WHO: Kekerasan Terhadap Perempuan Tidak Bisa Dihentikan dengan Vaksin

Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus menyebut bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah "endemik di setiap negara dan budaya, yang menyebabkan kerugian bagi jutaan perempuan dan keluarga mereka."

oleh Giovani Dio Prasasti diperbarui 11 Mar 2021, 15:00 WIB
Diterbitkan 11 Mar 2021, 15:00 WIB
Kekerasan terhadap perempuan
Ilustrasi Kekerasan terhadap perempuan/ Tumisu from Pixabay

Liputan6.com, Jakarta - World Health Organization (WHO) memperingatkan masih tingginya angka kekerasan terhadap perempuan di dunia, bahkan bagi perempuan yang berusia lebih muda.

WHO mengatakan, 1 dari 3 wanita atau sekitar 736 juta orang, mengalami kekerasan fisik atau seksual oleh pasangan maupun kekerasan seksual dari orang yang bukan pasangannya.

Melansir laman resmi WHO pada Rabu (10/3/2021), kekerasan bahkan dilaporkan terjadi sejak dini. 1 dari 4 perempuan berusia 15 hingga 24 tahun yang telah menjalin sebuah hubungan, pernah mengalami kekerasan oleh pasangannya ketika mereka mencapai usia pertengahan 20-an.

Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus bahkan menyebut bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah "endemik di setiap negara dan budaya, yang menyebabkan kerugian bagi jutaan perempuan dan keluarga mereka."

Dia menambahkan, kondisi tersebut saat ini bertambah buruk akibat pandemi. "Namun tidak seperti COVID-19, kekerasan terhadap perempuan tidak bisa dihentikan dengan vaksin," kata Tedros.

Tedros mengatakan, situasi ini hanya bisa dilawan dengan upaya yang mengakar dan berkelanjutan untuk mengubah sikap merugikan, meningkatkan akses ke peluang dan layanan untuk perempuan, serta membina hubungan yang sehat dan saling menghormati.

Upaya-upaya melawan kekerasan pada perempuan tersebut pun haruslah dilakukan baik oleh pemerintah, komunitas, serta individu.

 

**Ibadah Ramadan makin khusyuk dengan ayat-ayat ini.

Saksikan Juga Video Menarik Berikut Ini

Dampak Pandemi yang Belum Terlaporkan

Kekerasan Perempuan/dok. Unsplash Cristian
Kekerasan Perempuan/dok. Unsplash Cristian

Berdasarkan data yang dihimpun WHO dari tahun 2000 hingga 2018, kekerasan pasangan intim sejauh ini merupakan bentuk kekerasan paling banyak dilaporkan terhadap perempuan secara global. Hal ini berdampak pada sekitar 641 juta orang.

Namun, 6 persen wanita di seluruh dunia juga melaporkan telah dilecehkan secara seksual oleh orang lain selain suami atau pasangannya. Mengingat tingginya stigma dan kurangnya pelaporan tentang pelecehan seksual, angka aslinya mungkin jauh lebih besar.

Selain itu, angka ini juga tidak mencerminkan dampak pandemi COVID-19 yang masih berlangsung.

WHO dan mitra-mitranya pun memperingatkan situasi tersebut semakin meningkatkan paparan wanita terhadap kekerasan, sebagai dampak tindakan seperti lockdown dan gangguan pelayanan pendukung vital.

"Kita tahu bahwa berbagai dampak COVID-19 telah memicu "pandemi bayangan" dari segala jenis kekerasan yang dilaporkan terhadap wanita dan anak perempuan," kata United Nation Women Executive Director Phumzile Mlambo-Ngcuka.

"Setiap pemerintah harus mengambil langkah-langkah yang kuat dan proaktif untuk mengatasi hal ini, serta melibatkan perempuan dalam melakukannya," kata Mlambo-Ngcuka.

Infografis Tarik Ulur RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Infografis Tarik Ulur RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Tarik Ulur RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya