Saingi Amerika Serikat, China Luncurkan Pesawat Tanpa Awak Model Baru

China meluncurkan drone terbaru unttuk menyaingi Amerika Serikat.

oleh Liputan6.com diperbarui 11 Nov 2018, 08:31 WIB
Diterbitkan 11 Nov 2018, 08:31 WIB
Deretan Pesawat Canggih Dipamerkan di Airshow China 2018
Pesawat tak berawak AVIC's Cloud Shadow Jet-power ditampilkan dalam Pameran Penerbangan dan Antariksa Internasional ke-12 China atau Airshow China 2018 di Kota Zhuhai, Provinsi Guangdong, Rabu (7/11). (AP Photo/Kin Cheung)

Liputan6.com, Shanghai - China tampaknya masih terus meluncurkan manuvernya dalam sektor teknologi untuk menyaingi Amerika Serikat. Baru-baru ini, Negeri Tirai Bambu itu merilis drone atau pesawat tanpa awak yang dilengkapi dengan senapan AK-47.

Drone tersebut menambah armada Tiongkok yang telah beraksi di pertempuran di Timur Tengah. Drone itu tampak dipamerkan di antara jet tempur, rudal, dan perangkat perang militer lainnya dalam pameran dirgantara terbesar di Beijing, Airshow China.

Drone besutan negeri yang dipimpin oleh Xi Jinping ini dilengkapi dengan sayap delta, sehingga tampak menarik banyak perhatian pengunjung dan menyoroti produksi pesawat nir awak canggih buatan China yang makin berkembang untuk menyaingi armada militer raksasa milik AS.

Pesawat nir awak CH-7 berwarna abu-abu, yang diluncurkan di pameran tersebut, memiliki panjang sebesar lapangan tenis, dengan lebar sayap 22 meter. Pesawat ini dapat terbang dengan kecepatan lebih dari 800 km per jam dan pada ketinggian 13.000 meter.

"Kami yakin dengan produk ini klien akan cepat menghubungi kami," kata Shi Wen, kepala teknik drone seri Caihong (pelangi) di Aerospace Science and Technology Corp. (CASC), seperti dikutip dari VOA Indonesia, Minggu (12/11/2018).

Penerbangan perdana CH-7 dijadwalkan dilakukan pada akhir tahun depan. Sementara itu, CASC memiliki klien di sekitar 10 negara, namun Shi enggan menyebutkan siapa saja klien CASC, baik di China maupun di luar negara tersebut.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

Remaja di China Direkrut Pemerintah untuk Mengembangkan Senjata Berbasis AI

foto ilustrasi penggunaan drone untuk pertanian gandum barley di Inggris - AP
foto ilustrasi penggunaan drone untuk pertanian gandum barley di Inggris - AP

Sementara itu, sebuah lembaga penelitian yang didanai pemerintah, siswa sekolah menengah direkrut untuk mengembangkan persenjataan yang dioperasikan oleh kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI).

Program ini adalah langkah terbaru dari Negeri Tirai Bambu untuk bersaing melawaan AS dalam hal "permainan perang modern".

Beijing Institute of Technology (BIT), telah memilih pemuda-pemuda terbaik dan tercerdas di seluruh penjuru Tiongkok untuk berpartisipasi dalam program desain senjata berbasis AI.

Menurut situs web BIT, 27 anak laki-laki dan 4 perempuan akan dipersiapkan untuk menjadi perancang senjata termutakhir di dunia.

Mereka yang terpilih berasal dari 5.000 kandidat terdaftar, semuanya berusia di bawah 18 tahun dan "tangguh", menurut seorang profesor yang enggan disebutkan namanya, seperti dikutip oleh South China Morning Post.

Menurut keterangan yang tercantum dalam brosur untuk program ini, setiap siswa akan dipandu oleh ahli senjata dari latar belakang akademis dan dari industri pertahanan.

Para pelajar bahkan akan mendapatkan pengalaman langsung, dengan bekerja di laboratorium pertahanan yang sesungguhnya.

Program tersebut berlangsung selama 4 tahun, dan pada akhirnya para lulusan diharapkan dapat melanjutkan ke bidang spesialisasi yang diinginkan mereka, ke tingkat Ph.D.

Ironisnya, China adalah negara adidaya pertama yang mendukung seruan untuk melarang senjata mematikan otonom di PBB.

Sampai sekarang, sistem senjata otomatis masih perlu dikendalikan oleh "kontrol manusia", seperti yang disyaratkan oleh Martens Clause, sebuah hukum internasional yang menetapkan bahwa teknologi senjata yang diproduksi harus dikembangkan sesuai dengan "prinsip-prinsip kemanusiaan".

Baik itu Rusia maupun AS, telah menyatakan oposisi mereka terhadap larangan persenjataan otomatis.

Eleonore Pauwels dari pusat penelitian kebijakan PBB di New York, menyatakan keprihatinannya atas inisiatif China itu.

"Ini adalah program universitas pertama di dunia yang dirancang untuk mendorong generasi muda agar berpikir secara agresif dan strategis, merancang, dan menerapkan AI demi penelitian dan penggunaan militer," ucapnya, seperti dikutip dari media Rusia, RT.com, Sabtu, 10 November 2018.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya