Liputan6.com, Ramallah - Keuangan Palestina berada di ambang kehancuran setelah penangguhan dana bantuan senilai ratusan juta dolar dari Amerika Serikat, kata Gubernur Otoritas Moneter Palestina (PMA) mengatakan pada Selasa, 18 Juni 2019.
Tensi hubungan AS dan Palestina mengalami titik puncaknya sejak 2017, menyusul keputusan pemerintahan Presiden Donald Trump untuk mengakui Yerusalem yang disengketakan sebagai ibu kota Israel dan memindahkan kedutaanya ke sana. Tindakan itu membalik total status quo konflik Israel - Palestina.
Merespons, Ramallah memutus hubungan politik dengan AS. Sebagai balasan, Amerika menangguhkan mayoritas dana bantuan yang selama ini mereka alirkan kepada Palestina.
Advertisement
Baca Juga
Kondisi itu menyebabkan tekanan keuangan yang meningkat dan memicu peningkatan utang Palestina menjadi US$ 3 miliar dan menyebabkan kontraksi parah dalam ekonomi senilai US$ 13 miliar, kata Gubernur PMA, Azzam Shawwa, seperti dikutip dari Al Jazeera, Kamis (20/6/2019).
"Kami sekarang sedang melalui titik kritis," kata Shawwa sehubungan dengan Otoritas Palestina (PA) yang didukung oleh Presiden Palestina Mahmoud Abbas , yang menjalankan pemerintahan sendiri secara terbatas di Tepi Barat yang diduduki.
"Apa selanjutnya, kita tidak tahu. Bagaimana kita akan membayar gaji bulan depan? Bagaimana kita akan membiayai kewajiban kita? Bagaimana kehidupan sehari-hari akan berlanjut tanpa likuiditas di tangan orang-orang?" tanya Gubernur PMA, yang setara dengan bank sentral Palestina.
"Saya tidak tahu ke mana tujuan kami. Ketidakpastian ini membuat sulit untuk merencanakan besok," kata Shawwa saat berkunjung ke Yordania awal pekan ini.
Pemotongan dana bantuan untuk Palestina oleh AS selama setahun terakhir secara luas dilihat sebagai upaya untuk menekan PA untuk kembali ke meja perundingan setelah memutuskan hubungan politik dengan administrasi Presiden AS Donald Trump pada 2017.
Gedung Putih menginginkan Palestina untuk terlibat dalam rencana perdamaian versi Presiden Trump yang telah lama tertunda --yang populer disebut sebagai 'the Deal of the Century'.
Komponen ekonomi dari 'the Deal' rencananya akan diumumkan pada konferensi di Bahrain minggu depan, di mana Palestina memboikotnya, beralasan bahwa perhelatan itu cenderung pro-Israel.
Simak video pilihan berikut:
Palestina Pinjam Sana Sini
Memburuknya keadaan finansial PA, adalah fakta bahwa negara-negara Arab telah gagal untuk menghormati janji donor mereka, menyediakan hanya US$ 40 juta sebulan, yang nyaris tidak menyurutkan kesenjangan pendanaan PA --kata Kepala Otoritas Moneter Palestina (PMA), Azzam Shawwa.
Setengah dari jumlah itu berasal dari Arab Saudi.
PA harus meningkatkan pinjaman dari 14 bank untuk mengatasi krisis, kata Shawwa. Sekitar sepertiga dari US$ 8,5 miliar pinjaman bank dan fasilitas terutang atas nama PA, dan sisanya atas nama sektor swasta.
"Tanpa itu (pinjaman) akan ada keruntuhan keuangan. Saya memiliki kekhawatiran untuk pertama kalinya atas stabilitas keuangan," kata Shawwa.
Ekonomi Tepi Barat yang pernah berkembang pesat, yang melihat pertumbuhan rata-rata 3,3 persen dalam beberapa tahun terakhir, kini telah berubah menjadi merah, kata Shawwa.
Pemecatan tiba-tiba dari ribuan orang yang pernah bergantung pada proyek-proyek yang dibiayai AS memperburuk keuangan pemerintah melalui pengumpulan pajak yang lebih rendah dan menghasilkan default yang lebih tinggi pada pinjaman bank dari perusahaan-perusahaan bermasalah, tambahnya.
"Kami diperangi oleh kekuatan paling penting di dunia," kata Shawwa, merujuk pada pemerintahan Trump.
Satu-satunya hal yang mencegah krisis ekonomi besar adalah uang tunai yang diperoleh lebih dari 100.000 warga Palestina yang bekerja di Israel, dan pengiriman uang dari warga Palestina yang bekerja di luar negeri.
Shawwa, yang telah diundang untuk menghadiri konferensi Bahrain, mengatakan sulit untuk melihat bagaimana rencana apa pun akan berjalan tanpa mitra Palestina yang bersedia.
"Apakah demi kepentingan Amerika mau menghancurkan ekonomi Palestina?" dia beretorika.
Advertisement