Liputan6.com, Seoul - Industri hiburan Korea Selatan kian mendunia. Popularitasnya menyaingi Hollywood dan Bollywood.
Seluk beluk budaya, yang dikemas dengan ciamik melalui industri hiburan, membuat banyak orang dari berbagai belahan dunia ingin mengenal lebih dekat, bahkan mengunjungi Negeri Ginseng.
Baca Juga
Namun, di tengah gempuran informasi tentang film, musik, destinasi wisata atau bahkan bintang Korea Selatan, ada satu sisi yang mungkin belum banyak orang tahu: perjuangan kelompok disabilitas Korea Selatan dalam mendapatkan kesetaraan.
Advertisement
Salah satunya, Park Kyoung-seok. Ruang geraknya terbatas karena tidak banyak tempat di Seoul yang bisa dikunjunginya dengan kursi roda.
"Saya tidak bisa pergi ke teater karena itu menggunakan tangga. Saya tidak bisa pergi ke toserba atau kafe baru yang baru dibuka karena alasan yang sama," katanya seperti dikutip dari BBC, Jumat (27/1/2023).
"Bahkan ketika saya masuk ke suatu tempat, ada 'urusan' kamar mandi. Sering kali saya tidak bisa melakukannya."
Belum lagi, jika ia ingin bepergian. Angkutan umum di Korea Selatan, kata Kyoung-seok, tidak dirancang untuk orang cacat.
"Perjalanan normal bisa memakan waktu dua atau tiga kali lebih lama untuk orang cacat, dibandingkan dengan orang yang tidak cacat," keluhnya.
Kyoung-seok mengalami kecelakaan hang gliding atau gantole pada tahun 1984, membuatnya lumpuh pada usia 24 tahun.
Keterbatasannya itulah yang pada akhirnya mendorong ia memperjuangkan hak kelompok disabilitas Korea Selatan, yang menginginkan kemudahan akses dalam transportasi umum. Kini, Kyoung-seok memimpin kelompok Solidaritas Melawan Diskriminasi Disabilitas (SADD).
Perjuangannya bersama kelompok itu kebanyakan dilakukan di platform kereta bawah tanah Seoul selama beberapa tahun terakhir.
Salah satu peserta aksi protes di platform kereta bawah tanah itu adalah Jimin, perempuan usia 17 tahun. Ia terpaksa menggunakan kursi roda sejak sembuh dari kanker saat berusia empat tahun.
"Hidup kami selalu terjebak di rumah. Kami menyerah untuk pergi ke suatu tempat bahkan jika kami benar-benar ingin pergi. (Tapi) kami ingin menunjukkan kepada dunia bahwa kami ada," tutur Jimin.
Untuk itu, Jimin juga membuat vlog, menulis, dan menggunggah di media sosial tentang menjadi wanita muda penyandang disabilitas di Korea Selatan.
"Di Korea Selatan menjadi perempuan itu sulit, menjadi cacat itu sulit, dan menjadi anak di bawah umur itu sulit," kata Jimin. "Baru-baru ini, saya menyadari bahwa saya adalah ketiganya. Apa itu membuatku menjadi kelas terendah di Korea?"
Sempat merasa kesepian, namun optimistisnya terbentuk menyusul respons baik dari segelintir orang.
Hong Yunhui, ibu Jimin, menambahkan, "Banyak orang di Korea Selatan berpikir penyandang disabilitas hidup nyaman dengan kesejahteraan. Seseorang pernah mengatakan kepada saya bahwa mereka (orang cacat) hidup lebih baik daripada presiden."
Yunhui khawatir aksi protes para aktivis dimanfaatkan untuk menjelek-jelekkan orang-orang cacat.
"Kami melihat orang-orang, terutama orang tua, menepuk pundak putri saya dan menanyakan hal-hal seperti harga kursi rodanya. Mereka mengatakan, dia sangat beruntung dilindungi sistem kesejahteraan Korea, yang dibayar dengan pajak mereka."
Perjuangan Para Aktivis Disabilitas
Selama setahun terakhir, Kyoung-seok dan sejumlah aktivis lainnya melakukan protes selama jam-jam paling sibuk seperti pagi hari di platform kereta bawah tanah. Banyak di antara kelompok itu orang lanjut usia.
Satu hal yang menjadi perjuangan terbesar mereka adalah pendanaan untuk penyediaan mobilitas dan pemasangan lift di semua stasiun agar seluruh jaringan dapat diakses oleh pengguna kursi roda.
Namun, rupanya, fenomena ketidaksetaraan bagi disabilitas di Korea Selatan dinilai bukan semata soal infrastruktur fasilitas publik.
Sejumlah pengamat menyebutkan, itu merupakan cerminan dari sikap Korea Selatan terhadap disabilitas.
Para aktivis mengatakan, mereka kerap menerima perlakuan tidak semestinya dari pengguna kereta lain.
"Saya ditabrak oleh penumpang, saya dibuntuti ke rumah. Kadang-kadang orang meneriaki kami," kata Lee Hyung-sook, seorang demonstran yang menggunakan kursi roda sejak terkena polio saat berusia tiga tahun."
Hyung-sook mengaku, ia kerap diteriaki agar tinggal di rumah saja.
Namun, Hyung-sook dan kelompoknya terus berjuang meraih kesetaraan dan menyadarkan adanya kesenjangan antara hak penyandang disabilitas dan non-disabilitas yang sangat besar.
Advertisement
Tak Mendapat Simpati
Hingga saat ini, perjuangan para aktivis disabilitas masih belum membuahkan hasil. Sebaliknya, mereka justru kerap menerima hinaan hingga cemoohan.
Seorang pengguna kereta lain mengatakan, "Lihatlah semua fasilitas yang sudah dimiliki oleh orang-orang cacat ini. Saya setuju dengan polisi."
Sementara dua wanita muda lainnya yang tengah dalam perjalanan pulang dari kerja setuju bahwa meskipun protes itu baik-baik saja, namun pada akhirnya menimbulkan masalah bagi orang lain tidak dapat diterima.
"Mengapa mereka membahayakan warga yang tidak bersalah?," tanya seorang wanita lanjut usia yang mengklaim telat menepati janji di rumah sakit. "Saya pikir apa yang mereka lakukan salah."
Kendati demikian, Kyoung-seok mengatakan dia dan rekan-rekan aktivisnya tidak akan berhenti.
"Saya mengerti ini adalah situasi yang membuat frustrasi para komuter. Tapi kami telah berteriak seperti ini selama lebih dari 20 tahun dan kami masih belum mendapatkan hak yang sama," ujarnya.
Respons Wali Kota Seoul
Wali Kota Seoul Oh Se-hoon telah bersumpah bahwa ia akan bertindak "tanpa toleransi" terhadap para pemprotes tersebut.
Dalam sebuah unggahan di Facebook, dia menulis, "Saya tidak bisa lagi mengabaikan kerusakan dan ketidaknyamanan yang ditimbulkan pada warga biasa."
Kelompok aktivis disabilitas pun mengatakan bahasa yang digunakan oleh wali kota membuktikan dugaan bahwa mereka tidak dianggap sebagai "warga negara biasa".
Pemasangan lift di semua stasiun dan seberapa cepat itu akan terjadi adalah salah satu poin penting dalam tuntutan para aktivis disabilitas.
Menurut Seoul Metro, saat ini hanya 19 dari 275 stasiun di kota (7 persen) yang tidak memiliki akses lift. Hal itu disebut lebih baik dibandingkan dengan Kereta Bawah Tanah London, di mana 69 persen stasiun tidak dapat diakses kelompok disabilitas, sementara di New York persentasenya mencapai 71 persen.
Advertisement