Liputan6.com, Tokyo - Seorang profesor di Yale University memicu kemarahan setelah menyarankan warga lanjut usia (lansia) di Jepang melakukan bunuh diri massal. Menurutnya, itu akan membantu mengatasi persoalan populasi Jepang yang menua dengan cepat.
"Menurut saya satu-satunya solusi sudah cukup jelas. Pada akhirnya, bukankah itu soal bunuh diri massal dan seppuku massal para lansia?," ujar Yusuke Narita (37), dalam sebuah wawancara pada akhir 2021 seperti dikutip dari New York Post, Kamis (16/2/2023).
Baca Juga
Seppuku merupakan ritual bunuh diri yang dilakukan oleh samurai Jepang dengan cara merobek perut dan mengeluarkan isinya untuk memulihkan nama baik setelah gagal atau melakukan kesalahan dalam tugas.
Advertisement
Lewat pernyataanya, Yusuke, populer dengan cepat di media sosial. Dia mendapat ratusan ribu pengikut.
Kontroversi Yusuke tidak berhenti di situ. Tahun lalu, Yusuke menjawab pertanyaan seorang anak laki-laki tentang seppuku dengan memberi tahu sebuah adegan dari "Midsommar", film tahun 2019 di mana sebuah sekte di Swedia mengirimkan salah satu anggota tertuanya untuk melompat dari tebing.
"Apakah itu hal baik atau tidak, itu pertanyaan yang lebih sulit untuk dijawab. Jadi, jika menurut Anda itu baik, mungkin Anda bisa bekerja keras untuk menciptakan masyarakat seperti itu," kata dia.
Belakangan, kepada the New York Times, dia mengaku bahwa pernyataannya telah salah diartikan. Klaimnya, pernyataan-pernyataan tersebut merujuk pada upaya untuk mendorong lansia keluar dari posisi kepemimpinan dalam bisnis dan politik.
"Saya seharusnya lebih berhati-hati tentang potensi konotasi negatifnya," sebut Yusuke seraya menambahkan bahwa frasa bunuh diri massal dan seppuku massal adalah metafora abstrak.
"Setelah beberapa kali refleksi diri, saya berhenti menggunakan kata-kata tersebut tahun lalu," tambahnya.
Alexis Dudden, seorang sejarawan di University of Connecticut yang mempelajari Jepang modern mengatakan kepada Times bahwa Yusuke seharusnya berfokus pada strategi yang membantu seperti akses yang lebih baik ke penitipan atau penyertaan perempuan yang lebih luas dalam angkatan kerja atau juga penyertaan imigran yang lebih luas.
Dia menambahkan, "Hal-hal yang mungkin benar-benar menyegarkan bagi masyarakat Jepang."
Bukan Kasus Pertama
Mereka yang menentang pernyataan Yusuke turut bersuara lantang. Salah satunya, jurnalis bernama Masaki Kubota.
"(Pernyataan Yusuke) itu tidak bertanggung jawab," kata Masaki kepada Times.
Dia melanjutkan, "Orang-orang mungkin berpikir 'Oh, kakek nenek saya sudah hidup begitu lama dan kita harus menyingkirkan mereka'."
Kolumnis Newsweek Jepang, Masato Fujisaki mengatakan, pendukung Yusuke meyakini bahwa para lansia seharusnya sudah mati dan dana kesejahteraan sosial.
Beberapa orang khawatir pandangan Yusuke mendapatkan daya tarik di negaranya, di mana generasi yang lebih tua secara tradisional dihormati.
Pernyataan kontroversial tentang lansia di Jepang juga pernah disampaikan oleh Taro Aso, yang pada tahun 2013 menjabat sebagai menteri keuangan. Saat itu, Taro mengatakan, para lansia harus cepat meninggal demi menghemat biaya perawatan medis mereka.
Advertisement
Isu Eutanasia
Tahun lalu, sebuah film distopia karya Chie Hayakawa "Plan 75", membayangkan sales menawarkan insentif kepada warga lansia untuk melakukan eutanasia sendiri dan tidak lagi menjadi beban masyarakat.
Sejumlah survei di Jepang, menurut Times, menunjukkan bahwa mayoritas penduduk mendukung legalisasi eutanasia sukarela.
Profesor filsafat di Tokyo City University Fumika Yamamoto kemudian menggarisbawahi bahwa setiap negara yang telah melegalkan eutanasia hanya "mengizinkannya jika orang tersebut menginginkannya sendiri".
Terkait eutanasia, Yusuke mengatakan, itu adalah isu yang kompleks.
"Saya tidak menyarankan pengenalannya (eutanasia). Saya memprediksi ini akan dibahas secara lebih luas."