Liputan6.com, Jakarta - Makanan seperti jengkol dan petai sering menjadi perbincangan menarik. Meskipun dianggap lezat oleh penggemarnya, aroma khas kedua makanan ini tak jarang menuai komentar negatif. Namun, bagaimana Islam memandang konsumsi makanan berbau menyengat seperti jengkol?
Dalam sebuah video yang dikutip dari kanal YouTube @sahabat_hijraaahe.i7015, Ustadz Adi Hidayat (UAH) memberikan penjelasan mengenai hukum makan jengkol. Penjelasan ini mengupas aspek-aspek syariat dan etika yang berkaitan dengan makanan tersebut.
Advertisement
UAH mengawali pembahasannya dengan menekankan bahwa setiap makanan yang halal pada dasarnya boleh dikonsumsi, termasuk jengkol dan petai. Namun, ada pertimbangan lain yang perlu diperhatikan, terutama jika makanan tersebut menimbulkan efek tertentu.
Advertisement
“Makanan seperti jengkol dan petai memiliki aroma yang khas. Jika baunya menyebabkan ketidaknyamanan, baik bagi diri sendiri maupun orang lain, maka ada adab yang perlu dijaga,” ujar UAH.
Menurut UAH, makanan berbau menyengat yang dikonsumsi sebelum ibadah, seperti sholat, dapat memengaruhi kekhusyukan. Hal ini sejalan dengan anjuran Rasulullah SAW untuk memperhatikan kebersihan dan kesegaran sebelum beribadah.
“Coba bayangkan, kalau Anda merasa tidak nyaman dengan baunya sendiri, bagaimana saat berinteraksi dengan orang lain, apalagi menghadap Allah SWT dalam sholat?” lanjut Ustadz Adi Hidayat.
Baca Juga
Simak Video Pilihan Ini:
Makanlah, tapi Jangan Ganggu Lainnya
Ia juga menambahkan bahwa makanan seperti jengkol dan petai dapat dimakan asalkan tidak mengganggu aktivitas ibadah. Jika baunya dianggap mengganggu, maka sebaiknya diimbangi dengan tindakan untuk mengurangi efek tersebut, seperti menjaga kebersihan mulut.
UAH memberikan saran praktis untuk mengatasi bau yang ditimbulkan. Ia bahkan menyebutkan humor ringan terkait “obat” jengkol dan petai. “Anda makan jengkol, obatnya petai. Makan petai, obatnya jengkol. Tapi kalau sama-sama bau, jangan dipaksakan,” katanya sambil tersenyum.
Dalam penjelasannya, UAH mengaitkan adab makan dengan prinsip keutamaan dalam Islam. Mengonsumsi makanan halal adalah hak, tetapi menjaga kenyamanan orang lain juga menjadi kewajiban.
“Islam mengajarkan keseimbangan. Tidak hanya fokus pada apa yang boleh dimakan, tetapi juga bagaimana dampaknya terhadap lingkungan sekitar,” tegas UAH.
Ia juga mengingatkan bahwa ibadah, seperti sholat, membutuhkan kondisi terbaik dari seorang muslim. Oleh karena itu, persiapan sebelum sholat, termasuk menjaga kesegaran tubuh, adalah bagian dari penghormatan kepada Allah SWT.
Lebih jauh, UAH mengaitkan hal ini dengan kebiasaan Rasulullah SAW yang selalu menjaga kebersihan mulut. Sunnah ini dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, terutama setelah mengonsumsi makanan dengan aroma menyengat.
Advertisement
Anjuran Habis Makan Jengkol Berwudhu, untuk Lebih Khusyuk
“Jika makanan seperti jengkol dikonsumsi, pastikan untuk segera bersihkan diri dan berwudhu sebelum beribadah. Ini agar ibadah Anda tetap nyaman dan khusyuk,” jelas UAH.
Penjelasan ini memberikan perspektif baru bagi penggemar jengkol dan petai. Konsumsi makanan tersebut tidak dilarang, namun perlu diatur agar tidak mengganggu diri sendiri maupun orang lain.
UAH juga menekankan pentingnya memahami adab dalam Islam secara kontekstual. Setiap aturan memiliki hikmah yang mendalam, termasuk anjuran untuk menjaga kesegaran tubuh sebelum ibadah.
Kisah unik terkait makanan ini menjadi pengingat bahwa Islam adalah agama yang memperhatikan setiap aspek kehidupan, bahkan dalam hal kecil seperti makanan.
Dengan pemahaman ini, umat Islam diharapkan dapat lebih bijak dalam mengonsumsi makanan, terutama yang memiliki dampak langsung terhadap kenyamanan ibadah dan lingkungan sosial.
UAH mengakhiri penjelasannya dengan mengajak umat Islam untuk senantiasa menjaga kebersihan, baik secara fisik maupun spiritual. Langkah ini adalah bagian dari upaya mencapai kehidupan yang penuh keberkahan.
Melalui ceramah ini, UAH menyampaikan bahwa makan jengkol bukan sekadar soal rasa atau budaya, tetapi juga mencakup aspek syariat dan etika. Ini menjadi pelajaran penting bagi umat Islam dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul