Tiket Pesawat Mahal, Tingkat Hunian Hotel Turun pada Mei 2019

BPS mencatat tingkat penghunian kamar (TPK) hotel klasifikasi bintang di Indonesia pada Mei 2019 mencapai rata-rata 43,53 persen.

oleh Liputan6.com diperbarui 01 Jul 2019, 13:35 WIB
Diterbitkan 01 Jul 2019, 13:35 WIB
Ilustrasi Kamar Hotel
Ilustrasi kamar hotel. (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat penghunian kamar (TPK) hotel atau tingkat hunian kamar hotel klasifikasi bintang di Indonesia pada Mei 2019 mencapai rata-rata 43,53 persen.

Angka ini turun 10,37 poin dibandingkan bulan sebelumnya April 2019 yang tercatat sebesar 50,90 persen. Sedangkan jika dibandingkan periode sama tahun sebelumnya Mei 2018, tingkat hunian kamar hotel juga tercatat turun sebesar 10,33 poin atau sebesar 53,86 persen.

"Tingkat hunian kamar hotel turun ini perlu jadi perhatian satu sisi karena memang ada Ramadan di satu sisi bulan Mei juga tiket pesawat masih tinggi," kata Kepala BPS, Suhariyanto di Kantornya, Jakarta, Senin (1/7/2019).

Suhariyanto menyebut, penurunan TPK hotel klasifikasi bintang pada Mei 2019 terjadi di seluruh provinsi dengan penurunan tertinggi tercatat di DI Yogyakarta, yaitu sebesar 28,06 poin. Kemudian diikuti Sumatera Barat 21,65 poin, dan Kepulauan Bangka Belitung 16,77 poin.

"Sedangkan penurunan terendah tercatat di Provinsi Papua Barat yaitu sebesar 1,34 poin," imbuhnya.

Di samping itu, Suhariyanto menambahkan, untuk rata-rata lama menginap tamu asing dan Indonesia pada hotel klasifikasi bintang di Indonesia mencapai 1,93 hari selama Mei 2019.

Angka ini naik sebesar 0,09 poin jika dibanding rata-rata lama menginap pada Mei 2018 lalu. Begitu pula, jika dibandingkan dengan April 2019 rata-rata lama menginap pada Mei 2019 mengalami kenaikan sebesar 0,10 poin.

"Secara umum, rata-rata lama menginap tamu asing Mei 2019 lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata lama menginap tamu Indonesia, yaitu masing-masing 2,85 hari dan 1,76 hari," kata dia.

Adapun kata Suhariyanto, jika dirinci menurut provinsi, rata-rata lama menginap tamu yang terlama pada Mei 2018 teratat di Bali, yaitu 2,90 hari. Kemudian diikuti Nusa Tenggara Barat (NTB) 2,42 hari, dan Banten 2,30 hari. 

"Sedangkan rata-rata lama menginap tamu yang terpendek terjadi di Provinsi Kalimantan sebesar 1,19 hari," pungkasnya.

 

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

Inflasi Juni 2019

Inflasi
Ilustrasi Inflasi (Liputan6.com/Johan Fatzry)

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan inflasi Juni 2019 mencapai 0,55 persen. Adapun komponen penyumbang inflasi terbesar yaitu bahan makan.

Kepala BPS, Suhariyanto mengatakan, komponen bahan makanan mengalami inflasi sebesar 1,63 persen dengan andil terhadap inflasi secara keseluruhan sebesar 0,38 persen.

"Inflasi umum 0,55 persen, di situ kita mendeteksi inflasi tertinggi untuk bahan makanan karena masih ada dalam masa Lebaran, dengan inflasi 1,63 persen," ujar dia di Kantor BPS, Jakarta, Senin, 1 Juli 2019. 

Dia menuturkan, dari komponen bahan makanan, penyumbang inflasi terbesar yaitu cabai merah sebesar 0,2 persen. Kemudian diikuti oleh ikan segar sebesar 0,05 persen dan aneka sayuran sebesar 0,1 persen.

"Kenaikan inflasi cabai merah 0,2 persen, kemudian ikan segar sebesar 0,05 persen. Selebihnya tomat sayur, cabai hijau 0,1 persen. Tapi di sisi lain ada bawang putih yang harganya sudah turun. Kemarin deflasi sebesar 0,06 persen dan daging serta telur ayam ras 0,02 persen," ujar dia.

Selain bahan makanan, komponen yang mengalami inflasi pada Juni 2019 yaitu komponen makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau sebesar 0,59 persen dengan andil sebesar 0,1 persen. Komponen perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar sebesar 0,17 persen dengan andil sebesar 0,04 persen.

"Untuk perumahan inflasi 0,17 persen. Komoditas yang menyumbang inflasi adalah kenaikan upah asisten rumah tangga sebesar 0,01 persen," kata dia.

Kemudian, untuk komponen sandang mengalami inflasi 0,81 persen dengan andil sebesar 0,05 persen. Di komponen ini, inflasi disebabkan oleh kenaikan harga emas dan perhiasan. ‎

"Pada sandang yang dominan adalah kenaikan harga emas, perhiasan. Kita tahu harga emas naik signifikan. Ini terjadi di 76 kota yang kita pantau, tertinggi di serang 6 persen dan Tarakan Ternate naik 5 persen," ungkap dia.

Untuk komponen kesehatan dan pendidikan, lanjut Suhariyanto, pada Juni 2019 cenderung tidak mengalami inflasi. Untuk kesehatan mengalami inflai 0,19 peren dengan andil 0,01 persen. Sedangkan pendidikan, rekreasi dan olahraga mengalami inflasi 0,07 persen dengan andil 0 persen.

"Kesehatan dan pendidikan dia akan muncul di Juli ketika anak-anak mulai sekolah," lanjut dia.

Sedangkan untuk komponen transportasi, komunikasi dan jasa keuangan justru mengalami deflasi 0,14 persen pada Juni 2019, dengan andil sebesar -0,03 persen. Hal ini sebabkan mulai turunnya sejumlah harga tiket pesawat.

‎"Jadi bahan makanan masih menjadi penyumbang inflasi terbesar di Juni 2019. Kenaikan terbesar dialami oleh cabai merah, ikan segar, beberapa sayuran, dan perhiasan permata. Penghambat inflasi, yaitu dengan turunya harga bawang putih, tiket pesawat, harga ayam dan telur ras," tandas dia.

BPS: Surplus Neraca Dagang Belum Ideal

20161025-Bea-Cukai-Kembangkan-ISRM-untuk-Pangkas-Dwelling-Time-Jakarta-IA
Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (25/10). Kebijakan ISRM diharapkan dapat meningkatkan efisiensi pelayanan dan efektifitas pengawasan dalam proses ekspor-impor. (Liputan6.com/Immaniel Antonius)

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia pada Mei 2019 mengalami surplus sebesar USD 0,21 miliar. Realisasi ini membaik dari posisi neraca perdagangan April 2019 yang defisit sebesar USD 2,5 miliar atau terparah sepanjang sejarah.

Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, meski neraca perdagangan pada Mei mengalami surplus dan memberi sinyal positif terhadap kondisi perekonomian dalam negeri, namun ini belum cukup optimal. Sebab, jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, kinerja ekspor Indonesia cenderung masih lebih rendah.

"Surplus ini harusnya dibicarakan posisi ideal bahwa untuk memperbaiki neraca perdaganganharus meningkatan ekspor dan mengendalikan impor. Harusnya kalau ideal ekspor naik impor turun," ujar Suhariyanto di Kantornya, Jakarta, Senin (24/6/2019).

Berdasarkan data BPS menunjukkan sepanjang Januari hingga Mei 2019 nilai ekspor Indonesia sebesar USD 68,46 miliar atau menurun 8,61 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

Sementara untuk impor, secara kumulatif dari Januari hingga Mei 2019 tercatat sebesar USD 70,60 juta atau turun 9,23 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.

Suhariyanto menambahkan upaya pemerintah untuk menggenjot ekspor sendiri masih terganjal beberapa faktor eksternal seperti perang dagang serta harga komoditas yang fluktuatif dan cenderung menurun.

"Tadi seperti saya bilang upaya menggenjot ekspor tantangannya luar biasa. Jika negara-negara utama seperti China dan Singapura permintaan mereka lemah tentu berpengaruh (terhadap total nilai ekspor)," ujar Suhariyanto.

Sementara di satu sisi harga komoditas ekspor utama Indonesia seperti minyak kelapa sawit (crude palm oil) dan batu bara mengalami penurunan harga meski volume barang yang diekspor meningkat. Untuk minyak kelapa sawit, nilai total ekspor mengalami penurunan sebesar 17,87 persen selama periode Januari hingga Mei 2019.

Hal serupa terjadi juga untuk batu bara dengan volume ekspor yang meningkat namun harganya anjlok 21 persen sejak awal tahun. "Berbeda situasi dengan karet yang mengalami penurunan volume ekspor 11,17 persen sementara harganya naik 4,12 persen," katanya.

"Dengan adanya pergerakan ekspor dari 10 komoditas utama diharapkan bisa mendeteksi lebih baik barang atau komoditas utama mana yang perlu mendapat perhatian," kata Suhariyanto.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya