Liputan6.com, Jakarta - Nama hydroxychloroquine menjadi sorotan di dunia farmasi karena dianggap bisa menyembuhkan Virus Corona COVID-19. Beberapa pihak menaruh harapan pada obat itu karena vaksin Virus Corona masih dikembangkan.Â
Hydroxychloroquine sejatinya adalah obat malaria. Produk ini juga terkenal di pasaran dengan nama plaquenil.Â
Advertisement
Baca Juga
Yang menjadi masalah adalah hydroxychloroquine belum sepenuhnya terbukti ampuh melawan Virus Corona. Namun, beberapa negara seperti Prancis dan Turki telah menggunakannya.
Presiden Amerika Serikat Donald Trump juga merekomendasikan obat ini. AS juga sudah menimbun hingga 29 juta hydroxychloroquine.Â
Berikut 4 fakta hydroxychloroquine, serta kontroversinya di tengah pandemi Virus Corona COVID-19:
Saksikan video pilihan berikut ini:
1. Donald Trump Mendukung
"Apabila itu (hydroxychloroquine) membantu, bagus. Apabila tidak, paling tidak kita sudah mencobanya," ujar Donald Trump pada briefing di Gedung Putih awal bulan ini.
Trump sebelumnya memuji sebuah studi Prancis yang mengisyaratkan bahwa hydroxychloroquine, serta azithromycin (Z-Pak) yang semacam antibiotik umum, mungkin efektif dalam mengatasi Virus Corona COVID-19.
Masalahnya, pakar kesehatan Anthony Fauci yang tergabung ke gugus tugas Virus Corona di AS masih ragu dengan obat itu. Donald Trump meminta agar pasien meminta persetujuan dokter, dan tidak meminumnya tanpa resep.Â
"Saya harap mereka menggunakan hydroxychloroquine, dan mereka juga bisa melakukannya dengan Z-Pak, berdasarkan persetujuan dokter," kata Trump. "Tetapi saya harap mereka menggunakannya, karena saya bilang: Apa ruginya?" ucap Trump.
Advertisement
2. Siapa yang Buat?
Mayoritas produksi Hydroxychloroquine ada di India, yakni sebanyak 70 persen. Presiden Trump juga memesan obat itu dari India.Â
Menurut laporan India Times, negara maju seperti Jerman juga mencari persediaan obat itu ke India. Pemerintah India berkata hanya mengekspor obat itu ke pemerintah, dan tidak ke perusahaan swasta.Â
Asosiasi Manufaktur Obat India berkata India memiliki 40 ton bahan farmasi aktif untuk pembuatan Hydroxychloroquine. Dengan kapasitas itu, India bisa membuat sekitar 200 juta tablet 200 miligram.
3. Dipakai Turki, Uni Emirat Arab, dan Prancis
Negara-negara yang memakai hydroxychloroquine di antaranya ada Turki, Prancis, dan Uni Emirat Arab. Turki mengaku sukses menekan angka kematian berkat obat ini.
Kepada CBS News, otoritas kesehatan Turki berkata memberikan hydroxychloroquine kepada orang-orang yang tes positif Virus Corona. Obat lain yang dipakai Turki adalah favipiravir.
Administrasi pengawas obat dan makanan di AS hanya menyarankan hydroxychloroquine untuk penggunaan darurat. BBC melaporkan India merekomendasikan obat ini ke para petugas medis.
Advertisement
4. Apa Risikonya?
Sebuah studi menyebut hydroxychloroquine bisa meningkatkan risiko kematian. Studi itu dilakukan oleh peneliti Universitas Virginia terhadap para veteran.Â
Time menyebut studi ini hanya mencakup 368 pasien dan hasilnya belum ditinjau oleh ilmuwan lain. Namun, sejauh ini studi itu adalah yang terbesar dilakukan untuk melihat efek hydroxychloroquine.
Administrasi pengawas obat dan makanan AS pada pekan ini meminta agar waspada jika menggunakan hydroxychloroquine di luar rumah sakit. Obat ini disebut bisa membuat irama jantung tidak normal.
5. Studi Terbaru
Studi yang dibuat para ilmuwan di Prancis menemukan bahwa hydroxychloroquine tidak membantu pasien yang mengalami Virus Corona COVID-19.Â
Obat itu sempat disebut sebagai "Game Changer" atau perubahan besar oleh Presiden AS Donald Trump. Namun studi baru dan Prancis ini mengatakan bahwa hydroxychloroquine tidak membantu pasien rawat inap Virus Corona COVID-19 dan ternyata memiliki keterkaitan dengan komplikasi jantung.Â
Seorang dokter pada beberapa waktu lalu telah memperingatkan Donald Trump bahwa hydroxychloroquine masih perlu dipelajari lagi, untuk melihat apakah dapat bekerja dan aman untuk digunakan.
Menurut spesialis penyakit menular di Children's Hospital of Philadelphia, Dr. Paul Offit, ada efek samping yang disebabkan oleh obat tersebut, yaitu racun yang mengharuskan penggunaanya untuk dihentikan.
Dalam Studi Prancis itu, catatan medis diamati kembali oleh para dokter untuk 181 pasien Virus Corona COVID-19 yang menderita pneumonia dan membutuhkan oksigen tambahan.
Sekitar setengah dari para pasien itu menggunakan hydroxychloroquine dalam waktu 48 jam setelah dirawat di rumah sakit, dan setengahnya tidak menggunakan, demikian seperti dikutip dari CNN, Kamis 16 April.
Advertisement