Sanksi Denda untuk Laki-Laki yang Menghamili Remaja

Ketiga daerah itu menerapkan sanksi adat bagi lelaki yang ketahuan hamili pasangannya di luar pernikahan.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 23 Mar 2017, 15:30 WIB
Diterbitkan 23 Mar 2017, 15:30 WIB
Belajar dari 3 Daerah Kontrol Seks Remaja di Luar Nikah
Ketiga daerah itu menerapkan sanksi adat bagi lelaki yang ketahuan hamili pasangannya di luar pernikahan. (Liputan6.com/Switzy Sabandar)

Liputan6.com, Yogyakarta - Pemerintah Daerah di Indonesia memiliki cara beragam ketika menghadapai persoalan kehamilan tidak diinginkan (KTD) pada remaja. Hasil penelitian dari Pusat Kesehatan Reproduksi Fakultas Kedokteran UGM menyingkap tiga daerah di Indonesia yang menerapkan sistem denda kepada laki-laki yang menghamili remaja perempuan di luar pernikahan, yakni Sumatra Barat, NTT, dan Papua.

"Itu jadi cara daerah atau adat setempat mengontrol hubungan seks di luar pernikahan," ujar Peneliti Pusat Kesehatan Reproduksi Fakultas Kedokteran UGM, Issac Tri Oktaviati,, di sela-sela Temu Nasional Remaja Indonesia di Yogyakarta, Rabu petang, 22 Maret 2017.

Ia menceritakan, laki-laki yang menghamili remaja dikenai denda tanpa memandang solusi yang diambil oleh kedua belah pihak. Artinya, laki-laki itu tetap dikenai denda yang besarannya sesuai permintaan keluarga remaja perempuan, sekalipun ia berniat menikahi remaja tersebut.

Penerapan sistem denda itu, kata dia, sebagai bentuk perpaduan hukum adat, agama, dan negara. Apabila lelaki enggan membayar denda, akan dilaporkan ke polisi dengan aduan kekerasan terhadap anak di bawah umur oleh pihak keluarga perempuan.

Kiki, sapaan akrabnya, menjelaskan penelitian yang dilakukan sejak akhir 2016 dan baru selesai beberapa waktu lalu ini sebenarnya ingin mengungkap pemahaman kesehatan reproduksi di kalangan remaja Indonesia.

Penelitian dilakukan secara kualitatif, setelah sebelumnya mengacu pada data kuantitatif penelitian serupa. Penelitian dilakukan di sembilan provinsi, 18 kabupaten dan kota yang meliputi NTT, Bali, Jawa Timur, DIY, Jambi, Sumbar, Sulut, Kalbar, dan Papua.

Ada 72 responden remaja berusia 10-14 tahun yang diwawancarai dan 30 responden remaja berusia 15-19 tahun yang digali lewat FGD. Selain itu, wawancara juga dilakukan kepada orangtua responden dan 200 stakeholder, mulai dari tokoh masyarakat, kesehatan, agama, sampai pemerintahan.

Dari penelitian tersebut, seluruh responden remaja ternyata memiliki keinginan yang sama untuk membicarakan kesehatan reproduksi dan seksualitas dengan orangtua masing-masing. Namun, orangtua justru malu dan ketakutan membicarakan hal itu kepada anak-anaknya.

Alasan orangtua ternyata mereka juga tidak terlalu paham dengan kesehatan reproduksi dan seksualitas serta khawatir anak akan mencoba seks bebas jika diberi tahu.

"Sebenarnya, ini mirip dengan narkoba. Orangtua berani bilang bahaya narkoba, tetapi kenapa tidak berani menjelaskan soal seks bebas," ucap dia.

Ia menjelaskan persoalan kesehatan reproduksi tidak melulu soal organ reproduksi dan perilaku seks, melainkan juga pemahaman gender. Menurut dia, perlunya advokasi regulasi yang jelas supaya KIE kesehatan reproduksi tersalurkan.

"Bisa lewat institusi sekolah, entah masuk di kurikulum pelajaran atau muatan lokal," kata Kiki.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya