Yusril Sebut Presiden Repot Soal Gugatan Usia Capres-Cawapres: Kata Pak Jokowi Ini Bukan Agenda Saya

Hal itu diungkapkan Jokowi saat melakukan diskusi dengan Yusril Ihza Mahendra terkait gugatan batas usia capres dan cawapres di Mahkamah Konstitusi (MK).

oleh Muhammad Ali diperbarui 12 Okt 2023, 18:44 WIB
Diterbitkan 12 Okt 2023, 18:44 WIB
Yusril
Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra. (Liputan6.com/Pramita Tristiawati)

 

Liputan6.com, Jakarta Ketua Umum PBB Yusril Ihza Mahendra mengungkapkan, jika dirinya dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan diskusi terkait gugatan batas usia capres dan cawapres di Mahkamah Konstitusi (MK).

Yusril menyebut, pada saat itu diskusi dihadiri juga oleh Mensesneg Pratikno, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, dan Sekjen PBB Afriansyah Noor.

Dalam diskusi tersebut, Presiden Jokowi meminta pandangan kepada Yusril terkait gugatan tersebut. Dia mengatakan, jika bukan kewenangan MK untuk memutuskan perihal batasan usia capres cawapres.

"Karena ini open legal policy, jadi ini bukan isu konstitusional berapapun usia presiden sepanjang dia bukan anak-anak gitu dia mau 25 tahun, mau 30 tahun, mau 40 tahun itu tidak ada pertentangannya dengan konstitusi," kata Yusril, kepada wartawan, di kawasan Jakarta Selatan, Kamis (12/10/2023).

Lebih lanjut, Yusril pun mengaku, bahwa Presiden Jokowi merasa terbebani dengan adanya gugatan tersebut di MK. Sebab, Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka belum tentu berkenan menjadi cawapres di Pilpres 2024.

Diketahui, gugatan batas usia minimal capres-cawapres dikaitkan dengan wacana Gibran menjadi cawapres Prabowo Subianto.

"Kata Pak Jokowi ini kan bukan agenda saya juga, saya malah repot dengan ini. Dan Mas Gibran belum tentu mau, nah itu jawaban Pak Jokowi saat kita bertemu," imbuh Yusril.

 

Degradasi MK

MK) dijadwalkan akan membacakan putusan terkait judicial review (uji materi) Pasal 169 huruf q Undang-Undang (UU) No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur batas minimal usia calon presiden/calon wakil presiden 40 tahun pada Senin (16/10/2023).

Usia minimal 40 tahun ini diminta untuk diturunkan menjadi 35 tahun atau bahkan 25 tahun, dan/atau yang pernah menjabat sebagai penyelenggara negara, sehingga meskipun belum berusia 40 tahun, seseorang tetap bisa menjadi capres/cawapres kalau pernah menjadi penyelenggara negara seperti gubernur, bupati atau walikota.

Putusan MK akan dibacakan hanya tiga hari sebelum dimulainya pendaftaran capres/cawapres di Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk Pemilihan Presiden 2024, yakni Kamis (19/10/2023).

Uji materi yang diajukan itu diduga untuk mengakomodasi Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo yang sedang menjabat Walikota Surakarta, Jawa Tengah. Apalagi Gibran yang baru berusia 36 tahun ini mengaku ditawari Prabowo Subianto, capres dari Partai Gerindra, untuk menjadi cawapresnya.

Akademisi Rocky Gerung pun mengecam keras langkah MK yang tetap menyidangkan perkara terkategori "open legal policy" (kebijakan hukum terbuka) itu yang semestinya menjadi kewenangan pembuat undang-undang, yakni pemerintah dan DPR RI.

"Kita menghendaki ada semacam etika. Etis enggak kalau PSI (Partai Solidaritas Indonesia) yang ketuanya Kaesang Pangarep (adik kandung Gibran) meminta MK yang ketuanya pamannya, Anwar Usman, supaya Gibran dijadikan calon wakil presiden, dan setelah itu melapor ke Presiden Jokowi yang adalah kakak ipar Ketua MK. Dari segi itu, itu super dinasti. MK sekarang adalah Mahkamah Keluarga. Ini pertama," kata Rocky Gerung dalam rekaman suara yang dibagikan kepada media, Rabu (11/10/2023).

Tak Boleh Warisi Keburukan MK

Kedua, kata Rocky, generasi baru tak boleh mewarisi keburukan-keburukan MK. "Berkali-kali saya terangkan, MK adalah Mahkamah Konstipasi (sembelit) kayak ngeden begitu. Ini bagian terburuk dari praktik konstitusi kita," jelasnya.

Kritik atas MK tersebut, kata Rocky, bukan sekadar mempersoalkan gugatan itu masuk akal secara hukum tata negara atau tidak. "Ini tidak masuk akal secara etis, dan 'public etic' (etika publik) itu yang sesungguhnya dilanggar MK berdasarkan kesepakatan dengan Jokowi," paparnya.

Untuk itu, kata Rocky yang juga adalah salah seorang pendiri SETARA Institute, harus ada kemarahan publik yang diucapkan dengan tegas bahwa rakyat menuntut keadilan konsutitusional. Rakyat menuntut kemasukakalan langkah-langkah Jokowi yang tetap cawe-cawe. Ini yang akan berakhir dengan kebingungan politik.

"Prabowo sendiri bingung enggak? Pasti bingung. Bayangkan, misalnya Prabowo dikirimi Gibran (sebagai cawapresnya), dan Ganjar Pranowo dikirimi Khofifah Indar Parawansa (sebagai cawapresnya), pasti kalah Prabowo. Karena Gibran enggak menambah elektabilitas Prabowo. Kalau untuk mewakili generasi muda, bukankah Prabowo sudah melakukan dengan ide-idenya," terang Rocky.

"Ini adalah percobaan untuk mengkudeta konstitusi. Bahkan memperburuk proses-proses pendidikan politik dan demokrasi yang beradab di Indonesia," tukasnya.

Reporter: Alma Fikhasari/Merdeka.com

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya