Liputan6.com, Jakarta - Di hari biasa, jalanan Gaza biasanya ramai saat Idulfitri, diiringi suara takbir menyambut Hari Raya. Pasar Al Remal dan Al Saha sangat digemari untuk membeli pakaian baru bagi anak-anak, serta cokelat dan permen Lebaran. Tapi saat ini, kedua pasar tersebut benar-benar hancur, jalan-jalan ditutup, dan toko-toko masih tutup.
Hanya sedikit orang yang keluar, termasuk untuk tugas berbahaya mencari bantuan di tengah krisis kelaparan yang terus berlanjut. "Idul Fitri adalah tentang anak-anak, dan Gaza telah kehilangan lebih dari lima ribu anak. Bagaimana kami bisa merayakan Lebaran? Bahkan jika tentara Israel mundur dari kota, hati kami dipenuhi kesedihan dan keputusasaan,” kata Mona Yousef (50) pada The National, dikutip Rabu (10/6/2024).
Baca Juga
Yousef telah tinggal di rumah temannya di wilayah Al Nasser di kota Gaza sejak rumahnya di Tal Al Hawa, Gaza selatan, dihancurkan. "Saya merasa cucu saya, yang seharusnya berusia 10 tahun, kini sudah berusia 15 tahun. Ia bertanya pada saya, apakah anak-anak di negara Arab lain merasakan hal yang sama dengan kami," sebut dia.
Advertisement
"Ada kesedihan dan keputusasaan di wajah masyarakat, dan mereka lebih banyak diam," lanjutnya.
Mohammed Aziz (10) tinggal bersama saudara perempuannya yang sudah menikah di salah satu sekolah yang dikelola PBB di Jabalia, Gaza utara, sejak kehilangan orangtuanya dan salah satu saudara laki-lakinya. Kota kecil, yang sebagian besar merupakan kamp pengungsi, telah dibom secara besar-besaran oleh Israel, menyebabkan banyak korban jiwa.
Berupaya Jaga Tradisi Lebaran
"Sebagian besar anak-anak di sekitar saya memiliki orangtua, dan saya merindukan ayah dan ibu saya. Ibu saya dulu mengajak saya membeli baju baru untuk Idulfitri, tapi sekarang tidak ada Idulfitri," kata Mohammed pada The National.
Selama bulan pertama perang, Mohammed pergi membeli kentang untuk ibunya ketika rumah mereka hancur dan orangtua, serta saudara laki-lakinya terbunuh dalam serangan udara Israel. Adiknya berusaha mengisi kekosongan yang ditinggalkan ibu mereka, namun kesulitan karena ia juga merindukan keluarga mereka di saat-saat sulit ini.
Hanneen Hinawi (35), pengungsi dari kota Gaza dan sekarang tinggal di tenda di Rafah, mengatakan anak-anaknya memahami bahwa mereka sedang mengalami masa-masa sulit dan tidak akan ada perayaan Lebaran seperti baisa di wilayah kantong tersebut tahun ini.
"Saya membelikan kue Lebaran untuk mereka, karena mereka menyukainya dan ingin memakannya pada hari pertama setelah Ramadhan, seperti yang selalu mereka lakukan,” kata Hinawi. "Idulfitri adalah momen kumpul keluarga, anak-anak bermain di taman, memberi mereka uang, dan membeli mainan, namun mereka (Israel) telah merampas kebutuhan dasar kita."
Advertisement
Ingin Kumpul Keluarga
Hinawi, yang tinggal di tenda bersama suami dan dua anaknya, terpisah dari keluarganya, dan anak-anaknya sudah enam bulan tidak bertemu sepupu mereka. Ia mengatakan, mereka hanya ingin berkumpul dengan teman dan kerabat mereka di Gaza.
"Semangat kami melemah dan kami tidak sanggup lagi menanggung situasi ini. Kami dulu sangat menikmati semua perayaan, tapi sekarang yang bisa kami fokuskan hanyalah terus menjalani hidup," sebut dia.
Umm Hassan Al Massri (65) bersikeras memasak somakia dan membagikannya ke tetangganya di Deir Al Balah, Gaza tengah. Somakia merupakan makanan tradisional yang biasa dimasak warga Gaza pada hari terakhir Ramadhan dan disantap pada hari pertama Lebaran.
"Saya biasa memasak somakia setiap Idulfitri, dan saya akan terus melakukannya, tapi tanpa daging karena harga daging sekarang terlalu mahal," ujarnya. Sekitar 20 anggota keluarganya terpaksa mengungsi dari wilayah lain di Gaza.
"Ini bukan pertama kalinya kami tidak merayakan Idulfitri. Kami sudah terbiasa dengan situasi ini, kami kehilangan kegembiraan. Setiap rumah tangga dan keluarga telah kehilangan sesuatu dalam perang ini," kata Al Massri. "Bahkan ketika perang berakhir, hidup kami tidak akan kembali seperti semula."
Krisis Kelaparan di Gaza
Enam bulan setelah perang, situasi kemanusiaan di Gaza sangat buruk. Wilayah kantong yang terkepung itu menghadapi tingkat krisis kelaparan, menurut Klasifikasi Fase Ketahanan Pangan Terpadu (IPC), sebuah badan penasihat PBB, melansir Financial Times, Selasa, 9 April 2024.
Sebagian besar dari 2,3 juta penduduk di Jalur Gaza terpaksa meninggalkan rumah mereka. Mahkamah Internasional telah memperingatkan bahwa kelaparan sudah teridentifikasi di beberapa daerah dan telah memerintahkan Israel memastikan aliran bantuan segera "tanpa hambatan."
Sejauh ini, setidaknya 28 anak meninggal karena kekurangan gizi dan dehidrasi, menurut badan kemanusiaan PBB, OCHA. Satu dari tiga anak di bawah usia dua tahun kini mengalami kekurangan gizi akut, menurut Program Pangan Dunia.
Israel membantah pihaknya memblokir bantuan dan menolak keputusan pengadilan PBB. Sebaliknya, mereka menuduh Hamas mengambil pasokan dan menyalahkan lembaga bantuan atas distribusi yang buruk. Mereka juga menolak penilaian IPC mengenai tingkat kelaparan, dengan dalih bahwa penilaian tersebut didasarkan pada data yang terbatas dan tidak dapat diandalkan.
Advertisement