Bahana TCW: Pasar Obligasi Masih Menarik hingga Akhir 2021

Bahana TCW optimistis kondisi ekonomi dan pasar obligasi akan tetap positif hingga akhir 2021.

oleh Liputan6.com diperbarui 13 Nov 2021, 14:19 WIB
Diterbitkan 13 Nov 2021, 14:19 WIB
Syariah, Dolar AS, Saham, Obligasi? Optimalkan Potensi Tumbuh Dana Anda.
(Foto:Ilustrasi)

Liputan6.com, Jakarta - Bahana TCW Investment Management (Bahana TCW) memandang pasar obligasi masih atraktif hingga akhir 2021. Langkah tapering off yang dilakukan Bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve (The Fed) direspons optimistis oleh pelaku pasar di Indonesia.

Kepala Ekonom Bahana TCW, Budi Hikmat mengatakan, sesuai ekspektasi, respons positif pasar terhadap kebijakan The Fed, menjadikan kebijakan tersebut tantrum-less taper. Investor diharapkan bisa mengalihkan perhatian kepada arah baru perekonomian setelah pandemi dan kebijakan The Fed tersebut.

"Pemetaan risiko dan opportunity apa yang akan muncul di tahun depan haruslah menjadi perhatian pasar obligasi saat ini. Setidaknya kami masih optimis, hingga akhir tahun kondisi perekonomian dan pasar obligasi akan tetap positif," kata dia melalui siaran persnya yang diterima Liputan6.com.

Dia melihat opportunity lebih ada di domestik di mana Pemerintah telah menghentikan penerbitan surat berharga negara (SBN). Sehingga hingga akhir tahun, surat utang negara hanya dapat diperoleh dari secondary market.

"Dari sisi demand, permintaan terhadap government bonds masih ada. Sehingga hal ini dapat menjadi katalis positif setidaknya hingga akhir tahun 2021," kata dia.

Sejak awal tahun hingga 3 November 2021, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, mencatat jumlah kepemilikan asing di SBN mencapai sebesar Rp 934,41. Namun telah terjadi capital outflow sebesar Rp 39,5 triliun secara year to date (ytd).

Selain faktor supply yang menjadi katalis utama bagi pasar obligasi dalam negeri, di sisi demand juga diuntungkan oleh pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) perbankan. Tren excess liquidity menurut dia masih terjadi, meski kredit perbankan menunjukan pertumbuhan, pertumbuhan DPK tetap lebih tinggi.

"Di pasar obligasi nasional, investor domestik memegang kendali, apalagi saat investor asing belum kembali masuk ke pasar, tapi pasar obligasi Indonesia menunjukkan penguatan (rally) dan yiled SBN kita masih tetap kuat di angka 6,0," kata dia.

Mengacu pada data Bahana TCW,  investor asing hanya menguasai 20,91 persen kepemilikan obligasi pemerintah, sementara kepemilikan investor domestik mencapai sebesar 79,09 persen.

Kepemilikan domestik atas obligasi pemerintah juga diperkuat oleh intervensi Bank Indonesia (BI) yang berkomitmen akan membeli SBN sebanyak Rp 200 triliun sepanjang tahun ini dan Rp 240 triliun  untuk tahun depan dan dapat dipastikan kepemilikan BI akan naik.

"Perbankan juga masih akan memiliki kelebihan likuiditas sampai dengan pertengahan tahun depan, maka seharusnya support dari perbankan terhadap SBN masih sangat besar," kata Budi.

 

 

p>* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Risiko

Perdagangan Awal Pekan IHSG Ditutup di Zona Merah
Pekerja tengah melintas di layar pergerakan IHSG di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (18/11/2019). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup pada zona merah pada perdagangan saham awal pekan ini IHSG ditutup melemah 5,72 poin atau 0,09 persen ke posisi 6.122,62. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Namun, di tengah optimisme tersebut, ada risiko yang perlu diperhatikan yaitu inflasi domestik dan tren imbal hasil SBN global.

Meski saat ini tingkat inflasi sangat rendah yakni 1,6 persen, tapi pada kenyataannya inflasi di tingkat produsen perlahan mulai naik tapi belum dirasakan di tingkat konsumen.

Sementara dari sisi tren imbal hasil SBN global ada kecenderungan meningkat. Meski demikian pasar SBN Indonesia diprediksi tidak akan mengikuti tren kenaikan tersebut, mengingat di dalam negeri pasar SBN memiliki isu tersendiri.

“Pasar SBN Indonesia merupakan salah satu dari sedikit negara yang masih merasakan rally dalam enam bulan terakhir dibanding dengan pasar negara berkembang lainnya yang harus mengalami koreksi," kata dia.

Yield SBN Indonesia dinilai masih sangat stabil di bawah angka 6,01. Sementara negara berkembang lainnya harus mengalami kenaikan yield karena tekanan dari tapering, inflasi dan kenaikan suku bunga.

 

Reporter: Elizabeth Brahmana

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya