Unik, Pulau Terapung di Samudra Pasifik Ini Punya Pemerintahan dan Mata Uang Sendiri

Pulau terapung ini ternyata sengaja dirancang sebagai tempat pengungsian terbaik dalam menghadapi perubahan iklim di masa depan.

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 22 Mei 2018, 08:42 WIB
Diterbitkan 22 Mei 2018, 08:42 WIB
Pulau Terapung Blue Frontiers yang akan memiliki sistem pemerintahan dan mata uang sendiri (AFP/CNBC/Camille Bianchi)
Pulau Terapung Blue Frontiers yang akan memiliki sistem pemerintahan dan mata uang sendiri (AFP/CNBC/Camille Bianchi)

Liputan6.com, Washington DC - Ketika Anda, dan banyak khalayak lainnya, berusaha bertahan hidup dengan bekerja sesuai aturan yang berlaku, sebuah alternatif ruang hidup berbentuk pulau terapung, tengah diusahakan pembangunannya oleh gabungan kelompok filantropis, akademisi dan investor.

Salah satu sosok yang menonjol dalam konsep di atas adalah Nathalie Mezza-Garcia, seorang ilmuwan politik yang mewujudkan kembali konsep "seavangelesse", yakni istilah untuk penginjil yang mendukung hidup di luar sistem konvensional.

Dikutip dari CNBC pada Senin (21/5/2018), Mezza-Garcia berbicara tentang apa yang dia lihat sebagai masalah dengan pemerintah, dan mengapa dia percaya startup teknologi harus pergi ke kepulauan Pasifik.

Wanita penganut seavangelesse ini adalah bagian dari tim peneliti pada proyek pulau terapung Blue Frontiers karya Seasteading Institute.

Proyek tersebut merupakan program percontohan dalam kemitraan dengan pemerintah Polinesia Prancis, berisi 300 rumah yang dibangun di sebuah pulau dengan sistem pemerintahan sendiri.

Menariknya, pulau ini juga menganut sistem mata uang mandiri berjuluk Varyon.

"Begitu kita bisa melihat bagaimana pulau pertama ini bekerja efektif, maka kita akan memiliki bukti konsep untuk merencanakan pulau-pulau lainnya sebagai pusat hunian masa depan, yang terbebas dari ancaman perubahan iklim," kata Mezza-Garcia.

Proyek Blue Frontiers didanai melalui donasi filantropis dan juga penjualan token mata uang Varyon.

Pulau percontohan ini diharapkan akan selesai pada 2022 mendatang, dengan menelan biaya hingga US$ 50 juta, atau setara Rp 709 miliar.

"Ada signifikansi untuk proyek yang diujicobakan di Kepulauan Polinesia ini, yakni wilayah di mana tanah bertumpu pada karang dan akan hilang seiring naiknya permukaan laut," kata Mezza-Garcia.

Selain menawarkan hunian bagi "pengungsi iklim", pulau-pulau mandiri tersebut juga dirancang sebagai pusat bisnis yang berada di luar pengaruh peraturan pemerintah.

"Ini berarti ada stabilitas, di luar pengaruh geopolitik, masalah perdagangan dan fluktuasi mata uang. Saya pikir, ini inkubator yang sempurna," lanjut Mezza-Garcia.

Ditambahkan oleh Mezza-Garcia, proyek ini juga sangat sesuai bagi mereka yang kecewa oleh pemerintah konvensional.

Menurutnya, pemerintah di bawah skema pulau terapung hanya akan ada sebagai penyedia layanan, dan "komunitas terapung" dapat mengatur sendiri.

 

Simak video pilihan berikut: 

 

 

Dampak Perubahan Iklim di Darat

Ilustrasi gurun
Ilustrasi gurun pasir (Wikipedia)

Sementara itu, dampak perubahan iklim tidak hanya terasa di lingkungan perairan laut, melainkan juga di darat.

Selama satu abad terakhir, luas wilayah gurun Sahara telah bertambah secara signifikan, yang disebabkan oleh perubahan iklim.

Fenomena itu diketahui berdasarkan kumpulan data ilmiah sejak 1923, dan terdiri dari berbagai faktor yang berkontribusi terhadap perubahan curah hujan di wilayah tersebut.

Dilansir dari Independent.co.uk pada akhir Maret lalu, para peneliti telah mencatat bahwa sebelum Gurun Sahara memiliki wilayah seluas Amerika Serikat (AS), namun kini semakin melebar 10 persen sejak pengukuran pada satu abad lalu.

Karena populasi dunia terus bertambah, orang-orang di daerah perbatasan gurun tidak mampu bertahan jika harus kehilangan lebih banyak tanah yang subur.

Untuk mengetahui dampak perubahan iklim, para ilmuwan menggunakan metode statistik untuk menghilangkan efek siklus iklim alami, seperti Atlantic Multidecadal Oscillation pada variabilitas curah hujan.

Hasil tersebut mengungkapkan kombinasi siklus iklim alami dan perubahan iklim, yang disebabkan manusia, telah menyebabkan perluasan wilayah gurun secara alami selama abad yang lalu.

Namun, penghitungan terakhir menandakan sebuah kabar buruk, karena diketahui bertambah luas sebanyak sepertiga dari ukuran alsinya pada 1923.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya