Liputan6.com, Khartoum - Krisis keuangan telah menyebabkan sejumlah diplomat Sudan yang bertugas di luar negeri, tidak dibayar selama berbulan-bulan hingga mereka memutuskan kembali ke negaranya. Informasi tersebut disampaikan langsung oleh Menteri Luar Negeri Ibrahim Ghandour pada Rabu, 18 April 2018.
Dalam pidatonya di hadapan anggota parlemen, Ghandour mengatakan bahwa selain tidak mampu membayar gaji para diplomatnya, kementerian yang dipimpinnya juga tidak dapat membayar sewa sejumlah misi diplomatik Sudan. Alasannya sama, krisis keuangan.
"Selama beberapa bulan, para diplomat Sudan belum menerima gaji dan ada juga penundaan pembayaran sewa bagi misi diplomatik," terang Ghandour tanpa menyebut rincian lebih lanjut, seperti dikutip dari Arabnews, Kamis (19/4/2018).
Advertisement
Sudan tengah menghadapi kesulitan keuangan di tengah kekurangan akut atas mata uang asing, menyebabkan krisis ekonomi di negara Afrika timur itu memburuk.
Ghandour sendiri mengatakan, ia telah menghubungi gubernur bank sentral, tapi belum berhasil mendapatkan dana untuk menggaji para diplomat.
"Situasi sekarang telah berubah menjadi berbahaya, itulah mengapa saya membicarakannya secara terbuka," ujar Ghandour.
Baca Juga
Menurut Ghandour, berkembang rumor di kalangan pejabat bahwa membayar gaji diplomat dan sewa misi diplomatik bukanlah prioritas.
"Beberapa duta besar dan diplomat ingin kembali ke Khartoum sekarang ... karena kesulitan yang mereka dan keluarga mereka hadapi," imbuhnya.
Â
Saksikan video pilihan berikut ini:
Imbas Perpisahan Sudan Selatan dan Utara
Lebih lanjut, Ghandhour menjelaskan, dibutuhkan dana senilai US$ 30 juta untuk membayar upah para diplomat dan sewa misi diplomatik setiap tahunnya, sementara anggaran total tahunan Kementerian Luar Negeri Sudan sekitar US$ 69 juta.
Ekspektasi akan kebangkitan ekonomi yang cepat muncul setelah 12 Oktober lalu, Washington mencabut sanksi berusia puluhan tahun atas Khartoum. Faktanya, para pejabat mengatakan bahwa situasi tidak berubah sama sekali karena bank-bank internasional melanjutkan kehati-hatiannya untuk berbisnis dengan bank-bank Sudan.
Perekonomian Sudan menghadapi badai besar pasca-perpisahan wilayah selatan dan utara tahun 2011. Laju inflasi yang melonjak sekitar 56 persen, kelangkaan bahan bakar, dan kenaikan harga pangan kerap memicu protes antipemerintah di Khartoum dan sejumlah kota lainnya.
Advertisement