Inovasi Jadi Kunci RI Keluar dari Jebakan Kelas Menengah

Indef menilai, pemerintah perlu membenahi beberapa faktor untuk meningkatkan inovasi.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 27 Sep 2017, 12:04 WIB
Diterbitkan 27 Sep 2017, 12:04 WIB
BI memperkirakan Pertumbuhan ekonomi Jakarta turun tipis ke 5,85%
Pemandangan gedung pencakar langit di Jakarta, Senin (27/2). Berdasarkan perkiraan Bank Indonesia (BI) angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) DKI Jakarta pada tahun 2016 tercatat tumbuh 5,85% secara tahunan. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Inovasi merupakan salah satu kunci dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Inovasi juga menjadi jalan bagi Indonesia keluar dari jebakan pendapatan kelas menengah (middle income trap). Pemerintah perlu membenahi beberapa faktor dalam rangka meningkatkan inovasi.

Ekonom Indef, Berly Martawardaya, menyebut menurut data Global Innovation Index 2017, peringkat inovasi Indonesia berada di posisi 87 dari total 127 negara. Peringkat ini naik 1 level dibanding tahun sebelumnya. Di tingkat ASEAN, Indonesia berada jauh di bawah Malaysia (37) dan Vietnam (47).

Beberapa negara, seperti Korea Selatan dan Taiwan, mampu mencapai predikat negara berpendapatan atas dengan motor industri teknologi tinggi (hi-tech) dan didukung dengan kebijakan yang memadai. Berly menyatakan, rendahnya tingkat inovasi di Indonesia tidak terlepas dari beberapa faktor.

"Pertama, regulasi yang belum sepenuhnya mendukung, level pendidikan yang masih rendah, serta anggaran riset yang relatif kecil," kata Berly dalam keterangan resminya di Jakarta, Rabu (27/9/2017).

Regulasi contohnya, Berly mengakui, aturan soal hak paten cukup lemah. Dia menilai, persoalan paten sangat mendesak karena peringkat Indonesia dalam jumlah paten terdaftar berada di urutan ke-103 dari 127 negara.

"Indonesia menjadi salah satu negara yang sedikit kontribusinya terhadap inovasi di dunia," ujar dia.

Hal kritis lainnya yang perlu dibenahi adalah minimnya belanja penelitian dan pengembangan (litbang) atau riset. Berly mengungkapkan, belanja riset Indonesia hanya sebesar 0,2 persen terhadap PDB selama dua tahun terakhir. Sementara negara lain di ASEAN, seperti Singapura dan Thailand, sudah di atas 2,5 persen.

"Tentu dengan anggaran pemerintah yang terbatas dalam hal riset, peran swasta harus lebih banyak dilibatkan. Swasta bisa berkontribusi apabila ekosistem riset termasuk kebijakan inovasi, khususnya berkaitan dengan paten mendukung," ujar Berly.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

Selanjutnya

Pemberian hak paten di Indonesia telah mendapat perhatian dari pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Presiden Jokowi telah menetapkan keputusannya untuk membuat Indonesia mampu bersaing dalam rantai pasokan global melalui inovasi dengan standar kualitas yang tinggi.

Aspek utama untuk mendorong tercapainya misi ini adalah dengan memiliki perlindungan paten yang kuat bagi seluruh pelaku inovasi. Menurut Berly, hasil penelitian Indef pun menemukan adanya korelasi yang positif antara hak paten dan pertumbuhan ekonomi.

Berly mengemukakan, setiap 1 persen kenaikan jumlah hak paten yang terdaftar berkorelasi positif dan signifikan dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia 0,06 persen.

"Artinya, bila jumlah paten bisa naik 10 persen saja, pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa lebih tinggi 0,6 persen. Selisih yang tidak kecil mengingat tiga semester ini rate pertumbuhan Indonesia sulit naik dari angka 5,01 persen," jelasnya.

Iktikad untuk meningkatkan jumlah dan perlindungan paten juga tecermin dalam Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2016 yang merupakan revisi dari UU Nomor 14 Tahun 2001. Banyak poin bagus UU, tapi juga ada yang kurang kondusif.

Salah satunya terkait dengan kewajiban pemegang paten untuk melakukan produksi di dalam negeri (Pasal 20). Ada dua dampak negatif dari pemberlakuan aturan ini. Pertama, aturan kewajiban memproduksi di dalam negeri berpotensi membatasi pemegang paten lokal untuk melakukan ekspansi secara global dengan memilih negara yang paling optimal untuk berproduksi.

"Perusahaan yang seharusnya bisa go international dan menjadi pemain dunia dengan pasal ini tidak bisa melakukan produksi di luar negeri, di mana sektor tertentu lebih cost effective. Sebaiknya, pemerintah mencermati kembali dampak ketentuan ini terhadap perusahaan lokal," tutur dia.

Kedua, dampak dari adanya kewajiban pemegang hak paten memproduksi di dalam negeri akan banyak perusahaan terutama di bidang farmasi dan teknologi yang biaya produksinya tinggi jadi enggan menjual produknya di Indonesia, padahal banyak produk kedua sektor itu yang penting bagi kesehatan dan supply chain industri.

"Yang dibutuhkan saat ini adalah insentif untuk menarik lembaga untuk berlomba-lomba supaya mendaftarkan patennya," kata Berly.

Dalam aturan mengenai paten, Berly menyarankan, sebaiknya pemerintah menyiapkan skema insentif untuk peneliti di perguruan tinggi maupun pihak swasta yang melakukan pengembangan inovasi dan riset.

Berkaca dari negara lain, yaitu Jepang dan Korea, kunci keberhasilan mendorong pertumbuhan paten terkait erat dengan insentif yang diberikan oleh pemerintah.

"Insentif untuk mendorong inovasi bisa berupa pemotongan pajak pada perusahaan yang inovatif baik melalui tax allowance, lebih dari 100 persen tax deduction on reserch expenditure, dan tax holiday atau skema insentif nonfiskal lain termasuk mempermudah prosedur dan biaya pendaftaran paten," kata dia.

"Prosedur paten perlu dipermudah dan dipercepat. Jika proses pengajuan paten masih lama dan mahal, maka perusahaan di sektor hi-tech akan berpikir sekian kali sebelum investasi di Indonesia," kata Berly.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya