Liputan6.com, Jakarta - Pada 56 juta tahun yang lalu, Kutub Utara disebut tidak berada dalam kondisi seperti sekarang ini, beku dan suhunya selalu minus di bawah nol derajat Celcius. Saat itu, masih ada pemandangan hijau yang subur (meskipun Anda harus berhati-hati terhadap buaya), tanpa padang es yang luas.
Itu karena dunia berada di tengah-tengah periode pemanasan global yang ekstrem, yang disebut Paleo-Eocene Thermal Maximum, yakni ketika Bumi begitu panas sehingga kutubnya mencapai suhu yang hampir tropis.
Tetapi apakah planet ini pernah sepanas seperti masa kini, ketika setiap bulan tampaknya memecahkan rekor suhu tertinggi satu demi satu?
Advertisement
Ternyata Bumi telah melalui periode pemanasan ekstrem lebih dari sekali. Kutub telah membeku, lalu mencair, dan membeku lagi. Sekarang, Bumi sedang memanas lagi.
Meski begitu, perubahan iklim yang terjadi pada waktu-waktu ini adalah momok yang berbeda dan bukan hanya bagian dari beberapa siklus alami yang lebih besar, kata Stuart Sutherland, ahli paleontologi di University of British Columbia, kepada Live Science yang dikutip pada Senin (15/7/2019).
Iklim Bumi berosilasi secara alami, selama puluhan ribu tahun, perputarannya di sekitar matahari perlahan berubah, mulai dari pergantian musim hingga besaran masuknya sinar matahari. Sebagai akibat osilasi ini, Bumi melewati periode glasial (lebih dikenal sebagai Zaman Es) dan periode interglasial yang lebih hangat.
Tetapi untuk menciptakan peristiwa pemanasan besar-besaran, seperti Paleo-Eocene Thermal Maximum, dibutuhkan perubahan kemiringan sumbu Bumi atau bentuk orbitnya di sekitar matahari. Selain itu, pemanasan ekstrem selalu melibatkan karbon dioksida (CO2) dalam dosis yang banyak.
Gas rumah kaca tersebut hampir pasti bertanggung jawab atas terjadinya Paleo-Eocene Thermal Maximum. Tetapi bagaimana konsentrasi CO2 bisa begitu tinggi tanpa ada manusia di sekitarnya? Para ilmuwan tidak benar-benar yakin, kata Sebastien Castelltort, seorang ahli geologi di University of Geneva.
Dugaan utama mereka adalah gunung berapi memuntahkan karbon dioksida ke atmosfer, memerangkap panas, dan mencairkan kantong metana beku --gas rumah kaca yang lebih kuat daripada CO2 yang telah lama diasingkan di bawah laut.
Lantaran pemanasan global yang dipicu oleh gas rumah kaca telah terjadi sebelumnya, bukan berarti peristiwa ini tidak berbahaya. Ambil contoh, kepunahan Permian-Triassic yang melanda beberapa juta tahun sebelum dinosaurus muncul di Bumi. Kejadian itu adalah bencana mutlak bagi planet kita dan segala sesuatu yang hidup di atasnya.
Peristiwa pemanasan ini, yang terjadi pada 252 juta tahun lalu, sangat dahsyat karena disebabkan oleh aktivitas gunung berapi (dalam hal ini, letusan wilayah vulkanik yang disebut Siberian Traps), memicu kekacauan iklim dan kematian yang meluas.
"Bayangkan, kala itu amat keringan, tanaman sekarat, Saharah menyebar ke seluruh benua," kata Sutherland kepada Live Science.
Temperatur di Bumi naik 18 derajat Fahrenheit (10 derajat Celsius). Selain itu, sekitar 95% kehidupan laut dan 70% kehidupan darat punah. "Bumi terlalu panas dan tidak menyenangkan bagi makhluk untuk hidup," imbuh Sutherland.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Kekhawatiran Ahli
Belum diketahui seberapa tinggi konsentrasi gas rumah kaca selama peristiwa kepunahan Permian-Triassic, tetapi kemungkinan jauh lebih tinggi daripada masa kini. Beberapa studi bahkan meyebut, fenomena tersebut tumbuh setinggi 3.500 bagian per juta (ppm).
Tetapi tingkat perubahan konsentrasi CO2-lah yang membuat situasi saat ini menjadi gampang dipelajari. Selama kepunahan Permian Triassic, butuh ribuan tahun bagi suhu untuk naik setinggi seperti sekarang -- kurang lebih 150.000 tahun.
Selama Paleo-Eocene Thermal Maximum, yang dianggap sebagai kasus pemanasan global yang sangat cepat, suhu membutuhkan 10.000 hingga 20.000 tahun untuk mencapai puncaknya.
Sedangkan pemanasan pada masa kini hanya membutuhkan 150 tahun.
Itulah perbedaan terbesar antara perubahan iklim saat ini dan yang tertinggi pada masa lalu. Hal itulah yang juga membuat perubahan iklim pada waktu sekarang sangat sulit diprediksi, kata Castelltort.
"Bukan hanya soal Bumi yang kian menghangat, namun juga kita tidak tahu seberapa cepat kehidupan di planet ini bisa menyesuaikan," tutur Castelltort.
Advertisement