Wellington - Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern, masih merasa bertanggung jawab atas teror serangan masjid di Christchurch pada 2019. Intelijen dianggap gagal menyelidiki kelompok ekstremis sebelum serangan terjadi.
Pada Maret 2019, pria Australia bernama Brenton Tarrant menembak jemaah di dua masjid di Christchurch, sehingga menewaskan 51 orang dan mencederai 40 orang lainnya.
Advertisement
Baca Juga
Dilaporkan ABC Australia, Selasa (8/12/2020), Jacinda Ardern menyampaikan permintaan maaf atas kegagalan pihak berwenang dalam menjaga keamanan masyarakat terkait aksi terorisme di Christchurch tahun 2019 lalu.
Laporan itu menyimpulkan bahwa Dinas Intelijen Selandia Baru gagal melakukan penyelidikan terhadap kelompok ekstrim sayap kanan sebelum serangan terjadi.
"Walau komisi tidak menemukan masalah ini seharusnya bisa menghentikan serangan, ini tetap kegagalan, sehingga atas nama Pemerintah, saya minta maaf," ujar Jacinda Ardern.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Usulan Terbaru
Penyelidikan mengusulkan dibuatnya sebuah aturan baru untuk menangkap pihak yang merencanakan atau mempersiapkan serangan terorisme, serta memperkuat aturan hukum mengenai hate speech.
PM Jacinda Ardern mengatakan di dalam aturan tersebut akan ada akuntabilitas bagi pelaku.
Ia juga mengatakan penerapan usulan ini akan menjadi 'pembayaran hutang' terhadap mereka yang meninggal karena serangan. Pihak berwajib juga belajar banyak hal dari serangan di Christchurch.
"Tentang bagaimana serangan terjadi dan apa yang seharusnya bisa dilakukan untuk mencegahnya, penyidik tidak menemukan adanya kesalahan pada pekerjaan badan pemerintah yang berkapasitas mendeteksi perencanaan dan persiapan sang pelaku teror," kata PM Ardern.
"Tetapi mereka menemukan banyak pelajaran yang bisa diambil dan beberapa bagian penting yang harus diubah."
Advertisement
Pelaku Sudah Berencana Sejak 2017
Dalam laporan setebal 800 halaman, terungkap bahwa Tarrant sudah merencanakan serangan tersebut hampir segera setelah mendarat di Selandia Baru tahun 2017.
"Meski tidak memiliki riwayat hidup di Selandia Baru, permintaan izin kepemilikan senjata pria ini disetujui dalam waktu tiga bulan setelah ketibaannya di negara ini," lanjut laporan tersebut.Namun laporan ini menyimpulkan bahwa polisi dan pihak berwenang yang mengurusi kontraterorisme tidak akan tahu mengenai rencana serangan.
"Melihat keamanan operasional yang berhasil dibangun yang bersangkutan...dan kapasitas badan kontraterorisme, tidak ada kemungkinan baginya untuk terdeteksi, kecuali karena kebetulan," bunyi laporan itu.
Brenton Tarrant dijatuhi hukuman penjara seumur hidup atas 51 pembunuhan, 41 usaha berusaha melakukan pembunuhan dan satu tindak terorisme.
Hasil wawancara Tarrant dengan komisi tidak akan pernah dibuka untuk publik sehingga tidak menginspirasi pihak lain untuk melakukan tindakan yang sama.
Setahun sebelum serangan ke masjid, Brenton juga pernah Tarrant mengalami cedera akibat senjata api di bagian mata dan pahanya.
"Yang bersangkutan memberitahu Petugas Departemen Keadaan Darurat bahwa cederanya disebabkan oleh beberapa amunisi yang meledak ketika ia sedang membersihkan senjatanya," bunyi laporan tersebut.
Tarrant sempat dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan di kota Dunedin, Selandia Baru, namun kejadian tersebut tidak dilaporkan ke polisi.
Komisi Penyelidikan Nasional kini mengusulkan agar Selandia Baru mewajibkan semua petugas kesehatan untuk melaporkan cedera akibat senjata api kepada polisi.
Muslim harus merasa aman
Badan-badan pemerintah Selandia Baru telah gagal melindungi komunitas Muslim Christchurch, menurut perwakilan dari dua masjid yang menjadi sasaran serangan teror.
"Kami sudah lama tahu jika komunitas Muslim menjadi sasaran ujaran kebencian dan kejahatan rasial. Penyelidikan Royal Comission menunjukkan jika kami benar," kata Abdigani Ali dari Asosiasi Muslim Canterbury.
Gamal Fouda, imam di masjid Al Noor Christchurch, mengatakan dia telah melaporkan orang-orang yang mencurigakan berkeliaran di sekitar masjid dan kecewa dengan tanggapan polisi.
PM Ardern mengatakan semua warga di Selandia Baru harus merasa aman.
"Warga Muslim Selandia Baru harus merasa aman," kata Ardern.
"Siapa pun yang menyebut Selandia Baru sebagai rumah, terlepas dari ras, agama, jenis kelamin, atau orientasi seksualnya harus merasa aman."
Advertisement