Liputan6.com, Beijing - Produsen mobil China telah mendominasi dunia dalam hal penjualan, produksi dan juga ekspor.
Berdasarkan laporan yang dirilis oleh Automobility, sebuah konsultan Shanghai, pada tahun 2023, Tiongkok telah mencapai puncak penjualan 30,1 juta mobil, melampaui rekor sebelumnya yaitu 28,9 juta pada tahun 2017.
Baca Juga
Sebagian besar penjualan tersebut disebabkan oleh peralihan cepat di Tiongkok menuju manufaktur EV.
Advertisement
Meskipun angkanya mengesankan, namun hal ini juga mencerminkan kenyataan menyedihkan berupa penurunan drastis penjualan kendaraan penumpang non-listrik di dalam negeri, dikutip dari laman asiandiplomacy, Jumat (6/4/2024).
Selain itu, terjadi penurunan pesat dalam produksi kendaraan dengan mesin pembakaran internal (ICE), yaitu 17,7 juta mobil bermesin pembakaran internal untuk pasar lokal, turun 37 persen dari 28,3 juta pada tahun 2017.
Produsen mobil ICE lokal kini merasa terancam oleh merek mobil asing yang beroperasi di Tiongkok.
Ada sedikit penurunan angka pembuat mobil lama yang bekerja di mobil bermesin pembakaran internal. Analis sektor otomotif menilai jika tren ini terus berlanjut maka akan menimbulkan ancaman serius bagi perekonomian Tiongkok dalam jangka panjang.
Beijing dianggap menyadari adanya ancaman kelebihan produksi di sektor otomotif yang mungkin dihadapi negara tersebut di masa depan.
Xi Jinping telah membahas masalah ini pada Desember tahun lalu selama Konferensi Kerja Ekonomi Pusat, sebuah pertemuan tahunan yang menetapkan kebijakan ekonomi untuk tahun berikutnya dan menyatakan bahwa kelebihan kapasitas di beberapa industri adalah salah satu “kesulitan dan tantangan utama yang harus diatasi dalam mencapai pemulihan ekonomi lebih lanjut”.
Namun rujukan Xi terhadap masalah ini masih belum didukung oleh rencana konkrit.
Pabrik Mobil ICE Terbengkalai
Beberapa pabrik mobil di Tiongkok sudah mulai fokus pada kendaraan listrik dan ekspornya, namun banyak pabrik lainnya yang sudah kelebihan produksi ICE Automobiles.
Keyu Jin, seorang profesor di London School of Economics dan penulis The New China Playbook, telah menunjukkan bagaimana para perencana ekonomi Tiongkok harus memerangi “masalah transisi klasik” berupa realokasi tenaga kerja ketika Beijing beralih dari manufaktur tradisional ke kendaraan ramah lingkungan yang baru.
Jin lebih lanjut menambahkan bahwa pejabat pemerintah telah mulai memperluas kuantitas dan kualitas sekolah kejuruan untuk membantu mencocokkan keterampilan tenaga kerja dengan pekerjaan.
Namun hambatan utama terhadap realokasi sumber daya tenaga kerja di Tiongkok terletak pada Sistem Pendaftaran Rumah Tangga Hukou di negara tersebut, tambah Jin.
Lembaga inti ini membatasi populasi migran yang berjumlah hampir 400 juta orang dan sistem yang tepat harus diterapkan untuk memenuhi kebutuhan mereka ketika mereka bermigrasi ke kota lain untuk mencari pekerjaan.
Kelompok data CEIC melaporkan bahwa meskipun Tiongkok secara agresif memasarkan manufaktur kendaraan listrik, penurunan produksi mobil ICE tradisional telah menyebabkan pengangguran.
Advertisement
Hilangnya Lapangan Pekerjaan
Jumlah orang yang bekerja di bidang manufaktur mobil di Tiongkok telah mencapai hampir 5 juta orang pada tahun 2018 dan sejak itu telah berkurang sebanyak 500.000 orang.
Albert Park, kepala ekonom Bank Pembangunan Asia, mengatakan, bank tersebut memperkirakan bahwa jumlah lapangan kerja yang diciptakan di industri hijau baru di seluruh Asia tidak akan mampu mengkompensasi hilangnya lapangan kerja yang terkait dengan industri bahan bakar fosil.
Namun dia mengatakan bahwa data ketenagakerjaan di Tiongkok masih belum jelas karena perekonomian sudah terpuruk akibat buruknya pasar saham dan penurunan sektor properti.
“Masalah penyesuaiannya cukup besar,” katanya.
Sementara itu, Abbey Heffer pakar ketenagakerjaan dan tata kelola Tiongkok di Universitas Tübingen di Jerman, mengatakan pejabat pemerintah di beberapa wilayah di Tiongkok harus menghadapi penutupan pabrik dan pengangguran skala besar yang tiba-tiba, yang mengakibatkan banyak kekacauan.