Liputan6.com, New York - Dunia hiburan internasional pada tahun 2016 lalu dihebohkan dengan sosok Noor Tagouri, wanita Muslim berkebangsaan Amerika yang menjadi model majalah Playboy.
Ini adalah pertama kalinya dalam sejarah majalah yang didirikan oleh mendiang Hugh Hefner menampilkan perempuan berhijab.
Baca Juga
Semua orang tahu bahwa majalah Playboy merupakan majalah khusus pria dewasa yang menampilkan foto dan konten yang sensual. Noor Tagouri mengubah persepsi masyarakat selama ini bahwa wanita Muslim pada majalah Playboy merupakan hal yang tabu. Noor tampil percaya diri dengan menggunakan busana Muslim-nya pada majalah Playboy edisi Oktober 2016, bertajuk "Renegades".
Advertisement
Jika pada umumnya wanita di majalah itu selalu identik dengan tampilan seksi dan balutan pakaian yang minim, kala itu Noor --yang juga merupakan seorang jurnalis-- tampil mengenakan pakaian modis yang sopan namun tetap stylish.
Selain Noor yang berusia 22 tahun, ternyata masih ada deretan wanita Muslim di muka Bumi yang berani mendobrak stigma tentang dunia hiburan internasional dan pakaian tertutup yang membalut tubuh mereka. Mulai dari kontes kecantikan hingga bergabung dengan tim pementas budaya khas sebuah negara.
Berikut 6 Muslimah di dunia yang dengan berani terjun ke sejumlah panggung hiburan dan menyedot perhatian masyarakat luas, seperti yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber.
Saksikan video pilihan berikut ini:
1. Maryam Durrani
Di usia 13 tahun, remaja bernama Maryam Durrani menulis buku pertamanya. Karya tersebut sukses menjadikannya salah satu penulis termuda di Amerika Serikat. Remaja cerdas berhijab ini juga melawan stereotipe yang pada umumnya terkait dengan Muslim dan anak perempuan.
Maryam Durrani adalah seorang remaja AS dengan imajinasi luar biasa dan senang bercerita tentang ruang bawah tanah, ular naga, kerajaan dan anak perempuan.
Setelah menulis buku pertamanya pada usia 13 tahun, Durrani menemukan sebuah situs bernama wattpad.com, di mana dia bisa mengunggah cerita dan mendapatkan masukan dari para pembaca.
"Salah satu tulisan saya dibaca setengah juta kali. Orang-orang masih membacanya. Saya bisa melihat tanggapan mereka atas karya saya."
"Suatu hari seseorang menghubungi saya dan bertanya apakah mereka boleh menulis ulang dan mengedit buku saya dan menerbitkannya untuk seseorang sebagai hadiah. Dan saya pikir, tunggu… itu ide yang bagus! Kenapa saya tidak melakukannya? Kenapa tidak saya menjual buku saya sendiri?," tutur Maryam Durrani.
Durrani, kini berusia 18 tahun. Ia mengatakan keberhasilannya menulis tidak lepas dari peran orangtuanya. Sang ayah, Irfan Durrani, membantu menerbitkan buku-bukunya. Sementara ibunya, Zainab Durrani, menyemangatinya untuk membuat karya literatur.
"Maryam selalu menyukai buku. Saya ingat ketika dia berusia tiga tahun, setiap kali dia sedang marah, satu-satunya cara untuk menghiburnya adalah dengan membacakan buku untuknya. Dan saya tahu dari ekspresi wajahnya bahwa dia bisa terbuai dalam dunia imajinasinya," ujar Zainab.
Tapi remaja itu bosan dengan buku-buku dengan jalan cerita tradisional, di mana seringkali tokoh laki-laki yang jadi pahlawan. Karena itu dia memutuskan untuk mengubahnya, dengan menciptakan tokoh-tokoh yang akan menarik perhatian anak-anak perempuan.
"Saya ingin menulis mengenai seseorang yang bisa dijadikan idola. Dari situlah muncul gagasan untuk menciptakan seorang tokoh utama perempuan. Dia seorang ksatria. Dia bisa melakukan apa saja yang diinginkannya. Dan dia kuat! Saya ingin menulis tentang seorang idola bagi saya dan anak-anak perempuan lainnya," imbuh Maryam.
Orangtuanya sangat bangga dengan prestasi Maryam sebagai penulis, tapi yang lebih membanggakan adalah putrinya telah menjadi idola bagi banyak anak perempuan --termasuk mereka yang mengenakan hijab seperti Maryam.
Advertisement
2. Jamilah Thompkins-Bigelow
Pada bulan Ramadan ini, Jamilah Thompkins-Bigelow sibuk memperkenalkan buku cerita anak bergambar, Mommy's Khimar, di berbagai komunitas, termasuk di kalangan non-Muslim.
Kepada Metrini Geopani dari VOA Washington, penulis yang bermukim di Philadelphia, Pennsylvania, tersebut mengemukakan, buku karyanya itu mengetengahkan hubungan ibu-anak yang diceritakan oleh seorang anak perempuan yang senang memakai khimar atau hijab.
"When I put on Mommy’s khimar, I become a queen the golden train. Under the khimar, my braids and twists form a bumpy crown. When I wear Mommy’s khimar, I shine like the sun. I dive and become a shooting star into a pile of cloud. Of course, I make sure that mommy doesn’t see me."
Itulah sepenggal kutipan dari buku cerita anak Muslim berjudul Mommy’s Khimar yang dibacakan penulisnya, Jamilah Thompkins-Bigelow. Sepanjang Ramadan ini, ia sibuk mempromosikan karya perdananya itu dalam berbagai kesempatan.
Buku cerita anak bergambar ini menggambarkan kisah seorang anak perempuan yang senang bermain-main dengan hijab ibunya. Sambil mengenakan hijab tersebut, sang anak membayangkan dirinya menjadi hal yang berbeda-beda.
Jamilah menambahkan, tokoh utama ceritanya juga menunjukkan hubungannya dengan anggota keluarga dan anggota masyarakatnya yang ia temui karena ia mengenakan hijab, dan betapa orang-orang menyayangi serta menghargai ia dengan hijab yang dikenakannya.
Jamilah mulai menulis buku anak-anak karena keberadaan anak-anak Muslim, terlebih keturunan kulit hitam, belum cukup tergambarkan dalam buku-buku di Amerika.
"“Jadi, saya ingin menulis sebuah cerita yang mirip dengan masa kecil saya sendiri yang dapat dikenali anak-anak saya. Dan satu hal yang ingin saya sampaikan adalah konsep hijab," tuturnya seperti dikutip dari VOA Indonesia, Minggu 10 Juni 2018.
Jamilah memaparkan ada dua kelompok target pembaca bukunya. Pertama, kalangan yang dapat mengedukasi masyarakat yang belum mengenal atau tidak mengetahui apapun mengenai Muslim. Kedua, komunitas Muslim, khususnya warga kulit hitam.
Adapun kritik membangun dari sejumlah penerbit, pustakawan sekolah, guru, dan jurnalis, membuat Jamilah ingin belajar lebih banyak lagi.
3. Sarah Iftekha
Seorang perempuan muslim berusia 20 tahun akan menjadi kaum hawa pertama yang berpartisipasi dalam final kontes bakat dan kecantikan di Inggris sambil mengenakan hijab.
Dan, jika menang dalam final Miss England, Sarah Iftekhar bisa mewakili Inggris dalam kompetisi bakat dan kecantikan bergengsi bertaraf internasional, Miss World di China.
Iftekhar, seorang mahasiswa hukum Huddersfield University yang berdomisili di West Yorkshire, akan mengambil bagian dalam babak final Miss England di Kelham Hall di Nottinghamshire Selasa pekan depan.
Meskipun Iftekhar bukan kontestan Miss England pertama yang mengenakan hijab, namun ia adalah yang pertama yang berhasil mencapai tahap akhir kompetisi atau babak final, demikian seperti dikutip dari outlet media Rusia, Russia Today, Senin 3 September 2018.
Iftekhar, yang memulai bisnis pakaiannya sendiri pada usia 16 tahun, juga menggunakan platform bisnis dan sepak terjangnya di Miss England untuk menggalang dana bagi badan amal Miss World 'Beauty with a Purpose.'
Pihak Organisasi Miss England mendorong semua kontestan untuk mengumpulkan uang dan meningkatkan kesadaran publik untuk berkontribusi dalam badan amal yang bertujuan untuk membantu anak-anak yang kurang mampu di seluruh dunia.
Dalam sebuah posting di akun Instagram yang tampaknya telah dihapus, Iftekhar dilaporkan menulis tentang kegembiraannya berkompetisi dalam final Miss England.
Sementara itu, pada halaman amal GoFundMe, perempuan pemakai hijab itu menjelaskan motivasinya untuk mengikuti kontes kecantikan, dengan menulis: "Saya berpartisipasi di Miss (England) 2018 untuk menunjukkan bahwa kecantikan tidak memiliki definisi, semua orang cantik dengan caranya sendiri, terlepas dari berat badan mereka, ras, warna atau bentuk. "
Jika Iftekhar mengalahkan 49 ratu kecantikan lainnya untuk mengklaim mahkota, ia akan mewakili Inggris di Miss World di China.
Advertisement
4. Hamdia Ahmed
Mengenakan hijab dan mengikuti kontes kecantikan di kompetisi Miss USA pada tahun lalu membuat gadis ini menjadi sorotan banyak orang. Yup, dia adalah Hamdia Ahmed yang merupakan salah satu kontestan Miss Maine pertama yang berani mengenakan hijab di atas panggung.
Dilansir dari Independent, Selasa 26 Desember 2017. Hamdia adalah seorang gadis Somalia yang dibesarkan di sebuah camp pengungsi di Kenya. Kecintaan Hamdia pada dunia permodelan membuatnya berusaha untuk ikut ambil bagian dalam kompetisi tahunan yang berlangsung di Holiday Inn di Portland pada 27 November 2017.
Gadis yang kini tinggal dan kuliah di University of Southern Maine Amerika Serikat ini mampu tampil dengan sempurna di atas panggung. Pada segmen Eveningwear, ia terlihat sangat cantik saat mengenakan gaun berlengan panjang berwarna emas yang dipadukan dengan jilbab pinkyang berkilau. Sementara pada kontes baju renang, Hamdia memilih untuk mengenakan burkini merah muda yang dipadukan dengan hijab berwarna hitam.
Meskipun tidak lolos menjadi pemenang pertama, Hamdia mengaku bangga karena telah ikut mengambil bagian pada kontes kecantikan ini. Ia memilih untuk terus bersaing karena ingin menginspirasi gadis-gadis muslim lainnya untuk terus percaya diri dengan apa yang mereka miliki dan tidak menjadikan hijab sebagai penghalang untuk meraih cita-cita.
5. Tahera Rahman
Seorang wanita Muslim berusia 27 tahun menjadi reporter TV Amerika pertama yang berhijab. Ia adalah Tahera Rahman, yang bekerja sebagai reporter untuk WHBF-TV, afiliasi CBS News yang bermarkas di Rock Island, Illinois.
Sebeumnya, wartawan Muslim dari Naperville, Illinois itu telah bekerja di stasiun tersebut sebagai produser selama dua tahun. Kendati demikian ia tidak pernah melupakan mimpinya untuk tampil di depan kamera suatu hari nanti.
Ketika posisi reporter dibuka tahun 2017 lalu, Tahera pun melamar. Meski sebelumnya diberitahu bahwa Amerika belum siap memiliki seorang reporter TV berhijab, ia tak lantas patah arang.
Tahera pun terbukti menjadi yang terbaik di antara para pelamar. Wanita Muslim itu memulai posisi barunya yang full time awal Januari ini.
"Tahera adalah reporter perempuan pertama yang mengenakan jilbab saat bekerja penuh untuk sebuah stasiun TV arus utama (mainstream) di AS," demikian pernyataan kelompok Muslim American Women In Media seperti dikutip dari Daily Mail, Selasa 27 Februari 2018.
Tahera memutuskan untuk mulai mengenakan jilbab saat berada di kelas lima sekolah dasar, meski tak mendapatkan restu dari sang ibu yang menganggap putrinya masih terlalu muda untuk berhijab.
"Aku ingat pada hari pertama memutuskan memakai hijab seharian, karena sebelumnya aku tidak memakainya di luar sekolah atau di mana pun," kata Tahera.
"Aku keluar dari rumah dan merasa, 'Ya Allah, aku tak percaya sudah berhijab'."
Menurut Tahera, dengan mengenakan jilbab, wanita Muslim bisa menunjukkan keimanan dan kerendahan hatinya.
Tahera kemudian melanjutkan sekolahnya ke Loyola University Chicago, sebuah perguruan tinggi Katolik, tempat dia bergabung dengan sebuah organisasi persaudaraan (sorority). Ia adalah satu-satunya mahasiswi yang mengenakan jilbab.
"Aku tampil dalam acara formal dan Panhellenic. Aku adalah satu-satunya yang mengenakan jilbab, tapi hal tersebut tak pernah menghentikan langkahku. Aku masih bisa bersenang-senang dan mengambil kursus di luar negeri. Juga bisa bepergian dengan kakakku ke Spring Break."
Setelah lulus kuliah, Tahera tertarik dengan jurnalisme. Ia pun menyatakan niatnya untuk terjun ke bidang tersebut kepada dosen pembimbingnya.
Salah seorang di antara para pengajar tersebut meresponsnya. Kata-kata itu selalu terngiang di benak Tahera: "Amerika belum siap memiliki reporter televisi berhijab".
"Itu pernyataan halus yang berdampak besar pada diriku...," kata Tahera.
Setelah itu, Tahera melihat sebuah berita tentang seorang muslimah berhijab, seorang perempuan AS keturunan Somalia yang terpilih sebagai legislator atau anggota dewan.
Hal tersebut kemudian memberinya harapan untuk terus mewujudkan impian menjadi seorang reporter. Tahera pun membuktikan, hijab tak menjadi halangan bagi dirinya untuk maju.
Advertisement
6. Mariam Abdul Nazar
Meskipun mendapat tentangan dari keluarga dan teman-temannya, seorang gadis Muslim berbahasa Melayu ini bersikeras untuk bergabung dengan rombongan Lion Dance atau tarian barongsai.
"Teman dan kerabat menganggap bahwa sebagai seorang Muslim tak benar bergabung dengan rombongan tari barongsai itu. Tapi aku ikut dengan kelompok tari barongsai untuk olahraga," kata Mariam Abdul Nazar dalam video yang juga dimuat Asia One dan dikutip Selasa 20 Februari 2018.
Video berdurasi sekitar lima menit tentang Mariam, si gadis Muslim dan berhijab itu kemudian menjadi viral.
Dalam rekamannya, terlihat perempuan berusia 21 tahun itu tengah berbicara bahasa Mandarin, sambil mengatakan bahwa dia harus menjelaskan kepada teman dan kerabatnya bahwa rombongan tari barongsai yang diikutinya tampil dan berpartisipasi untuk sebuah kompetisi.
Dia menambahkan bahwa setelah mereka tahu alasan untuk ikut lomba, barulah teman dan keluarga mengerti keinginannya untuk menjadi bagian dari tim barongsai tersebut.
Mariam juga mengatakan bahwa ia telah menjadi pemain drum dalam rombongan tari barongsai itu selama delapan tahun terakhir, selain belajar bahasa Mandarin.
"Ini adalah bagian dari alasan mengapa bahasa Mandarin saya bagus. Saya berlatih di sini dan bisa berkomunikasi," ujar Mariam.
Mariam menambahkan bahwa ia bergabung dengan rombongan tersebut karena ia menyukai bunyi yang ditimbulkan saat tarian barongsai tampil.
"Ini hebat, terlihat keren dan memiliki pola," tutur Mariam dengan antusias, seraya menambahkan bahwa bermain drum dengan rombongan itu membuatnya bahagia dan menjadi pelepas stresnya.
Dia juga mengatakan bahwa saat pertama kali bermain drum mengiringi barongsai, rasanya takut dan gugup. Takut melakukan kesalahan.
Tapi kini, gadis Muslim itu tumbuh lebih percaya diri.
Sebagai Muslim keturunan Malaysia dan setengah India, Marian mengaku bahwa khalayak terutama orang Tionghoa akan terkejut setiap kali dia tampil di depan umum.
Tapi mereka akan memuji kemampuan drumnya setelah tampil. "Saya merasa bangga dan senang menjadi orang Malaysia," tambah Mariam.