HEADLINE: Edhy Prabowo Tersangka Korupsi dan Mundur dari Menteri KKP, Apa Arah Politik Selanjutnya?

Edhy Prabowo resmi jadi tersangka dan meletakan jabatannya. Lalu bagaimana hubungan Gerindra dan Jokowi ke depan.

oleh Nanda Perdana PutraDelvira HutabaratYopi Makdori diperbarui 27 Nov 2020, 00:03 WIB
Diterbitkan 27 Nov 2020, 00:03 WIB
Prabowo Subianto dan Edhy Prabowo
Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (kiri) didampingi Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Edhy Prabowo berjalan memasuki kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (21/10/2019). Kedatangan Prabowo ke Istana memenuhi undangan dari Presiden Jokowi. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Menteri Kelautan dan Perikanan atau KKP, Edhy Prabowo resmi ditetapkan sebagai tersangka kasus suap perizinan pengelolaan Perikanan atau Komoditas Perairan Sejenis Lainnya Tahun 2020 oleh KPK. Berbalut rompi oranye dengan tangan diborgol, Edhy Prabowo langsung menyatakan mundur dari jabatan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra sekailgus kursi kabinet yang dia duduki saat ini. 

"Nanti saya akan mohon diri untuk tidak lagi menjabat sebagai menteri," kata dia, di Gedung KPK, Kamis (26/11/2020) dini hari.

Dalam kesempatan itu juga, Edhy Prabowo meminta maaf kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi, serta Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto, sebagai konsekuensinya menyandang status tersangka korupsi yang telah ditetapkan KPK.

"Saya minta maaf kepada Bapak Presiden, saya telah menghianati kepercayaan beliau. Minta maaf ke Pak Prabowo Subianto, guru saya, yang sudah mengajarkan banyak hal," ucap Edhy Prabowo.

Di lain sisi, Presiden Jokowi menghormati langkah KPK dalam mengusut perkara yang membelit Edhy Prabowo.

"Ya tentunya kita menghormati proses hukum yang tengah berjalan di KPK. Kita menghormati," kata Jokowi.

Jokowi meyakini lembaga antirasuah itu akan bekerja mengungkap kasus tersebut secara profesional. Jokowi mendukung upaya yang dilakukan KPK dalam memberantas korupsi di Indonesia.

"Saya percaya KPK bekerja transparan, terbuka, profesional. Pemerintah konsisten mendukung upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi," jelas Jokowi.

Guna mengisi kekosongan Menteri KKP, Jokowi menunjuk Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan guna mengisi jabatan tersebut. Luhut disebut telah menerima surat penunjukkan sebagai Menteri KKP Ad Interim dari Menteri Sekretaris Negara, Pratikno.

"Menko Luhut telah menerima surat dari Mensesneg yang menyampaikan bahwa berkaitan dengan proses pemeriksaan oleh KPK terhadap Menteri KKP, Presiden berkenan menunjuk Menko Maritim dan Investasi sebagai Menteri KKP ad interim," jelas Juru Bicara Kemenko Maritim dan Investasi Jodi Mahardi.

Kementerian Kelautan dan Perikanan sendiri memang berada di bawah koordinasi Kemenko Bidang Kemaritiman dan Investasi yang dipimpin Luhut.

Tentu, tak bisa dipungkiri Jokowi akan mencari pengganti definitifnya, mengingat kelautan adalah salah satu visi dan misi Jokowi yang terus ingin digapainya. Hal inilah membutuhkan sosok yang kompeten, dan satu sisi menjadi bagian kue politik bagi Gerindra.

Tenaga Ahli Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Ade Irfan Pulungan memberi sinyal peluang pergantian secara definitif itu ada. Mengingat, posisi menteri diperlukan sebagai pembantu Presiden dalam bekerja dan mewujudkan visi dan misinya.

"Jabatan Menteri itu kan sebagai pembantu Presiden dan menjadi hak preogratif presiden untuk menentukan posisi para pembantunya," kata Irfan kepada Liputan6.com, Kamis (26/11/2020).

Meski demikian, dia enggan berspekulasi kapan pergantian itu dilakukan. "Kewenangannya ada di Presiden," jelas Irfan.

Sementara, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan Donny Gahral mengatakan, dalam kasus Edhy Prabowo posisi pemerintah jelas, yakni menghormati apa yang dilakukan oleh KPK. Presiden, kata Donny, tidak akan membela anak buahnya yang terjerat korupsi dan menyerahkan seluruhnya ke proses hukum yang berlaku.

"Saya tidak bisa wakili presiden, apakah presiden marah atau geram atau kecewa. Yang pasti tidak akan presiden bela menterinya bila bersalah. Apabila anak buah bersalah, pasti akan diserahkan proses hukum," kata Donny kepada Liputan6.com, Kamis (26/11/2020).

Dia menegaskan, hubungan Prabowo dan Jokowi tak akan renggang akibat hal ini. Terlebih soal nanti siapa pencari pengganti Edhy Prabowo.

"Tidak, kenapa? Karena Prabowo punya komitmen sama dengan korupsi. Prabowo juga katakan bila ada anak buah korupsi tidak akan membela. Artinya Presiden dan Prabowo satu suara, satu semangat jika anak buah bersalah tidak akan dibela. Tapi diserahkan proses hukum. Baik Presiden dan Prabowo ingin pemerintah bersih, akuntable," jelas Donny.

 

 

Infografis Jadi Tersangka Korupsi, Menteri Edhy Prabowo Mundur. (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis Jadi Tersangka Korupsi, Menteri Edhy Prabowo Mundur. (Liputan6.com/Trieyasni)

Menyalahgunakan Kepercayaan Jokowi

Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Sirojuddin Abbas memandang, Jokowi sudah memberikan kesempatan yang besar untuk Gerindra. Namun, kepecayaan tersebut justru dibayar dengan dugaan korupsi yang kini menjerat Edhy Prabowo. Abbas menyebut, Gerindra menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan tersebut.

"Pak Jokowi itu sudah memberikan kesempatan kepada Gerindra untuk bagian inti dari pemerintahan. Tetapi kenyataan hari ini bahwa kepercayaan yang diberikan oleh presiden itu tidak dijalankan dengan baik, bahkan disalahgunakan untuk kebijakan-kebijakan yang menguntungkan sekelompok kecil orang sehingga ditangkap KPK," kata Sirojuddin kepada Liputan6.com, Kamis (26/11/2020).

Atas dasar itulah, Jokowi tak akan punya beban apapun untuk mencari pengganti Edhy Prabowo meskipun itu tak berasal dari Gerindra.

"Sebab Gerindra itu kan bukan anggota koalisi yang dari awal memperjuangkan kemenangan Pak Jokowi, bahkan itu lawannya. Dan fakta bahwa Pak Prabowo dan Pak Edhy masuk ke kabinet itu adalah bukti Pak Jokowi berbesar hati mengambil risiko besar untuk mengakomodasi Gerindra di dalam koalisi tadi. Kan tidak semua happy juga anggota koalisi yang lain," jelas Sirojuddin.

Sehingga, jika Presiden Jokowi memberikan jabatan tersebut kepada orang lain dan bukan Gerindra, tak ada beban politik yang ditanggung oleh mantan Gubernur DKI Jakarta ini. 

"Oleh karena itu saya kira sudah cukup Pak Jokowi memberikan posisi yang sangat penting untuk Gerindra ini. Tidak ada beban buat Pak Jokowi untuk mengganti dengan tokoh yang lain," ungkap Sirojuddin.

Dia juga memandang, jika tak diambil dari Gerindra, hubungan Prabowo dan Jokowi akan tetap baik-baik saja. "Karena problem-nya bukan di Pak Jokowi. Problem-nya dari kader Gerindra sendiri," kata Sirojuddin.

Dia merasa yakin Jokowi mempunyai kandidat untuk menggantikan Edhy Prabowo di KKP. Sirojuddin tak menutup kemungkinan nama Susi Pudjiastuti bisa dipilih lagi. Tapi menurutnya, bisa saja datang dari kalangan profesional lainnya.

"Banyak saya kira yang punya kemampuan dan dipercaya Presiden Jokowi. Dan apakah dari partai, kalau menurut saya akan lebih baik kalau dari kalangan profesional. Karena membutuhkan kecakapan teknis dan kecakapan bisnis yang memadai supaya sektor kelautan ini memberi sumbangan ekonomi yang lebih besar dibanding saat ini," jelas dia.

Kasus ini juga membuktikan, lingkaran kekuasaan tak membuat Gerindra bisa menahan godaan korupsi.

"Gerindra ini lama sekali berada di luar panggung kekuasaan. Jadi ada semacam euforia dari berbagai pihak yang terkait dengan koneksi Gerindra untuk berbondong-bondong memanfaatkan koneksi politik itu untuk kepentingan bisnis masing-masing," kata Sirojuddin.

Dia menyebut, ditangkapnya Edhy Prabowo bisa menjadi triger dilakukannya reshuffle kabinet yang kian hari kencang dihembuskan.

"Itu akan jadi trigger. Atau sekarang bisa jadi pergantiannya satu-satu, atau mungkin akan ada evaluasi yang lain sehingga proses pergeseran atau pergantian itu bisa dilakukan bersama beberapa pergantian yang lain," tutur Sirojuddin.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Kasus Edhy Prabowo Buka Peluang Reshuffle Kabinet?

Menteri Kelautan dan Perikanan
Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo saat berkunjung ke Pulau Popongan, Balak-balakang, Mamuju (Liputan6.com/Abdul Rajab Umar)

Peneliti politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Aisah Putri Budiarti sependapat, bahwa ini bisa menjadi peluang dilakukannya reshuffle.

"Kejadian ini bisa jadi membuka peluang terjadinya reshuffle kabinet Jokowi, dan jelas dengan kosongnya kursi menteri maka reshuffle tidak dapat dihindarkan pasti terjadi apalagi saat ini masih di tahap awal pemerintahan Jokowi periode kedua ini bekerja," kata Putri kepada Liputan6.com, Kamis (26/11/2020).

Meski demikian, hal tersebut tentunya tidak dilakukan terburu-buru. Dirinya menyadari, Jokowi akan tetap membuka pembicaraan dengan ketua-ketua umum partai politik yang menjadi pendukungnya. Justru Putri melihat ada kemungkinan peluang lain, yakni Gerindra tetap mendapatkan jatah menteri tapi tak diposisi KKP lagi.

"Bisa jadi pengganti menteri KKP bukan dari Gerindra, tetapi ada peluang besar kader Gerindra akan mengisi ruang lain di dalam kabinet. Hal ini berpeluang terjadi mengingat posisi Gerindra di parlemen sebagai pemilik kursi terbanyak ketiga di DPR sangat berpengaruh dan penting bagi koalisi pemerintahan Jokowi," kata Putri.

Menurut dia, jika melihat pola pikir saat pembentukan awal kabinet, Jokowi memilih untuk membentuk koalisi gendut dan mengajak gabung lawan politiknya sendiri, dalam hal ini Gerindra, masuk ke dalam koalisi untuk mendapatkan dukungan kuat bagi pemerintahan. "Maka Gerindra tak akan dilepaskan dan tetap mendapatkan kursi di kabinet," tutur Putri.

Karena itu, dia menilai nama Susi Pudjiastuti meski lantang disuarakan di ruang publik, kesempatannya tidak besar. Karena, jika memang dibutuhkan, sudah sejak awal Susi masuk ke dalam kabinet Jokowi lagi.

"Apalagi kita lihat, bahwa Presiden Jokowi sebenarnya termasuk presiden yang menjaga orang-orang yang dekat dan cocok dengannya, dalam artian menempatkan kembali mereka ke dalam kabinetnya baik itu untuk posisi yang sama atau tidak," kata Putri.

Direkrut Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno juga melihat, jika KKP tidak diberikan kepada Gerindra, maka ada penggantinya. Dan kasus Edhy Prabowo ini memang momentum untuk melakukan reshuffle kabinet Jokowi.

"Bisa saja ini jadi momentum reshuffle kabinet. Jadi soal KKP mungkin saja KKP ini diberikan kepada profesional atau partai lain. Tapi yang jelas sebagai gantinya sepertinya akan diberikan pos kementerian lain. Biar tidak berkurang jatah menterinya," kata Adi kepada Liputan6.com, Kamis (26/11/2020).

Karena itu, jika Prabowo tetap mendapatkan dua jatah di kabinet, hubungan Prabowo dan Jokowi tak akan ada masalah. "Intinya tidak mengurangi porsi Gerindra. Akan memancing polemik kalau jatah menteri dikurangi. Kalau kurang ya jadi panjang. Tapi kalau tidak dapat KKP tapi dapat menteri lain saya kira tidak ada masalah," jelas Adi.

Menurut dia, jika Susi yang dipilih sebenarnya biasa saja, karena yang bersangkutan juga mendukung pemerintah. Tapi, dirinya mengingatkan bahwa jabatan menteri adalah jabatan politik.

"Jadi bukan hanya soal kapasitas dan kompetensi, tapi juga ada faktor pertimbangan politik. Misalnya dukungan terhadal pemerintah, stabilitas parlemen, dan lain-lain," tutur Adi.

"Sebenarnya kalangan profesional atau pun partai sama saja. Yang penting punya pengalaman kerja di bidang kelautan dan perikanan. Karena rumit mengurus kelautan perikanan, buruh orang berpengalaman, komitmen dan daya tahan yang kuat memajukan kementerian perikanan dan kelautan," dia menambahkan.

 

Ujian Jokowi Pilih Selain Susi

Lepas Sambut Menteri Kelautan
Edhy Prabowo bersama Susi Pudjiastuti (kiri) berpegangan tangan jelang acara serah terima jabatan (Sertijab) Menteri Kelautan dan Perikanan di Kantor KKP, Jakarta, Rabu (23/10/2019). Edhy menggantikan Susi Pudjiastuti pada Kabinet Indonesia Maju periode 2019-2024. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Ketua Harian DPP Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad menyadari posisi Edhy Prabowo di KKP akan segera dicari penggantinya. Meski demikian, dia menuturkah bahwa persoalan kursi menteri adalah hak preogatif presiden.

"Kalau sebagai menteri tentunya itu adalah hak prerogatof presiden. Kami dari Partai Gerindra tidak mencampuri dan kita tunggu saja bagaimana kebijakan dari Pak Presiden," kata Dasco di Kompleks Parlemen Senayan, Kamis (26/11/2020).

Gerindra, menurut Dasco, belum membicarakan sama sekali perihal kursi menteri KKP yang ditinggalkan Edhy setelah menjadi tersangka kasus benur oleh KPK.

"Tadi saya sudah sampaikan itu adalah hak prerogatif presiden dan kita belum bicara atau mendapatkan kabar lebih lanjut mengenai itu," ucap dia.

Selain itu, Dasco mengaku tak mau berburuk sangka apakah penangkapan Edhy berubah politis lantaran menjelang Pilkada serentak.

"Kami berprasangka baik saja bahwa hal seperti ini bisa terjadi kepada semua parpol, kami tetap berpesan kepada kader Gerindra di seluruh Indonesia untuk tetap berkonsentrasi memenangkan pilkada dan menunjukan bahwa kita ini adalah petarung yang baik," kata Dasco.

Politisi PKS Johan Rosihan mengatakan, sebagai oposisi tak mau ikut campur mengenai siapa pengganti Edhy Prabowo karena itu hak prerogatif Presiden Jokowi sepenuhnya. Namun, dari kasus ini semua pejabat harus belajar bagaimana mengabdi kepada negara untuk kepentingan bangsa.

"Ya itu sudah jadi kewajiban sebenarnya, ada atau tidak ada kasus bekerja secara profesional itu merupakan kewajiban para pejabat negara," kata Johan kepada Liputan6.com, Kamis (26/11/2020).

Soal nama Susi yang disebut menjadi salah satu pengganti Edhy Prabowo, menurut dia, seolah-olah Indonesia kekurangan orang untuk mengurusi perikanan dan kelautan.

"Indonesia ini kan banyak orang pintar, jangan juga dibalikkan ke sana. Semua orang juga kita evaluasi kinerjanya kan. Ya Bu Susi kalau dievaluasi juga apa capainnya? Saran saya jadikan kasus ini untuk kita lakukan kontemplasi, mencari orang-orang terbaik dari warga bangsa ini. Jangan seolah-olah potensi SDM Indonesia itu hanya dalam sebuah kotak yang isinya itu-itu doang," jelas Johan.

"Orang pintar yang bisa ngurus ini kan banyak. Banyak di kampus, banyak di partai politik, banyak di praktisi dan lain sebagainya," lanjut dia.

Dia tak mau menimbang-nimbang bagaimana hubungan Prabowo dan Jokowi nanti, jika akhirnya pilihan Jokowi untuk menggantikan Edhy Prabowo bukan ke Gerindra. Menurutnya, disinilah Jokowi diuji dalam berpolitik.

"Yang tahu hubungan Presiden sama Prabowo kan mereka berdua gitu. Ya kalau timbang-timbangan, kan pintar-pintarnya timbangan Presiden. Di sini kita uji Presiden, itu bisa ambil kebijakan bagus dalam kondisi politik seperti ini? Pemimpin disitu dilihat saat krisis. Kalau saat damai-damai saja kan banyak orang pintar," kata Johan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya