Liputan6.com, Kupang - Perwakilan Komunitas Intelijen Daerah (Kominda) NTT, Radito membeberkan fakta-fakta penyebaran paham khilafah di Nusa Tenggara Timur (NTT). Meski sudah dibubarkan, organisasi seperti Hisbut Tahrir Indonesia (HTI) ditengarai tetap menyebarkan paham radikalnya di tengah masyarakat Kota Kupang, termasuk mahasiswa.
Dia menyebutkan, mayoritas pengurus HTI merupakan lulusan sebuah universitas di Kupang dan saat ini diduga sedang merekrut anggota dari kalangan mahasiswa, UMK, Politeknik bahkan tingkat SMA dengan berbagai cara, melalui dakwah dan liqo di media sosial.
Menurut dia, dibutuhkan peran seluruh eleman masyarakat guna menangkal penyebaran paham khilafah dengan cara tetap menumbuhkan sikap nasionalis berwawasan kebangsaan dan mengajak mahasiswa yang diindikasi terpapar radikalisme menjadi nasionalis dan cinta tanah air.
Advertisement
Baca Juga
Ia meminta MUI, Kemenag dan ormas keagamaan yang nasionalis, aktif melakukan upaya deradikalisme melalui diskusi bimbingan rutin tokoh dan pengurus eks-HTI dan memperluas kajian tentang islam yang benar di masjid-masjid yang sering digunakan sebagai tempat paham anti pancasila.
Universitas harus memperkuat mata kuliah pancasila, wawasan kebangsaan, nasionalisme dan cinta tanah air, serta membimbing kembali mahasiswanya yang anti pancasila untuk lebih memahami dan menjalankan nilai pancasila dalam kehidupannya, sekaligus tegas terhadap mahasiswa tersebut jika tetap berpaham anti pancasila.
"Fakta penyebaran di lingkungan pemerintahan juga harus direspon oleh pemerintah kota atau provinsi untuk membersihkan instansi pemerintah dari ASN yang terpapar radikalisme," ujarnya dalam diskusi publik yang digelar Organisasi Pemuda NKRI dengan tema eksistensi pancasila sebagai ideologi bangsa di tengah gempuran ideologi radikal di aula Dikmas NTT, Kayu Putih, Kota Kupang, Sabtu (7/3/2020).
Ia berharap agar seluruh elemen masyarakat bersama pemerintah harus ikut serta dalam berpartisipasi menangkal perkembangan radikalisme di wilayah NTT khususnya di Kota Kupang.
"Upaya deradikalisasi merupakan kunci utama, terutama melibatkan MUI dan Kemenag serta ormas keagamaan nasionalis dan agamis yang memiliki kemampuan keagamaan guna melawan doktrin HTI yang selalu memanfaatkan doktrin agama versinya untuk tujuan politik mengubah NKRI. Doktrin hanya bisa dilawan dengan doktrin," imbuhnya.
Pandangan Akademisi Soal Ideologi Negara
Dosen Undana Kupang, Dr. Hamzah Wulakada mengatakan, semua tentang bangsa Indonesia oleh para pendiri dianggap telah terangkum dalam narasi pancasila, namun sebagai negara, hipotesisnya belum terealisir. Bangsa Indonesia masih terus mencari format ideal, bagaimana bernegara Indonesia sehingga kemungkinan terjadinya pergeseran ideologi itu masih mungkin terjadi.
"Dalam bernegara harus menyesuaikan dengan konsensus pancasila, bukan pancasila yang disesuaikan dengan perkembangan dalam bernegara. Narasi terkuat yang patut diakui adalah intisari lancasila yaitu Bhineka Tunggal Ika," paparnya.
Menurut dia, sebagai bangsa yang merdeka, harus dicarikan penciri dari entitasnya sendiri yaitu pancasila.
"Apakah Pancasila kontekstual dengan perubahan? Tergantung cara pengguna menjadikan Pancasila sebagai variabel pengubah. Persoalannya, kuatnya gempuran ideologi global telah melunturkan tingkat kepercayaan kita terhadap pancasila, bersamaan ketidakmampuan penyelenggara sistem memberikan efek nyaman bagi pengguna," ujar mantan Ketua Umum HMI Cabang Kupang periode 2004/2005, itu.
Ia mengatakan, negara belum mampu menjadikan pancasila sebagai variabel pengubah dalam bernegara sehingga timbulkan efek tidak nyaman, tidak percaya, dan rakya tpun mencoba menjajaki alternatif lain dalam bernegara.
Sementara itu, imperealism gaya baru melalui doktrin ideologi anti pancasila menumpang misi globalisasi ingin meruntuhkan nilai pancasila atau pergeseran nilai budaya.
"Mengapa? karena Indonesia sangat strategis sehingga harus dikuasai melalui ekspansi ekonomi karena ketersediaan SDA. Bagaimana agar pancasila tetap aktual ? memperkuat kualitas SDM, pendidikan, meneguhkan karakter bangsa, menyelaraskan metode aktualisasi nilai dengan perkembangan zaman," terangnya.
Ia menegaskan, aktualisasi pancasila yang subjektif yakni ketaatan moral untuk melaksanakan pancasila,kesadaran untuk melaksanakan internalisasi nilai pancasila, proses pembentukan kepribadian pancasila dan implementasi nilai.
Advertisement
Pancasila dan Agama
"Kontekstualisasi pancasila yakni keteladananbernegara, kukuhkan keragaman entitas nilai kebangsaan Indonesia, kebebasan nilai dalam bernegara harus tetap menjadikan pancasila sebagai variabel pengubah, kedepankan keteladanan nilai dalam bernegara," tandasnya.
Ia menegaskan, jika masih berada pada tahap radikal dalam keyakinan, maka harus dilakukan wacana tandingan. Jika sudah berupa tindakan, maka tindakan preventif tidak lagi cukup, namun perlu dilakukan penetrasi ke dalam kelompok tersebut.
"Jika sudah sampai pada gerakan politik, maka tidak bisa lagi dihadapi lewat kompromi politik karena ini sudah pertarungan ideologi," tutupnya.
Sementara itu, Kepala Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia/Lakpesdam, PW NU NTT, M. Zainal Fanani memaparkan, pancasila dan agama memang berbeda secara esensi dan fungsinya kendati tidak secara antagonistik. Pancasila adalah falsafah (hasil penggalian dan eksplorasi daya pikir manusia menggunakan kecermatan bernalarnya), adapun agama adalah wahyu ilahi (bersih dari campur tangan apapun dari manusia).
Dalam hubungannya dengan cita-cita kenegaraan Indonesia merdeka, pancasila adalah “political philosophy” untuk menjawab masalah-masalah duniawi bangsa Indonesia dalam arti kenegaraan," katanya.
Radikalisme agama dan kelompok radikal menurut Zainal, pertama, radikal dalam keyakinan adalah kelompok yang menganggap selain kelompoknya sebagai kafir. Berbeda pandangan sedikit saja langsung dikafirkan. Termasuk kelompok ini yaitu kelompok takfiri.
Kedua, radikal dalam tindakan adalah kelompok yang membunuh orang lain atas nama Islam. Mereka melakukan tindakan di luar hukum tanpa alasan yang dibenarkan secara syar’i. Termasuk kelompok ini yaitu kelompok jihadis.
Ketiga, radikal dalam politik adalah kelompok yang hendak mengganti ideologi negara dengan menegakkan Negara Islam dan/atau khilafah. Tindakan mereka merusak kesepakatan pendiri bangsa.
"Ada yang mengkafirkan, membunuh, dan mau mengganti pancasila, ini yang paling berbahaya, apalagi kalau mereka merupakan jaringan transnasional. Ada yang hanya takfiri dan membunuh saja, tapi tidak main politik. Ada yang tidak takfiri dan tidak membunuh, tapi hanya mau mengganti ideologi negara," tutupnya.
Simak video pilihan berikut ini: