Liputan6.com, Jakarta - Terdakwa kasus korupsi e-KTP Irman dan Sugiharto telah divonis masing-masing, 7 dan 5 tahun penjara. Dua pejabat di Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) itu juga diwajibkan membayar denda.
Irman didenda Rp 500 juta dengan ketentuan jika tak dapat membayar diganti dengan pidana kurungan enam bulan. Sementara Sugiharto wajib membayar Rp 400 juta dengan ketentuan jika tak dibayar diganti pidana kurungan enam bulan.
Baca Juga
Di balik vonis kedua terdakwa kasus korupsi e-KTP tersebut, hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) mengungkap fakta atau setidaknya jejak dugaan korupsi yang dilakukan Setya Novanto. Kini, Ketua DPR itu telah berstatus tersangka kasus dugaan korupsi e-KTP.
Advertisement
Fakta itu berupa uang bancakan yang diduga menjadi pangkal negara merugi hingga Rp 2,3 triliun. Hakim Franky Tambuwun menyebut, pada 2012 terjadi pertemuan antara kedua terdakwa.
Pada pertemuan yang bertempat di ruang kerja Irman selaku Dirjen Dukcapil Kemendagri itu, Sugiharto memperlihatkan sebuah catatan.
"Sugiharto memperlihatkan kepada Irman sebuah catatan, menurut Sugiharto catatan tersebut berasal dari Andi Narogong," ujar Hakim Franky dalam sidang kasus e-KTP di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis, 20 Juli 2017.
Ia menjelaskan, catatan tersebut berisi rencana pembagian uang dari Andi Agustinus alias Andi Narogong kepada beberapa pihak. Mereka adalah Setya Novanto, Anas Urbaningrum, Marzuki Alie, Chairuman Harahap, dan anggota Komisi II DPR.
Vonis majelis hakim ini sesuai dengan tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Â
Saksikan video menarik di bawah ini:
Peran Setya Novanto
Peran Setya Novanto dalam kasus korupsi e-KTP itulah kemudian yang menjadi salah satu pertimbangan majelis hakim memvonis Irman dan Sugiharto. Pertemuan tersebut diketahui berlangsung di Hotel Grand Melia, Jakarta.
Setya Novanto tidak hanya bertemu kedua terdakwa e-KTP itu, tapi juga Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri Diah Anggraini dan pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong itu.
Setya Novanto yang ketika itu menjabat sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar, diduga menyatakan kesediaannya membantu proses pembahasan anggaran di DPR.
"Pertemuan di Grand Melia, Setya Novanto mengatakan akan mendukung proyek e-KTP," kata hakim Franky Tambuwun membacakan pertimbangan putusan Irman dan Sugiharto di PN Tipikor, Jakarta, Kamis 20 Juli 2017.
Ternyata pertemuan tersebut tidak hanya berlangsung sekali, melainkan lebih. Yakni, pertemuan di lantai 12 Gedung DPR, yang merupakan ruang kerja Setya Novanto.
Pertemuan kedua itu dihadiri terdakwa Irman dan Andi Narogong. Dalam pertemuan, Andi Narogong dan Irman meminta kepastian Novanto mengenai persetujuan DPR terkait anggaran proyek e-KTP.
"Dalam pertemuan, Setya Novanto mengatakan bahwa ia akan mengoordinasikan dengan pimpinan fraksi lainnya," ucap hakim Franky.
Advertisement
Tersangka
KPK menetapkan Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka keempat kasus e-KTP. Penetapan ini dilakukan setelah penyidik mencermati fakta persidangan dua mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri yang juga terdakwa kasus yang sama, Irman dan Sugiharto.
"KPK menemukan bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan seorang lagi sebagai tersangka. KPK menetapkan SN (Setya Novanto), anggota DPR sebagai tersangka dengan tujuan menyalahgunakan kewenangan, sehingga diduga mengakibatkan Negara rugi Rp 2,3 triliun," ujar Ketua KPK Agus Rahardjo, di Gedung KPK, Jakarta, Senin 17 Juli 2017.
Agus menjelaskan Setya Novanto memiliki peran penting dalam mengatur proyek e-KTP. Penyidik menduga Novanto dan Andi Agustinus alias Andi Narogong bersama-sama mengatur proyek e-KTP sejak awal.
"Saudara SN (Setya Novanto) melalui AA (Andi Narogong), diduga memiliki peran baik dalam proses perencanaan dan pembahasan anggaran di DPR dan proses pengadaan barang dan jasa e-KTP," kata dia.
Setya Novanto disangka melanggar Pasal 3 atau Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Terkait statusnya ini, Setya Novanto tegas membantah menerima uang Rp 574 miliar seperti yang disebutkan dalam dakwaan jaksa KPK. Dia pun mengutip pernyataan mantan anggota Partai Demokrat Nazaruddin yang menyebut dirinya tidak terlibat korupsi e-KTP.
Setya Novanto berharap tidak ada lagi pihak-pihak yang menyerang dirinya, terutama dalam kasus proyek e-KTP. "Saya mohon betul-betul, jangan sampai terus dilakukan penzaliman terhadap diri saya," tegas ketua umum Partai Golkar itu.