Hal-Hal Unik yang Hanya Ada di Desa Sade

Perkembangan Desa Sade sebagai tempat wisata sudah dimulai sejak 1975-an. Saat itu, para pejalan telah mengunjungi dusun ini.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 19 Mei 2024, 00:00 WIB
Diterbitkan 19 Mei 2024, 00:00 WIB
Menjelajah Empat Desa Wisata Suku Sasak di Sekitar Mandalika   
Dusun Sade

Liputan6.com, Lombok - Desa Sade merupakan salah satu destinasi wisata yang cukup populer di Lombok. Desa yang juga dikenal dengan Desa Wisata Budaya Suku Sasak ini memiliki beberapa hal unik yang tak ditemukan di desa lain.

Desa Sade yang berada di dalam wilayah Desa Rembitan memiliki posisi yang strategis di Jalan Raya Praya-Kuta. Oleh karena itu, tempat ini tumbuh jadi salah satu tujuan wisata favorit di Lombok Tengah.

Perkembangan Desa Sade sebagai tempat wisata sudah dimulai sejak 1975-an. Saat itu, para pejalan telah mengunjungi dusun ini.

Saat ini, sudah ada 50 pemandu resmi di Desa Sade yang bertugas menemani wisatawan menjelajahi tempat tersebut. Sebelum berkunjung ke Desa Sade, simak hal-hal unik di Desa Sade seperti dikutip dari Indonesia.travel: 

1. Rumah tradisional

Beberapa desa di Indonesia masih mempertahankan keaslian budaya dan adatnya, tak terkecuali Desa Sade. Terdiri dari 150 rumah, sebagian besar rumah di desa ini masih berupa rumah tradisional.

Atap rumahnya berbentuk unik dan tersusun dari ilalang yang harus diganti setiap delapan tahun sekali. Sementara lantainya masih berupa tanah yang secara berkala dilulur dengan kotoran kerbau atau sapi agar tidak retak dan berdebu.

2. Titik tertinggi

Terdapat lokasi untuk bisa melihat seluruh Desa Sade, yaitu dari titik tertingginya. Lanskap Desa Sade yang berundak bisa dijadikan lokasi mendaki oleh wisatawan.

3. Warga asli Desa Sade

Sekitar 750 orang Suku Sasak tinggal di wilayah Desa Sade. Mereka berkerabat atau berasal dari garis keturunan yang sama.

Warga Desa Sade memang menetap di lokasi tersebut, tetapi pemerintah daerah juga menyediakan rumah bagi warga yang terletak di luar area desa wisata. Tujuannya, rumah tradisional mereka di Desa Sade tetap terjaga dengan membangun rumah baru yang lebih modern.

4. Wisatawan akan lebih banyak melihat penduduk asli wanita

Para pria di Desa Sade umumnya bertani atau menjadi buruh sawit. Oleh sebab itu, saat wisatawan mengunjungi Desa Sade, biasanya akan lebih banyak bertemu kaum wanita.

Mereka memiliki kesibukan beragam, mulai dari menenun, merawat anak, menjajakan cinderamata, menumbuk kopi, memasak, dan lainnya. Adapun beberapa pria yang tidak bertani atau menjadi buruh sawit biasanya menjadi pemandu atau pengrajin gelang akar bahar.

5. Kepercayaan

Menurut pemandu, kepercayaan masyarakat setempat dulunya adalah gabungan antara Animisme, Hindu, dan Muslim. Namun, Suku Sasak biasanya menganut agama Islam. 

6. Tradisi kawin culik

Saat pemuda Desa Sade ingin menikahi pujaan hatinya, mereka tidak datang dengan baik-baik kepada calon mertua untuk melamar. Mereka harus diam-diam menculik wanita idamannya dan membawa si gadis ke rumah kerabat malam-malam. Hari berikutnya, barulah mereka membicarakan tentang pernikahan dengan keluarga si gadis.

Menikahi gadis yang sama-sama tinggal di Desa Sade, maharnya lebih terjangkau. Biasanya sekitar Rp100.000 saja. Namun, jika ingin menikahi gadis dari luar Desa Sade, harus berani merogoh kocek lebih dalam yang bisa sampai seharga dua ekor kerbau. 

7. Gadis Desa Sade pantang makan sayap ayam

Para gadis Sasak wajib bisa menenun, termasuk yang tinggal di Desa Sade. Mereka tidak diizinkan menikah jika belum lihai melakukannya.

Saking wajibnya, ada mitos bahwa anak perempuan di sana dilarang makan sayap ayam. Mereka menganggap bentuk sayap ayam mirip tangan tertekuk kaku. Hal itu dipercaya dapat menghambat keluwesan tangan para gadis saat belajar memainkan alat tenun.

Adapun selembar selendang yang ditenun secara manual dibanderol harga Rp150.000 dengan waktu pembuatan sekitar satu minggu. Wisatawan bisa membeli selendang dan kain tenun tersebut dari kios cinderamata di dalam Desa Sade. 

8. Banyak yang belum bisa bahasa Indonesia

Warga yang menetap di Desa Sade ternyata banyak yang belum terbiasa dengan bahasa Indonesia, terutama yang sudah berusia lanjut. Mereka menggunakan bahasa daerah untuk percakapan sehari-hari. Mayoritas mereka bahkan tidak mengenyam bangku sekolah.

Namun berkat perkembangan Sadar Wisata, Desa Sade semakin meningkat dan populer. Masyarakat setempat pun memiliki mata pencaharian baru untuk menyekolahkan anak-anak mereka.

 

Penulis: Resla

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya