PNS Dilarang Rapat di Hotel, Pengusaha Kian Terjepit

Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) mengaku terhimpit dengan aturan larangan rapat di hotel bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS).

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 15 Jan 2015, 17:19 WIB
Diterbitkan 15 Jan 2015, 17:19 WIB
PNS
Ilustrasi (Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) mengaku terhimpit dengan aturan larangan rapat di hotel bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS).  Kebijakan ini dianggap mengorbankan rakyat demi penghematan Rp 1,6 triliun. 

Direktur Eksekutif PHRI, Cyprianus Aoer mengkritisi peraturan larangan rapat yang diterbitkan tanpa memahami efek domino bagi pelaku usaha hotel dan restoran termasuk untuk rakyat yang menggantungkan hidup dari jasa pelayanan tersebut. 

"Pemerintah terlalu membanggakan penghematan Rp 1,6 triliun dari penerapan aturan ini, tapi justru menyengsarakan rakyat," keluh dia saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, Kamis (15/1/2015). 

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB), Yuddy Chrisnandi sebelumnya menyatakan, dari larangan rapat di hotel sudah berlaku selama November dan Desember 2014, kementeriannya berhasil melakukan penghematan Rp 1,6 triliun. 

Menurut Cyprianus, uang penghematan itu merupakan uang rakyat yang seharusnya dikembalikan kepada rakyat. Dia merinci pengeluaran hotel, terdiri dari pajak 10 persen, biaya operasional menyedot 45 persen sampai 50 persen termasuk untuk suplier makanan dan minuman, listrik dan gas. 

"Sedangkan porsi gaji karyawan ke pengeluaran hotel sebanyak 30 persen hingga 35 persen. Itu untuk komponen gaji, BPJS, uang makan dan transport. Sementara pengusaha hotel cuma untung 5 persen sampai 6 persen," terang dia. 

Artinya, sambung Cyprianus, dengan menghemat Rp 1,6 triliun, pemerintah justru merampas hak rakyat. Sebab, katanya, imbas dari aturan larangan PNS rapat di hotel membuat hotel yang mempunyai bisnis MICE kedodoran. Ujung-ujungnya yang terjadi adalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). 

Hotel-hotel yang menjadi korban aturan ini, diakui dia, adalah hotel bintang 1, 2 dan 3 karena anggaran instansi pemerintah untuk rapat-rapat di hotel terbatas. Sementara hotel berbintang 4 dan 5 sudah mempunyai pasar masing-masing kalangan atas. 

"Kalau banyak pengangguran, apa tidak semakin jadi beban pemerintah. Padahal hotel hanya mengandalkan event-event Natal dan Tahun Baru, Lebaran, liburan sekolah yang bikin okupansi naik 80 persen sampai 90 persen. Sedangkan hari-hari biasa di bawah standar," jelasnya. (Fik/Ndw)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya