Hacker Rusia Curi Informasi Perdagangan Dow Jones

Pada pekan lalu, Goldman Sachs mengumumkan untuk tidak menyebar informasi kinerja keuangan mereka kepada newswires.

oleh Arthur Gideon diperbarui 17 Okt 2015, 13:17 WIB
Diterbitkan 17 Okt 2015, 13:17 WIB
Hacker
Kawasan Asia Tenggara mulai menjadi pemain ekonomi skala besar sehingga memicu para hacker untuk melakukan penyerangan siber. (Doc: iStockphoto)

Liputan6.com, New York - Hacker Rusia dilaporkan telah membobol data server Dow Jones dan mencuri informasi perdagangan yang disimpan rapi di dalam server tersebut. 

Mengutip Business Insider, Sabtu (17/10/2015), The Federal Bureau of Investigation (FBI), secret service dan U.S. Securities and Exchange Commission (SEC) sedang melakukan investigasi kasus pencurian data yang terjadi pada akhir tahun lalu.

Belum jelas data apa yang dicari oleh hacker tersebut. Namun menurut informasi dari dua orang yang mengetahui mengenai penyelidikan tersebut mengatakan bahwa hacker tersebut sedang mencari informasi mengenai tulisan-tulisan dari dow Jones yang sedang disiapkan atau akan dipublikasikan.

Seperti diketahui, Dow Jones memiliki media penerbitan yaitu Wall Street Journal. Media tersebut diduga sering menggerakkan harga saham perusahaan dengan tulisan-tulisan yang disiarkan. Dow Jones dimiliki oleh Rupert Murdoch News Corp.

Sekitar satu pekan lalu, Dow Jones juga telah mengungkapkan bahwa hacker telah membobol basis data yang mereka miliki. Hacker tersebut mencari informasi kontak dan pembayaran dari 3.500 pelanggan Dow Jones.

Selama ini masalah keamanan jaringan internet memang menjadi isu yang cukup besar di Wall Street. Menengok pada Agustus lalu, Hacker yang menggunakan bahasa Rusia dituduh telah melakukan pencurian 150 ribu data keterangan tertulis dari perusahaan-perusahaan yang terdaftar di bursa yang di dalamnya terdapat laporan keuangan yang bisa digunakan untuk melakukan transaksi perdagangan. 

Pada pekan lalu, Goldman Sachs mengumumkan untuk tidak menyebar informasi kinerja keuangan mereka kepada newswires karena ada ketakutan akan pelanggaran kejahatan internet. (Gdn/Ndw)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya