Ritual Unik Penyelamatan Paus di Lembata NTT

Ritual di NTT ini dipercayai sebagai permohonan bantuan dari leluhur dengan cara memberi makan paus secara simbolis seperti kapas putih, ikan kering putih, dan tuak atau air deresan bunga kelapa/lontar.

oleh Amar Ola Keda diperbarui 15 Agu 2018, 08:00 WIB
Diterbitkan 15 Agu 2018, 08:00 WIB
Ritual Perburuan Paus
Seorang warga sedang mengambil tulang paus yang terdampar di pantai Kabupaten Sikka (Liputan6.com/Ola Keda)

Liputan6.com, Kupang- Empat Paus Biru diketahui muncul di Teluk Waienga, Desa Watodir, Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata, NTT belum lama ini. Namun dua diantaranya terjebak di bagian palung teluk. Untuk menyelamatkan paus itu, sebuah ritual kearifan lokal penyelamatan paus atau dengan bahasa setempat Soro Nei pun dilakukan.

Ritual ini dimulai dengan membuat bunyi-bunyian di bawah laut untuk membawa ke pintu keluar palung. Saat menghalau paus, warga melantunkan doa. Ritual ini dipercayai sebagai permohonan bantuan dari leluhur dengan cara memberi makan secara simbolis seperti kapas putih, ikan kering putih, dan tuak atau air deresan bunga kelapa/lontar.

"Secara harfiah seperti spirit memberi makan dan memanggilnya menuju laut. Ritual Soro Nei, bisa dibilang memberi makan dan meminta untuk kembali ke laut lepas,” kata Antony Lebuan, Kepala Bidang Kebudayaan di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Lembata kepada Liputan6.com,  Jumat (10/8/2018).

Menurut Antony, ritual ini dilakukan oleh para tuan tanah di sekitar terdamparnya paus. Sarananya antara lain, kapas dipelintir menjadi bola-bola kecil, ada juga sejenis umbi-umbian yang biasa disematkan pada bayi untuk menolak bala. Lalu ada ikan kering putih non pelagis yang digandeng biji beras. 

"Kapas dipelintir saat pelafalan doa. Persembahan untuk moyang leluhur menyambut sang pencipta,” katanya.

Melalui doa menyapa leluhur yang dipercaya menguasai kawasan. Juga ada doa untuk sang matahari dan bulan, tanah, dan bumi, yang diyakini sebagai penguasa dunia.

Berkah Kehidupan

Penyelamatan Paus
Warga Lembata sedang berupaya menyelamatkan paus yang terdampar (Liputan6.com/Ola Keda)

Masyarakat Lembata meyakini Paus Biru tidak boleh diburu. Di pantai Selatan Lamalera ada tradisi perburuan paus jenis tertentu secara tradisional. Pusat hidup dan kehidupan adalah paus. Ekonomi, spiritualitas, sosial, komunal pusarannya paus. 

Kepala Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional(BKKPN), Ikram M. Sangadji mengatakan, ritual terbesar dalam perburuan paus adalah setiap tanggal 28 April saat ritual musim melaut dibuka. 

"Ritualnnya dari penyucian di laut hingga doa bersama," katanya. 

Bagi warga Lamalera kehadiran paus adalah berkah untuk kehidupan. Kehadiran paus juga dipercayakan dimulainya masa musim tanam. 

"Di Teluk Waienga musim tanam dimulai, ini berkah karena warga hampir 100% bertani walau punya laut. Kebun harus mulai disiapkan mulai ditanam, jagung dan kacang tanah dan hijau," imbuh Ikram.

Dia menyebut Tanjung Nuhanera, di Kawasan Teluk Waienga adalah salah satu lokasi wisata bahari. Lokasi ini sering menjadi tujuan para wisatawan dari luar negeri untuk diving, snorkeling atau sekedar berjemur dan bersantai. 

Lokasi ini pada tahun 2014 menjadi pusat pelaksanaan kegatan Rally Wisata Bahari tahun 2014 yang melibatkan 14 Desa yang berada diseputaran Teluk Waienga, mencakup Kecamatan Ile Ape, Ile Ape Timur dan Lebatukan.

Perburuan Tradisional

Tradisi penangkapan paus oleh masyarakat di Desa Lamalera, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata sudah ada sejak abad 16. Perburuan ikan paus ini dilakukan oleh penduduk pria Lamalera yang sudah dewasa serta dianggap memiliki kemampuan (biasanya setiap keluarga mewakilkan satu anggota keluarganya). 

Sebelum berburu, mereka semua memanjatkan doa-doa diberi keberhasilan dalam perburuan Ikan paus. Presentasi keberhasilan penangkapan ikan paus ini tak tinggi, karena metode perburuan menggunakan cara tradisional. Yaitu dengan menancapkan tombak ke badan ikan paus.

Perburuan paus biasanya dimulai bulan April hingga Mei, perburuan dilakukan menggunakan perahu yang terbuat dari kayu yang disebut “Paledang”, Orang yang bertugas menikam paus disebut “Lama fa”, Lama fa nantinya akan berdiri di ujung perahu dan untuk menikam paus. Lama fa akan melompat dan menikamkan tombak “tempuling” pada paus.

Daging paus yang diperoleh dari perburuan ini nantinya akan dibagikan kepada seluruh penduduk sesuai besar kecilnya jasa wakil anggota keluarga mereka dalam proses perburuan pausnya. Selain hasil daging, masyarakat juga memanfaatkan minyak paus sebagai minyak urut, bahan obat dan bahan bakar untuk pelita atau lampu teplok.

Paus yang hamil dan kecil tak akan diburu, hal itu dilakukan untuk tetap menjaga populasi paus di daerah Lamalera.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya