Liputan6.com, Bandung - Gunawan (27) dan Abim (26) adalah dua dari delapan musisi jalanan disabilitas netra yang turut dalam aksi Konser Kemiskinan dan Kelaparan yang digelar Kelompok Penyanyi Jalanan (KPJ) Kota Bandung, Senin, 20 Mei 2024.
Konser yang diadakan di depan kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Pemerintah Kota Bandung itu jadi aksi unjuk rasa para musisi jalanan untuk menyuarakan keresahan mereka semisal soal razia.
Baca Juga
Pada bulan Ramadan, Maret 2024 lalu, Gunawan mengaku sempat dirazia oleh jajaran Satpol PP ketika mengamen di Jalan Diponegoro-Sulanjana. Ia mengaku mendapat perlakuan tidak humanis dan hampir jadi korban kekerasan anggota Satpol PP.
Advertisement
"Saya duduk di pinggir terus ada pasukan Satpol PP narik saya secara paksa. Dia narik dan seperti mau nabok," ceritanya di sela aksi, Senin (20/5/2024).
Setelah dirazia di jalanan, Gunawan lantas diinapkan (ditahan) di Dinas Sosial selama sepekan. Lewat sepekan, mereka yang terkena razia dikeluarkan kembali tanpa adanya solusi yang jelas. Sikap pemerintah yang hanya bisa merazia ini dikritisi Gunawan dan kawan-kawan.
"Dinsos (Dinas Sosial) mah perannya setahu saya sih cuma merazia aja," kata Abim. "Makanya yang kita bingung juga kalau perannya cuma razia tapi gak ada solusi ya ujungnya kita ngamen lagi," imbuhnya.
Â
Razia tanpa adanya solusi, misalnya pendampingan dan pembinaan berkelanjutan, dinilai tidak akan meretas masalah.
Terlebih yang dirasa Abim, belum banyak lapangan pekerjaan lainnya yang terbuka bagi mereka. Para pengamen disabilitas akhirnya hanya bisa bertahan hidup mengandalkan kemampuan mereka dalam bermusik di jalanan, berkelit dari razia ke razia
"Keinginan kami mah karena untuk difabel kasusnya berbeda, kalau mencari pekerjaan juga tidak bisa seperti yang umum," ujar Abim. "Teman-teman banyak saat ini makin resah karena kalau ngamen di jalan nanti dirazia," lanjutnya.
Abim berpendapat, Pemerintah Kota Bandung melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) masih belum mampu menyediakan panggung yang layak bagi mereka.
Saat ini, memang ada program bersama antara Disbudpar dan KPJ Kota Bandung yakni live music di beberapa pusat perbelanjaan seperti di Mall Kings, Jalan Kepatihan No.11-17, Balonggede, Kecamatan Regol. Namun, penghasilan dari acara itu masih jauh untuk menutup kebutuhan.
"Kami memang kerap main live music di Kings, cuman emang tidak bisa meng-cover secara keseluruhan kebutuhan kami sehari-hari, makanya ada teman-teman yang tetap ngamen di jalan. Kalau dirazia maka keterampilan yang kita punya, seperti main musik atau ada juga sebagian yang mijat tidak bisa tersalurkan," kata Abim.
"KPJ juga kecewa karena katanya waktu itu akan ada honornya, tapi ternyata gak ada. Kita hanya dapat uang dari apresiasi pengunjung saja dari manggung live music itu," tandasnya.
Perwakilan KPJ Kota Bandung, Cepi Suhendar, mendesak agar pemerintah bisa menjamin ruang ekspresi bagi seniman jalanan. Secara menyeluruh,DPRD dan Pemerintah Kota Bandung diingatkan agar serius mengamalkan amanat Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
"Kami meminta diberinya ruang ekspresi sesuai Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan," kata Cepi Suhendar kepada wartawan di depan kantor DPRD Kota Bandung, Senin (20/5/2024).
Cepi menyampaikan, Pemerintah Kota Bandung harus menunaikan undang-undang tersebut. Secara praktik, misalnya, melakukan pembinaan yang berkelanjutan bagi musisi jalanan.
Pembinaan yang dimaksud Cepi itu termuat dalam bagian kelima tentang Pembinaan. Pada pasal 39 ayat 1 disebut bahwa "Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus melakukan Pembinaan Pemajuan Kebudayaan".
Pembinaan dilakukan untuk meningkatkan jumlah dan mutu Sumber Daya Manusia Kebudayaan, lembaga Kebudayaan, dan pranata Kebudayaan.
Dalam undang-undang itu dijelaskan lebih lenjut, peningkatan tersebut salah satunya dilakukan dengan cara pendidikan dan pelatihan bidang budaya.
"Hari ini KPJ Bandung menyampaikan aspirasinya melalui konser sebagai simbol bahwa kawan-kawan di jalanan ini juga SDM (sumber daya manusia) yang harus dianggap serius oleh pemerintah dan DPRD," kata Cepi.
KPJ Kota Bandung juga mengkritisi Pemerintah Kota Bandung yang disebut tidak melibatkan KPJ di program Braga Beken. Diketahui, program tersebut adalah penutupan Jalan Braga setiap akhir pekan untuk tujuan wisata.
Pemerintah Kota Bandung selama ini disebut kurang melibatkan seniman-seniman jalanan dalam program-program seni dan kebudayaan khususnya yang diinisiasi pemerintah.
"Kita sering demo agar mereka memberi ruang, tapi kenapa tidak ada spot di Braga Beken untuk kami? Itu salah satu lalainya pemkot. Bukan kita tidak peduli musisi lain, tidak, mereka sahabat kami semua para musisi. Tapi itu jadi salah satu contoh kelalaian pemkot," kata Cepi.
Dalam aksi konser tersebut, KPJ Kota Bandung mengeluarkan pernyataan sikap bersama yang menegaskan tiga tuntutan mereka, yakni:
(1) Pemerintah Kota Bandung wajib menjamin kenyamanan dan keamanan dalam mencari kehidupan yang layak sesuai dengan amanah UUD 1945.
(2) Menyediakan lapangan kerja, sarana dan prasarana sebagai wahana ekspresi dan profesional.
(3) Membina, mengalami musisi seniman jalanan secara berkesinambungan jangka panjang supaya terjadi sinergitas dan peningkatan kualitas untuk sama-sama memajukan Kota Bandung.