Liputan6.com, New York - Harga minyak turun lebih dari satu persen usai badai teluk Amerika Serikat (AS) melemah dan kekhawatiran meningkat terhadap perang dagang.
Ditambah krisis mata uang Turki mempengaruhi permintaan minyak. Harga minyak West Texas Intermediate (WTI) turun USD 1,15 atau 1,65 persen ke posisi USD 68,72 per barel.
Sementara itu, harga minyak Brent tergelincir 90 sen atau 1,15 persen ke posisi USD 77,27 per barel. Sebelumnya harga minyak acuan ini sempat tembus level tertinggi sejak Mei di kisaran USD 79,72 per barel.
Advertisement
Baca Juga
Harga minyak sempat melonjak lantaran perusahaan minyak menutup infrastruktur lepas pantai untuk antisipasi kerusakan akibat badai tropical Gordon. Namun, tak seperti yang dikhawatirkan karena badai tersebut membuat perseroan di sepanjang pantai telus AS mengambil langkah lanjutkan operasi pada Rabu waktu setempat.
"Harga kemarin naik karena antisipasi badai dapat timbulkan kerusakan pada sektor produksi dan penyulingan. Akan tetapi, usai semua dilakukan membuat kehilangan sedikit produksi dan kilang di Mississippi dan Louisiana terus berjalan," ujar Presiden Lipow Oil Associates, Andrew Lipow seperti dikutip dari laman Reuters, Kamis (6/9/2018).
Selain itu, harga minyak melemah karena perselisihan sektor perdagangan antara Amerika Serikat dan China meningkatkan kekhawatiran permintaan. Presiden AS Donald Trump dapat mengenakan tarif lebih besar untuk barang impor China senilai USD 200 miliar.
Sekretaris Jenderal OPEC, Mohammad Barkindo menuturkan, sengketa perdagangan dapat membebani permintaan energi di masa depan. Selain itu, krisis mata uang di Turki juga beban harga minyak berjangka. Lira Turki telah jatuh lebih dari 40 persen pada 2018.
"Kekhawatiran krisis mata uang Turki menyebar ke pasar negara berkembang lainnya telah dorong kekhawatiran sisi permintaan," ujar Abhishek Kumar, Analis Interfax Energy.
Harga Minyak Berpeluang Menguat
Adapun harga minyak dapat peroleh dukungan jika laporan mingguan tentang inventaris AS menunjukkan penurunan inventaris. Analis perkirakan, stok secara rata-rata turun sekitar 1,9 juta barel pada pekan lalu.
Sanksi AS menargetkan sektor minyak Iran pada November juga sudah mengurangi ekspor dari produsen terbesar ketiga OPEC tersebut dan meniadakan dampak dari perjanjian OPEC dan sekutunya untuk memproduksi lebih banyak minyak.
"Dengan antisipasi hingga 1,5 juta barel per hari dipengaruhi oleh sanksi AS terhadap Iran, diperkirakan harga akan lebih tinggi pada minggu-minggu mendatang," tutur Stephen Innes, broker OANDA.
Presiden AS Donald Trump mengatakan, pihaknya tidak prediksi apa yang akan terjadi dengan Iran. Hal itu tidak menjadi masalah baginya jika para pemimpin Iran ingin berbicara atau tidak.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement