Jakarta - Pakar Hukum, I Gde Pantja Astawa menilai, pernyataan calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (Capim KPK) I Nyoman Wara yang menyebut tidak perlu melakukan konfirmasi kepada auditee dalam melaksanakan audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah keliru.
Menurutnya, hal itu bertentangan dengan ketentuan UU dan peraturan BPK yang berlaku.
"Berdasarkan asas asersi, auditor BPK harus mengkonfirmasi pihak yang diperiksa (auditee) dalam pemeriksaan, baik pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja maupun pemeriksaan dengan tujuan tertentu yang antara lain dalam bentuk pemeriksaan investigatif," tegas Guru Besar Hukum Administrasi Negara Unpad itu seperti dilansir dari JawaPos, Sabtu (31/8/2019).
Advertisement
Pernyataan I Nyoman Wara tersebut dinilai Pantja bertentangan dengan ketentuan Undang-undang No. 15 tahun 2006 tentang BPK dan Peraturan BPK No. 1 tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN).
Baca Juga
Pantja, yang juga mantan anggota Majelis Kehormatan Kode Etik BPK, menegaskan bahwa dalam suatu pemeriksaan itu sekurang-kurangnya harus ada tiga unsur.
Pertama, Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) harus diterbitkan oleh lembaga berwenang, dalam hal ini BPK. Kedua, harus memperhatikan dan menjadikan SPKN sebagai pegangan atau dasar pemeriksaan. Ketiga, harus memperhatikan satu prinsip, yaitu asas asersi.
"Maksudnya, agar pihak yang diperiksa memiliki kesempatan untuk mengkaji, menelaah, dan membela diri. Asas ini mutlak alias tidak bisa ditawar lagi dalam suatu pemeriksaan jenis apapun sebagaimana diatur dalam Undang-Undang BPK. Ada ketentuannya. Asas asersi ini mutlak sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Ayat (5) UU BPK," terang Pantja.
Adapun isi Pasal 6 Ayat (5): Dalam melaksanakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), BPK melakukan pembahasan atas temuan pemeriksaan dengan objek yang diperiksa sesuai dengan standar pemeriksaan keuangan negara.
"Jadi kalau 3 hal mendasar ini sudah ditempuh, saya katakan itulah LHP yang sah secara hukum. Kalau asas asersi ini tidak dipenuhi, saya berani katakan LHP dinyatakan batal demi hukum. Kenapa? Karena norma UU menentukan demikian," tegasnya.
Sebelumnya, Capim KPK yang berasal dari BPK, I Nyoman Wara, menyatakan bahwa audit BPK 2017 terkait Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dalam perkara Syafruddin Arsyad Temenggung sudah sesuai standar dan memang ada kerugian negara.
Dari hasil audit Nyoman dalam kasus BLBI, terdapat kerugian negara sejumlah Rp 4,58 triliun. Padahal audit BPK sebelumnya, yakni pada 2002 dan 2006 tidak menyatakan adanya kerugian negara. Bahkan dalam audit BPK tahun 2006 dinyatakan Surat Keterangan Lunas (SKL) layak diberikan kepada Sjamsul Nursalim (SN).
Berdasarkan SPKN, audit BPK harus memperhatikan hasil audit BPK sebelumnya. Namun faktanya, dalam audit BPK 2017, I Nyoman Wara sama sekali tidak memperhatikan laporan audit BPK sebelumnya.
"Apakah masuk akal dari satu lembaga yang sama dapat mengeluarkan hasil audit investigasi yang saling bertentangan?," ujar Pantja.
Di depan pansel Capim KPK, Nyoman menyebut bahwa audit BPK 2017 hanya didasarkan pada informasi atau bukti dari satu sumber saja, yaitu dari penyidik KPK. Nyoman juga mengaku tidak melakukan konfirmasi terhadap pihak terperiksa (auditee).
"Jadi silahkan disimpulkan sendiri, apakah I Nyoman Wara telah melaksanakan pemeriksaan secara benar, independen, berintegritas dan profesional," tutup Pantja.