Liputan6.com, Jakarta - Kolaborasi, pengakuan dan penghormatan antar agama akan menjadi sejumlah topik utama yang dibahas dalam Konferensi Internasional Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB) yang akan digelar di Hotel Shangri La, Jakarta, 10-11 Juli 2024. Kegiatan tersebut merupakan hasil kolaborasi antara Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemlu RI) dan Institut Leimena.
"Semangat dialog lintas agama merupakan salah satu program keunggulan dari Kementerian Luar Negeri, di mana kita mengedepankan aset-aset dan soft power diplomasi Indonesia," kata Direktur Diplomasi Publik Direktorat Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik Kemlu RI, Ani Nigeriawati dalam pernyataan pers kepada media, Jakarta, Jumat (5/7/2024).
Baca Juga
Dalam konferensi tersebut, Ani menyebut bahwa Indonesia akan membagikan pengalamannya dalam membangun keharmonisan antar umat beragama.
Advertisement
"Nilai-nilai seperti toleransi dan moderasi beragama merupakan kekuatan yang dimiliki Bangsa Indonesia, yang belum tentu dimiliki negara lain," lanjutnya.
"Ini seringkali menjadi referensi, untuk melihat apa yang sudah dilakukan Indonesia dan kita dilihat mampu memimpin dalam konteks tersebut."
Mantan Menteri Luar Negeri sekaligus Senior Fellow Institut Leimena Alwi Shihab menjelaskan bahwa konferensi tersebut akan membangun semangat kolaborasi antar umat agama, sekaligus meningkatkan literasi terkait perbedaan agama.
"Dalam konferensi ini akan dibahas bagaimana kita memberikan pencerahan kepada masyarakat untuk saling menghormati dan saling berusaha memahami ajaran agama lain agar kita bisa membangun kerja sama yang baik lewat kolaborasi," ungkapnya.
Adapun LKLB mengundang ratusan peserta yang mencakup pejabat pemerintah, sejumlah duta besar negara sahabat, akademisi, pemimpin masyarakat sipil dan para alumni pelatihan LKLB yang terdiri dari guru madrasah dan sekolah.
Rencananya, Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi akan memberikan pidato pembukaan dalam acara tersebut.
Hadirkan Narasumber Berkompeten
LKLB juga akan menghadirkan sedikitnya 50 narasumber dari dalam dan luar negeri untuk membahas upaya penguatan kolaborasi multiagama di tengah berbagai tantangan dunia. Konferensi ini terdiri dari lima panel utama dengan format hybrid dan 10 sesi breakout.
Alwi menegaskan bahwa para narasumber yang akan bergabung dalam konferensi tersebut harus memiliki kompetensi pribadi dan kompetensi kolaborasi.
"Kompetensi pribadi artinya dia harus mengetahui ajaran agamanya dulu sehingga saat berdialog, dia tahu agama itu maunya bagaimana. Kemudian kompetensi kolaborasi, artinya kita juga harus bisa berkolaborasi dengan masyarakat yang iklusif," jelas dia.
Advertisement
Pentingnya Pendidikan
Selain kolaborasi, LKLB juga akan membahas soal pentingnya peran pendidikan dalam menanamkan nilai-nilai penghormatan multiagama.
"Secara khusus, konferensi juga akan menyoroti peran penting Pendidikan dalam pembangunan kolaborasi multiagama. Konferensi ini melanjutkan keberhasilan pelatihan Literasi Keagamaan Lintas Budaya di Indonesia yang telah melatih lebih dari 8.500 guru dalam waktu kurang dari 2,5 tahun dan melibatkan 25 lembaga pendidikan dan keagamaan," tutur Program Manager Institut Leimana Daniel Adipranata.
Pentingnya peran pendidikan juga disorot oleh Alwi, yang menyebut bahwa nilai penghormatan antar agama perlu disisipkan dalam kurikulum, terutama pesantren, untuk menghindari fanatisme atau radikalisme.
"Tanpa pendidikan, sulit untuk kita menembus pemikiran orang-orang yang terindikasi atau terpengaruh oleh pandangan radikal, dimana semua itu didasarkan kepada tokoh agama yang keras," sebut dia.
Peran Guru Agama
Maka dari itu, Alwi juga menilai pentingnya peran guru agama dalam menanamkan nilai tersebut. Terlebih, ia memaparkan hasil survei yang menyebut bahwa lebih dari 50 persen guru agama terindikasi intoleran.
"Ini bahaya sekali. Kalau guru agama intoleran, mereka ini akan menjadi pemimpin kita di masa dating. Apa jadinya Indonesia kalau kita tidak secara kolektif bertanggung jawab mengatasi hal ini," kata dia menambahkan.
"Dalam keseharian, kita masih melihat pandangan radikal, tidak boleh mengucapkan selamat natal, selamat ulang tahun. Itu semuanya harus di-approach melalui pendidikan."
Advertisement