Sri Mulyani: Ikut Tax Amnesty Tak Perlu Tutup Perusahaan Offshore

Pembubaran perusahaan offshore berisiko terhadap pada wajib pajak yang telah memiliki utang.

oleh Achmad Dwi Afriyadi diperbarui 22 Sep 2016, 13:27 WIB
Diterbitkan 22 Sep 2016, 13:27 WIB
20160920- Sri Mulyani Sebut Uji Materi UU Tax Amnesty Tidak Sah-Jakarta- Faizal Fanani
Menkeu Sri Mulyani (tengah) hadir di ruang sidang MK, Jakarta, Selasa (20/09). Menurut Sri Mulyani dengan tax amnesty, pemerintah dapat memiliki dana dalam jangka pendek untuk membangun proyek infrastruktur. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah memutuskan untuk merevisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 127/PMK.010/2016 tentang Pengampunan Pajak Berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak bagi Wajib Pajak yang Memiliki Harta Tidak Langsung Melalui Special Purpose Vehicle (SPV).

Pemerintah merevisi aturan tersebut karena dianggap menghalangi masyarakat untuk melakukan tax amnesty. Dalam ketentuan tersebut, wajib pajak yang akan ikut tax amnesty mesti membubarkan SPV yang dimilikinya.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, pemerintah berusaha semaksimal mungkin agar program tax amnesty bisa berjalan dengan sukses. Beberapa pihak melihat bahwa PMK nomor 127 menjadi halangan bagi pengusaha untuk ikut dalam program tax amnesty. Oleh karena itu, pemerintah akan merevisi. 

"Kami akan melakukan berbagai hal. Jadi kami sedang revisi dan akan diumumkan secepat mungkin," kata dia di Ritz Carlton Jakarta, Kamis (22/9/2016). Menteri Keuangan memastikan bahwa aturan baru tersebut akan keluar di akhir bulan pekan ini atau paling lambat pekan depan.

Sebelumnya, Direktur utama PT Bursa Efek Indonesia (BEI) Tito Sulistio mengatakan, pembubaran SPV berisiko terhadap pada wajib pajak yang telah memiliki utang. "Kalau SPV bubar utangnya default itu problem pertama," kata dia.

Risiko lain, lanjut dia, wajib pajak harus melakukan tender offer. Dia menerangkan, di beberapa negara untuk pergantian nama mewajibkan adanya tender offer.

"Kedua ada beberapa pengusaha punya saham, punya SPV di Hong Kong. Di sana aturannya mereka punya saham 20 persen, kalau di atas 20 persen harus tender offer kalau ganti nama," jelas dia.

Tito menuturkan, hal tersebut membuat wajib pajak bingung. Dia bilang sebaiknya status SPV tak seharusnya dibubarkan.

"Saya dengar dua hal ini karena memang kalau tidak diubah orang mereka bingung. Mereka siap lapor bayar 4 persen akan tetapi pada dasarnya akan tetap bisa dipakai SPV. Kalau bayar 4 persen kenapa harus ganti nama boleh di sana," tandas dia. (Amd/Gdn)

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya