Liputan6.com, Manila - Presiden Ferdinand Marcos memanggil duta besar China sehari setelah Filipina menuduh kapal penjaga pantai China menembakkan senjata laser ke salah satu kapalnya, memicu kebutaan sementara seorang awak kapal dan mengganggu misi di Laut China Selatan.
"Presiden Marcos telah menyatakan keprihatinannya atas peningkatan frekuensi dan intensitas tindakan China terhadap penjaga pantai Filipina dan nelayan kami, termasuk penggunaan 'laser kelas militer'," ungkap kantor kepresidenan Filipina seperti dikutip dari The Guardian pada Rabu (15/2/2023).
Baca Juga
Penjaga pantai Filipina menuduh kapal China menyoroti sinar laser hijau dua kali ke salah satu kapalnya untuk dengan sengaja memblokir misi yang membawa makanan dan perbekalan untuk pasukan Filipina di Second Thomas Shoal di Kepulauan Spratly yang disengketakan.
Advertisement
Selain itu, Filipina juga menuding kapal China melakukan manuver berbahaya dengan mendekati sekitar 150 yard dari sisi kanan kapalnya.
Pada Agustus lalu, Filipina melontarkan klaim serupa bahwa penjaga pantai China memblokir kapal-kapal Filipina untuk mencapai Second Thomas Shoal.
Terkait pertemuan dengan Presiden Marcos, Kedutaan Besar China di Manila mengatakan bahwa Duta Besar Huang Xilian bertemu Presiden Marcos pada Selasa (14/2). Keduanya disebut bertukar pandangan tentang bagaimana mengimplementasikan konsensus yang dicapai oleh kedua kepala negara, memperkuat dialog dan komunikasi, serta mengelola perbedaan maritim antara kedua negara dengan baik.
Marcos, yang mulai menjabat pada Juni lalu, telah mengambil sikap tegas terhadap agresivitas China di Laut China Selatan. Di lain sisi, dia memperkuat hubungan dengan Amerika Serikat (AS), yang memburuk di bawah pendahulunya, Rodrigo Duterte.
Awal bulan ini, Filipina memberikan AS perluasan akses ke pangkalan militernya di wilayah strategis.
Insiden 6 Februari
Insiden antara kapal Filipina dan China itu terjadi pada 6 Februari atau sekitar satu bulan setelah Marcos mengunjungi Beijing. Kunjungan tersebut mencakup diskusi tentang bagaimana kedua belah pihak dapat menghindari memicu krisis di perairan yang disengketakan.
Laporan insiden tersebut memicu kecaman dari AS. Washington menggambarkan perilaku China provokatif dan membahayakan. Sementara itu, Kedutaan Australia dan Jepang di Manila turut menyatakan keprihatinan.
Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei Darussalam semuanya memiliki klaim atas sebagian Laut China Selatan, yang kaya akan sumber daya dan jalur transit minyak yang penting. Namun, China mengakui hampir sepenuhnya memiliki kedaulatan di Laut China Selatan.
Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda, pada tahun 2016 menyatakan bahwa klaim China tersebut tidak memiliki dasar hukum.
Advertisement