Liputan6.com, Jakarta - Kemungkinan resesi Amerika Serikat (AS) diperkirakan makin rendah. Hal itu sejalan dengan tren perbaikan data ekonomi AS. Termasuk pertumbuhan lapangan pekerjaan dan angka pengangguran yang rendah. Laporan Biro Statistik Tenaga Kerja menunjukkan, ekonomi AS telah menambah 517.000 pekerjaan pada Januari 2023.
Tingkat pengangguran juga turun sepersepuluh poin persentase menjadi 3,4 persen, tingkat pengangguran terendah sejak Mei 1969. Musim panas lalu, inflasi AS sempat mencapai level tertinggi dalam 40 tahun yang disertai dengan gangguan rantai pasokan, kekurangan pekerja, dan stimulus ekonomi hingga masalah geopolitik, termasuk perang Rusia-Ukraina yang mendorong lonjakan harga pangan dan BBM.
Baca Juga
"Seiring perkembangan waktu, kekhawatiran resesi global saat ini sudah berkurang seiring dengan rilis data ekonomi US yang membaik. Sebagai contoh, pengangguran US menyentuh level terendah yaitu 3,4 persen dan tingkat inflasi US perlahan menurun,” ujar Direktur PT Panin Asset Management, Rudiyanto kepada Liputan6.com, Selasa (21/2/2023).
Advertisement
Menurut Rudiyanto, penurunan tingkat inflasi global berdampak positif terhadap harga obligasi pemerintah jika diikuti dengan penurunan suku bunga acuan. Sampai saat ini, diperkirakan penurunan suku bunga acuan Bank Sentral As, The Fed akan terjadi pada semester II 2023 atau paling lambat pada 2024.
"Untuk itu, hal yang perlu dicermati adalah risiko gagal bayar ketika berinvestasi di obligasi pemerintah dan risiko fluktuasi harga ketika berinvestasi di obligasi pemerintah,” imbuh Rudyanto.
Inflasi Tinggi dan Kenaikan Suku Bunga Jadi Tantangan
PT Schroder Investment Management Indonesia mencatat imbal hasil Obligasi Pemerintah Indonesia 10 tahun turun 23,3 bps menjadi 6,707 pada Januari lalu. Sebagai perbandingan, US 10-year treasury note turun 37,4 bps menjadi 3,505 persen. Imbal hasil obligasi turun karena data menunjukkan inflasi di masa depan mungkin turun, yaitu pertumbuhan upah yang lebih lambat, gaji non-farm Desember adalah yang terendah dalam 12 bulan terakhir dan ISM service index yang mengalami kontraksi.
Inflasi yang lebih tinggi dan kenaikan suku bunga tetap menjadi tantangan bagi pasar obligasi. Meskipun Schroder menilai sentimen negatif sebagian besar telah diperhitungkan, tercermin dari foreign outflow yang besar pada 2022.
"Kami berpendapat bahwa rendahnya kepemilikan asing atas obligasi pemerintah sekitar 14 persen akan membatasi downside di pasar obligasi. Pasar obligasi telah mengalami beberapa pemulihan yang didorong oleh investor asing menjelang akhir tahun 2022,” tulis Schroder dalam riset yang dikutip Liputan6.com pada pemberitaan sebelumnya.
Dengan demikian, valuasi terlihat menarik pada saat ini. Tim riset Schroder berpikir mungkin ada beberapa volatilitas dalam jangka pendek. Namun, prospek pasar obligasi akan lebih baik untuk sisa tahun ini karena berakhirnya siklus kenaikan suku bunga.
Advertisement
Inflasi AS Mulai Melandai, Saatnya Masuk Obligasi?
Sebelumnya, inflasi Negeri Paman Sam, Amerika Serikat (AS) terpantau mulai melandai. Per Desember 2022, inflasi inti AS berada pada posisi 5,7 dengan suku bunga 4,25—4,5 persen.
Idealnya, suku bunga perlu untuk berada di atas inflasi. Sehingga kemungkinan Bank Sentral AS, The Fed masih akan melakukan penyesuaian suku bunga untuk mencapai kondisi ideal itu.
Direktur Panin Asset Management Rudiyanto memaparkan, inflasi inti AS pada akhir 2021 mencapai 6,6 degan suku bunga 0—0,25 persen. Pada September 2022, angka inflasi melonjak ke 6,6 dengan suku bunga 3–3,25 persen.
Pada Oktober 2022, inflasi AS turun menjadi 6,3 dengan suku bunga tetap. Pada November, inflasi ini turun menjadi 6,0 dengan suku bunga naik menjadi 3,75—4 persen. Pada Desember, inflasi ini turun ke 5,7 dengan suku bunga 4,25—4,5 persen
“Jadi walaupun inflasi inti turun adalah kabar baik, namun angka suku bunga masih lebih kecil dibandingkan inflasi inti. Sehingga suku bunga perlu naik karena target AS inflasi inti 2 persen, Dengan begitu, mungkin target suku bunga di sekitar 2 persen. Jadi bunga AS masih akan naik, perkiraan orang 5—5,2 persen karena diperkirakan inflasi inti pada April sudah lebih kecil dari suku bunga,” jelas Rufiyanto dalam webinar Indonesia Investment Education, Sabtu (21/1/2023).
Dengan asumsi AS naikan suku bunga pada Januari, februari , dan Maret, kemungkinan antara suku bunga dan inflasi inti sudah sama.
Sehingga pada saat itu suku bunga AS tidak perlu naik lagi.Sebagai catatan, jika resesi kian parah, maka suku bunga akan berpotensi turun.
Di Indonesia sendiri inflasi relatif terjaga dengan suku bunga acuan yang berada di atasnya. Sehingga tidak perlu ada kenaikan suku bunga untuk mengatasi inflasi. Adapun kenaikan suku bunga mengikuti The Fed ini untuk menghindari pelemahan Rupiah terhadap Dollar AS.
Instrumen Investasi yang Dapat Dilirik
“Jadi Panin Asset Management melihat 2023 inflasi inti AS akan terus turun sehingga suku bunga akan naik mungkin 2-3 kali lagi setelah itu tidak menutup kemungkinan akan turun di akhir tahun. Kalau skenario itu terjadi maka ini tahun yang baik untuk obligasi,” kata Rudi.
Jadi, di pasar modal itu tidak hanya reksa dana saham saja. Rudi mengatakan reksa dana obligasi juga bisa jadi pilihan investasi, bisa obligasi rupiah maupun obligasi USD. Jika suku bunga AS turun, maka harga obligasi akan naik. Sehingga tahun ini adalah tahun yang baik utnuk obligasi.
Tapi investor perlu hati-hati karena orang-orang mulai menyadari prospek cerah obligasi. Dalam catatannya, Rudi mengatakan pada Januari ini kenaikan harga obligasi sudah terlalu tinggi mencapai 2 persen.
“Baru dua minggu naik hampir 2 persen. Kalau di saham naik 2 persen sehari normal. kalau di ob naik 2 persen sebulan terlalu tinggi. Overall sampai akhir tahun masih bagus tapi januari reli obligasi terlalu cepat,” pungkas dia.
Advertisement