Liputan6.com, Naypyidaw - Survei geologi AS (USGS) mencatat gempa magnitudo 7,7 di Mandalay, Myanmar, pada Jumat (28/3/2025), sekitar pukul 12.50 waktu setempat. Gempa yang guncangannya terasa hingga Thailand dan China ini dilaporkan bersifat dangkal, yakni terjadi di kedalaman 10 km.
Bill McGuire, profesor emeritus bidang bahaya geofisika dan iklim di University College London seperti dikutip The Guardian mengatakan, "Kualitas bangunan umumnya tidak memadai untuk menahan guncangan sekuat ini. Jumlah korban dipastikan akan meningkat seiring waktu."
Baca Juga
Apa penyebab gempa ini?
Advertisement
Gempa terjadi ketika lempeng tektonik—balok batuan raksasa penyusun kerak bumi—bergerak saling bergesek. Menurut USGS, gempa Myanmar ini terjadi karena pergeseran horizontal antara lempeng India dan lempeng Eurasia - artinya kedua lempeng ini bergesekan secara menyamping seperti dua papan yang digesekkan ke arah berlawanan.
"Gempa ini terjadi di Sesar Sagaing, yang merupakan batas pertemuan lempeng tektonik India (di sebelah barat) dan lempeng Eurasia (di sebelah timur). Lempeng India bergerak ke arah utara sepanjang sesar ini, sementara lempeng Eurasia relatif diam," jelas McGuire.
Menurut USGS, kawasan ini memang rawan gempa besar. Sejak 1900 saja, sudah terjadi enam kali gempa sesar geser magnitudo 7 atau lebih dalam radius 250 km dari lokasi kejadian.
Bisakah gempa ini diprediksi?
Para ahli seismologi tidak bisa meramalkan waktu pasti terjadinya gempa (hari/tanggalnya), namun mereka bisa mengidentifikasi zona-zona rawan gempa berdasarkan pola geologis.
"Tidak bisa," tegas McGuire menjawab pertanyaan bisakah gempa diprediksi. "Tapi secara umum (gempa Myanmar) sudah diperkirakan karena terjadi di segmen sesar yang lama tidak melepaskan energi—disebut 'celah seismik'."
Roger Musson dari British Geological Survey menyebut peristiwa serupa terakhir terjadi tahun 1956.
"Artinya, bangunan di sana tidak dirancang tahan gempa. Kerusakan dan korban jadi lebih parah ketika gempa seperti ini terjadi," imbuhnya.
Â
Advertisement
