Liputan6.com, Tel Aviv - Pasukan Pertahanan Israel (IDF) mengumumkan batas waktu enam jam bagi warga utara Gaza untuk melarikan diri ke selatan melalui rute-rute yang telah ditentukan.
IDF mengumumkan pada Sabtu (14/10/2023), mereka akan mengizinkan warga Gaza pindah ke selatan demi keselamatan mereka melalui rute-rute tertentu di Gaza dari pukul 10.00 hingga 16.00 waktu setempat. Demikian pernyataan yang dibagikan oleh juru bicara IDF Avishay Adraee di X alias Twitter.
Advertisement
Tidak jelas seberapa luas pesan tersebut diterima warga setempat mengingat pemadaman listrik dan internet sebagai akibat dari blokade total Gaza.
Advertisement
Ketika ditanya oleh CNN bagaimana waktu enam jam ini dikomunikasikan kepada warga di Gaza, juru bicara IDF Mayor Doron Spielman mengatakan bahwa semua orang di Kota Gaza sekarang tahu persis apa yang terjadi.
"Mereka diberitahu dalam bahasa Arab, dalam berbagai bahasa di setiap platform yang tersedia, baik platform elektronik maupun non-elektronik. Semua orang di Kota Gaza tahu bahwa mereka harus melewati Wadi Gaza," ujar Spielman, seperti dilansir CNN.
Spielman mengonfirmasi bahwa IDF telah menyebarkan selebaran yang memberi informasi kepada masyarakat di Gaza tentang pengumuman IDF. Namun, seorang pejabat PBB, paramedis, dan jurnalis di lapangan yang ditanya terkait hal ini semuanya tidak mengetahui peringatan terbaru.
Di tengah evakuasi yang sedang berlangsung dari utara Gaza, Masyarakat Bulan Sabit Merah Palestina (PRCS) mengaku telah menerima batas waktu yang direvisi, yaitu pukul 16.00 waktu setempat untuk memindahkan pasien dan staf dari Rumah Sakit Al-Quds di Kota Gaza. Meski demikian, mereka menegaskan bahwa mereka tidak dapat mengevakuasi rumah sakit dan rumah sakit tersebut diwajibkan berdasarkan mandat kemanusiaan untuk terus memberikan layanan kepada orang sakit dan terluka.
Mengutip laporan BBC, konvoi warga sipil Palestina diserang di jalur evakuasi yang ditentukan. Angkanya belum dapat dipastikan, namun korban tewas termasuk perempuan dan anak-anak. Israel belum merespons laporan ini.
Pada Jumat (13/10), Israel telah lebih dulu memperingatkan lebih dari 1 juta warga di utara Gaza agar mengungsi, sementara pasukan dan peralatan militer mereka menumpuk di perbatasan dan serangan udara terus berlangsung sebagai respons terhadap serangan Hamas pada Sabtu 7 Oktober.
Pejabat PBB awalnya diberitahu oleh Israel bahwa relokasi penduduk Gaza harus dilakukan dalam waktu 24 jam. Namun, Israel kemudian mengakui bahwa migrasi massal akan memakan waktu dan juru bicara IDF Letkol Peter Lerner mengatakan pada Jumat bahwa tenggat waktu mungkin meleset, sehingga menambah ketidakpastian yang ada.
Sebelum peringatan Israel tersebut, lebih dari 400.000 warga Palestina telah menjadi pengungsi internal akibat pertempuran selama sepekan terakhir ketika kondisi di wilayah yang dibombardir semakin memburuk.
Kecaman bagi Israel
Perintah Israel agar warga sipil di utara Gaza mengungsi memicu kecaman, termasuk oleh kepala Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA), yang memperingatkan bahwa tindakan tersebut dapat membawa konsekuensi kemanusiaan yang sangat besar.
"Perintah untuk mengevakuasi 1,1 juta orang dari Gaza utara melanggar aturan perang dan dasar kemanusiaan," tulis kepala OCHA Martin Griffiths pada Jumat malam. "Jalan dan rumah (di Gaza) telah menjadi puing-puing. Tidak ada tempat yang aman untuk dituju."
"Memaksa warga sipil yang ketakutan dan mengalami trauma, termasuk perempuan dan anak-anak, untuk berpindah dari satu daerah padat penduduk ke daerah lain, tanpa jeda dalam pertempuran dan tanpa dukungan kemanusiaan, adalah hal yang berbahaya dan keterlaluan."
Arab Saudi dan Qatar juga tegas menolak pemindahan paksa warga Gaza.
"Kerajaan Arab Saudi menegaskan penolakannya terhadap seruan pengusiran paksa rakyat Palestina dari Gaza dan kembali mengecam tindakan yang terus menerus menargetkan warga sipil tak bersenjata," demikian pernyataan Kementerian Luar Negeri Arab Saudi.
Tidak hanya itu, Arab Saudi juga menyerukan penyediaan bantuan dan pasokan medis kepada warga Gaza, "Tidak memberikan mereka kebutuhan dasar untuk hidup bermartabat merupakan pelanggaran terhadap hukum kemanusiaan internasional."
Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Qatar menyerukan pencabutan blokade Jalur Gaza dan memberikan perlindungan penuh bagi warga sipil Palestina sesuai dengan hukum internasional dan kemanusiaan.
Advertisement
Truk Es Sebagai Kamar Mayat Darurat
Kementerian Kesehatan Palestina dalam pembaruan pada Sabtu mengumumkan bahwa setidaknya 2.215 warga Palestina terbunuh di Gaza akibat serangan balasan Israel, termasuk di antaranya 724 anak.
Sebuah rumah sakit di Gaza terpaksa menggunakan truk es krim dari pabrik lokal sebagai kamar mayat darurat untuk melengkapi kamar mayat rumah sakit yang penuh sesak.
Yasser Khatab, ahli patologi forensik di Rumah Sakit Martir al-Aqsa, mengatakan dalam pesan video yang dikirim ke CNN pada Sabtu bahwa rumah sakit di Deir al-Balah tidak lagi mampu menampung meningkatnya jumlah korban meninggal.
Ketika ditanya CNN apakah perintah evakuasi mengindikasikan akan adanya serangan darat, juru bicara IDF lainnya Letkol Jonathan Conricus mengungkapkan bahwa IDF akan menilai situasi di lapangan dan melihat berapa banyak warga sipil yang tersisa di daerah tersebut.
"Setelah kami melihat bahwa situasinya memungkinkan untuk terjadinya serangan darat yang signifikan maka operasi akan dimulai," tutur Conricus.
IDF mengatakan pula pada Sabtu bahwa jet-jet tempurnya telah menyerang markas operasional yang digunakan militan Hamas dan berhasil menewaskan kepala Sistem Udara Hamas di Kota Gaza. Menurut IDF, petinggi Hamas yang tewas itu sebagian besar bertanggung jawab mengarahkan selama serangan Sabtu 7 Oktober terhadap Israel.
Gaza berada di bawah blokade darat, laut dan udara yang diberlakukan oleh Israel sejak tahun 2007, dengan lebih dari separuh penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan bahkan sebelum konflik terbaru terjadi. Sekarang hanya ada satu koridor tersisa bagi warga Palestina untuk mengungsi atau masuknya bantuan, yaitu perlintasan Arafah yang menghubungkan Gaza dengan Mesir. Belum jelas apakah koridor tersebut dapat beroperasi.
Sementara waktu terus berjalan, Program Pangan Dunia (FAO) menyebutkan pihaknya telah mendistribusikan makanan kepada 135.000 orang di tempat penampungan di Gaza pada Jumat, namun mereka memperingatkan bahwa persediaan bantuan kemanusiaan semakin menipis.
OCHA pun mengingatkan bahwa kebanyakan orang sekarang tidak memiliki akses terhadap air di wilayah tersebut.
"Sebagai upaya terakhir, masyarakat mengonsumsi air payau dari sumur pertanian, sehingga memicu kekhawatiran serius mengenai penyebaran penyakit yang ditularkan melalui air," ungkap kepala badan PBB itu.