Begini Lelahnya Jadi Panitia Pemilu

Beban kerja sebagai panitia pemilu tak sebanding dengan honor yang masuk ke kantong.

oleh Musthofa Aldo diperbarui 24 Apr 2019, 09:00 WIB
Diterbitkan 24 Apr 2019, 09:00 WIB
pemilu bangkalan
sejumlah ibu-ibu di Kabupaten Bangkalan, melihat contoh surat suara sebelum ke TPS. mereka melakukan ini karena bingung sebab jumlah surat suara begitu banak

Liputan6.com, Bangkalan - Komisi Pemilu Umum (KPU) mencatat hingga H+3 pemilu serentak, sudah ratusan panitia pemilu 2019 meninggal dunia, mayoritas mereka panitia tingkat TPS. Pulau Jawa menjadi wilayah tertinggi dengan jumlah panitia meninggal.

Jawa Barat di posisi pertama dengan 24 panitia meninggal, kemudian Jawa Tengah 18 orang dan menyusul Jawa Timur 14 orang, dan masih bertambah. Penyebab kematian disimpulkan bermuara pada satu hal yaitu karena kelelahan.

"Benar itu, jadi panitia memang melelahkan," kata Fathur, 27 tahun, warga Desa Sanggra Agung, Socah, Kabupaten Bangkalan.

"Lelahnya dobel, lelah fisik dan pikiran. Habis dua bungkus rokok tak terasa," lanjut pemuda yang baru pertama kali jadi panitia pemilu ini.

Kerja panitia pemilu dimulai sejak H-1. Mulai dari menyiapkan TPS, mendirikan terop juga mengatur meja. Kemudian menjemput logistik karena tak diantar langsung ke TPS. Dari kecamatan logistik hanya didrop ke satu titik, biasanya rumah kepala desa.

"Menyiapkan lokasi ini baru rampung tengah malam," kata Fathur.

Pada hari pencoblosan, para panitia sudah berada di TPS sejak jam 6 pagi, kerjaan lain telah menanti yaitu memilah lagi tiap surat suara menjadikan satu tumpukan di mana tiap tumpukan berisi lima surat suara untuk memudahkan pemilih.

"Kalau pagi masih nyantai, menjelaskan siang saat pemilih berdatangan mulai terasa melelahkan," tutur Fathur.

Puncaknya saat penghitungan surat suara setelah pencoblosan ditutup jam 1 siang. Bagi Rossi, penghitungan suara sebenarnya tidak terlalu melelahkan. Baginya yang paling melelahkan adalah menandatangani hampir seribu lembar form C1 dan juga menghitung selisih surat suara.

"Kelihatannya mudah, tapi kalau tak berpengalaman, susah ngeklopin antara perolehan suara, jumlah DPT dan sisa surat suara, makanya di TV terjadi keliru penjumlahan sehingga KPU salah input data," tutur dia lagi.

Beban kerja yang berat itu karena nyaris tanpa jeda, tak diimbangi honorarium yang layak. Sebagai anggota, Fathur misalnya hanya mendapat jatah honor Rp 590 ribu, tetapi yang masuk ke rekeningnya hanya Rp 470 ribu. Dia merinci 90 ribu anggaran khusus untuk konsumsi seperti beli nasi, air juga cemilan, dan Rp 30 ribu dipotong pajak.

Honor ketua KPPS lebih besar, tetapi selisihnya tak sampai 50 ribu setelah dipotong pajak. "Kalau dipikir yang enak itu linmas, honor 360 ribu, kerja cuma jaga dan masih dapat seragam," ungkap Fathur.

Agar tak penat dan bosan, satu-satunya hiburan adalah bercanda sekenanya dengan sesama panitia atau pencoblos. Juga memperbanyak rehat yaitu rehat siang dan sore. Penghitungan baru dilanjut bakda Isya.

"Penghitungan di TPS saya baru rampung jam 12 malam dan harus langsung diantar ke kecamatan," Fathur mengungkapkan.

 

Simak video pilihan berikut ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya