal untuk meminta tolong. Mereka yang sudah meninggal dianggap sangat digdaya dan mampu ikut campur urusan para kerabat yang masih hidup.
Ada sebuah surat ditulis oleh seorang ibu yang berduka kepada saudara lelakinya yang sudah meninggal dan berisi permintaan agar menolong anak perempuannya. Surat pribadi itu adalah salah satu pesan tercatat pertama dari seorang wanita Mesir:
Seperti seorang saudara perempuan mengadu kepada saudara lelakinya. Wahai, teman sejatiku Nefersefkhi. Suatu tangisan penderitaan! Kepada siapakah tangisan ini didengar? Kamu membiarkan kejahatan berlaku atas anak perempuanku secara jahat sekali, walaupun aku tidak pernah melawan pria itu ataupun mengambil benda miliknya.
Ia tidak pernah memberikan apapun kepada putriku. Suara persembahan ditujukan kepada roh sebagai imbalan telah mengawasi yang masih hidup. Balaskanlah kepada siapapun yang melakukan hal yang menyakitiku, karena suaraku nyata melawan pria atau wanita mati manapun yang melakukan ini terhadap anak perempuanku.
Advertisement