Liputan6.com, Yogyakarta - Sanoesi Pane (Sanusi Pane) merupakan sastrawan Angkatan Pujangga Baru. Ia merupakan tokoh pelopor yang mendorong lahirnya bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Sanusi Pane lahir di Muara Sipongi, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara, pada 14 November 1905. Ia adalah kakak kandung Armijn Pane.
Tak hanya dikenal sebagai sastrawan dan pujangga, Sanusi Pane juga sosok yang berjasa dalam mendorong lahirnya bahasa Indonesia. Pada Kongres Pemuda I yang dilaksanakan di Batavia pada 1926, Sanusi Pane adalah orang pertama yang mengusulkan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan.
Advertisement
Baca Juga
Bahasa Melayu ini merupakan cikal bakal bahasa Indonesia. Namun, usulan itu gagal ditetapkan, tetapi kemudian diadopsi dalam Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928.
Usulan Sanusi Pane akhirnya diakomodir dan ditetapkanlah bahwa bahasa Melayu merupakan bahasa persatuan, yang kemudian diberi nama bahasa Indonesia. Pada 28 Oktober 1954, Kongres Bahasa Indonesia I dilaksanakan di Medan.
Mengutip dari dapobas.kemdikbud.go.id, Sanusi Pane menempuh pendidikan di Hollands Inlandse School (HIS) di Padang Sidempuan. Ia kemudian pindah ke Tanjung Balai dan masuk ke Europeesche Lager School (ELS) di Sibolga, Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Padang, dan diselesaikan di Jakarta pada 1922.
Ia kemudian masuk ke Kweekschool di Jakarta dan lulus pasa 1925. Setelahnya, ia melanjutkan ke Sekolah Hakim Tinggi di Jakarta selama setahun dan kemudian memperdalam pengetahuannya tentang kebudayaan Hindu di India pada 1929-1930.
Sanusi Pane kemudian bekerja sebagai guru di Kweekschool Gunung Sahari, Jakarta. Namun, ia kemudian pindah ke HIK Lembang, HIK Gubernemen Bandung, dan terakhir pindah ke Sekolah Menengah Perguruan Rakyat di Jakarta.
Sanusi Pane aktif dalam Partai Nasional Indonesia yang membuatnya pernah dipecat sebagai guru. Ia juga aktif dalam organisasi Jong Sumatra dan Gerindo.
Selain menjadi guru, Sanusi Pane juga pernah menjadi redaktur majalah Timboel (1931-1933), harian Kebangoenan (1936), dan redaktur Balai Pustaka (1941). Harian Kebangoenan merupakan surat kabar berbahasa Melayu-Tionghoa.
Sanusi Pane pernah menjabat sebagai redaktur kepala di bagian buku Melayu bersama Sutan Takdir Alisjahbana dan kawan-kawan lainnya. Ia kemudian mendirikan dan mengelola majalah Poedjangga Baroe dan menduduki jabatan pembantu umum.
Sanusi Pane bersama Muhammad Yamin banyak menggali sumber sejarah dan mengangkat tradisi lama ke dalam karyanya. Puisi-puisi karyanya kental akan ajaran theosofi dan filsafat Hindu.
Hal ini pula yang bisa ditemukan di karya dramanya yang umumnya menggali peristiwa sejarah. Hal itu bisa dilihat dari beberapa karyanya, seperti drama Kertajaya dan Sandhyakala ning Majapahit.
Beberapa ahli menggelompokkan Sanusi Pane ke dalam kelompok pengarang Angkatan Pujangga Baru. Namun, sebenarnya ia berada di perbatasan antara angkatan Balai Pustaka dan Pujangga Baru.
Karya kumpulan sajak pertamanya berjudul Pancaran Cinta terbit pada 1926. Selanjutnya, ia terus aktif menulis dan melahirkan banyak karya populer, seperti kumpulan sajak Puspa Mega (1927), drama Airlangga (1928), drama Burung Garuda Terbang Sendiri (1929), dan masih banyak lagi.
Sanusi Pane meninggal dunia pada 2 Januari 1968. Satu tahun setelah kepergiannya, yakni pada 1969, Pemerintah Republik Indonesia memberikan Hadiah Sastra kepadanya dan beberapa sastrawan lainnya yang telah meninggal dunia, di antaranya Sanusi Pane, Marah Rusli, Abdul Muis, Amir Hamzah, Armijn Pane, dan Chairil Anwar.
Â
Penulis: Resla