Liputan6.com, Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Nilai Tukar Petani (NTP) pada Juli 2019 secara nasional naik 0,29 persen dibandingkan NTP Juni 2019, yaitu dari 102,33 menjadi 102,63.
Kepala BPS, Suhariyanto mengatakan berdasarkan hasil pemantauan harga-harga pedesaan di 33 provinsi di Indonesia selama Juli 2019, Kenaikan NTP dipicu olehIndeks Harga yang Diterima Petani (It) naik sebesar 0,70 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan Indeks Harga yang Dibayar Petani (lb) sebesar 0,41 persen.
"Kenaikan NTP disebabkan oleh kenaikan indeks harga hasil produksi pertanian lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan pada indeks harga barang dan jasa yang dikonsumsi oleh rumah tangga maupun untuk keperluan produksi pertanian," kata dia, di Kantornya, Jakarta, Kamis (1/8).
Advertisement
Baca Juga
Dia melanjutkan, kenaikan NTP Juni 2019 dipengaruhi oleh kenaikan NTP di tiga subsektor pertanian, yaitu NTP Subsektor Tanaman Pangan sebesar 0,36 persen, Subsektor Holtikultura sebesar 0,61 persen dan Subsektor Pertenakan sebesar 0,67 persen.
"Sementara itu, NTP didua subsektor pertanian lainnya mengalami penurunan, yaitu NTP Subsektor Tanaman Perkebunan Rakyat dan TP Subsektor Perikanan, masing-masinhg sebesar 0,40 persen dan 0,32 persen," jelasnya.
Adapun pada Juli 2019, NTP Provinsi Gorontalo mengalami kenaikan tertinggi sebesar 1,90 persen dibadningkan kenaikan NTP provinsi lainnya. Sebaliknya, NTP Provinsi Sumatera Selatan mengalami penurunan terbesar 0,96 persen dibandingkan NTP provinsi lainnya.
"Pada Juli 2019 terjadi inflasi perdesaan di Indonesia sebesar 0,55 persen, dengan kenaikan indeks tertinggi terjadi pada kelompok bahan makanan. Nilai Tukar Usaha Rumah Tangga Pertanian (NTUP) nasional Juni 2019 sebesar 112,68 atau naik sebesar 0,60 persen dibanding NTUP bulan sebelumnya," tutupnya.
Sebagai informasi Nilai Tukar Petani (NTP) adalah perbandingan indeks harga yang diterima petani (It) terhadap indeks harga yang dibayar petani (lb).
NTP merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan/daya beli petani di perdesaan. NTP juga menunjukkan daya tukar (terms of trade) dari produk pertanian dengan barang dan jasa yang dikonsumsi maupun untuk biaya produksi. Semakin tinggi NTP, secara relatif semakin kuat pula tingkat kemampuan/daya beli petani.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Harga Pangan Turun, Petani di Desa Makin Sejahtera
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat di wilayah pedesaan pada September 2018 mengalami deflasi lebih tinggi jika dibandingkan bulan sebelumnya.
Tercatat angka deflasi di pedesaan mencapai 0,59 persen, padahal di perkotaan sebesar 0,18 persen. Deflasi yang tinggi ini nampaknya menjadikan petani-petani di desa semakin sejahtera. Hal itu terlihat dari nilai tukar petani pada September 2018 naik 0,59 persen menjadi 103,17.
"Kenaikan ini karena indeks harga yang diterima petani naik 0,26 persen, sementara indeks harga yang dibayar petani turun 0,33 persen," tegas Kepala BPS Suhariyanto di kantornya, Senin (1/10/2018).
Pada September 2018, nilai tukar petani di Jambi mengalami kenaikan tertinggi sebesar 1,68 persen dibandingkan provinsi lainnya. Sebaliknya, nilai tukar petani Kepulauan Bangka Belitung mengalami penurunan terbesar, yaitu sebesar 1,18 persen dibandingkan provinsi lainnya.
Kenaikan nilai tukar petani September 2018 dipengaruhi oleh kenaikan nilai tukar petani pada subsektor tanaman pangan sebesar 2,33 persen, nilai tukar petani subsektor perkebunan rakyat 0,78 persen dan subsektor perikanan sebesar 0,63 persen.
Sedangkan subsektor hortikultura dan subsektor peternakan mengalami penurunan masing-masing sebesar 0,08 persen dan 1,42 persen. Nilai tukar petani merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan atau daya beli petani di Indonesia.
Nilai tukar petani juga menunjukkan daya tukar dari produk pertanian dengan barang dan jasa yang dikonsumsi maupun untuk biaya poduksi.
"Jadi semakin tinggi nilai tukar petani, secara relatif semakin kuat pula tingkat kemampuan atau daya beli petani," ujar dia.
Advertisement
Faisal Basri: Ketimpangan di Pedesaan Meningkat
Sebelumnya, Ekonom Faisal Basri mengungkapkan, masalah kemiskinan di Indonesia masih belum terselesaikan. Kebijakan yang sudah dikeluarkan pemerintah dinilai tidak tepat sasaran.
Saat ini, Indonesia terbagi dalam tiga golongan. 20 persen kaya, 20 persen kelas menengah dan 40 persen sisanya adalah warga miskin.
"Pemerintah harus hadir untuk memberdayakan yang paling lemah (40 persen rakyat miskin)," kata Faisal dalam sebuah acara diskusi di Kawasan Jakarta Selatan, Rabu 15 Agustus 2018.
Dia mengatakan, sebagian besar 40 persen kelompok terbawah tersebut berprofesi sebagai petani di desa. Oleh sebab itu, pemerintah harus lebih gencar lagi untuk mensejahterakan kaum tani dan mengangkat nasib rakyat paling bawah tersebut.
"Sekarang kita bicara rakyat bawah yang harus dibantu sebagian besar rakyat kita adalah petani. Petani semakin sengsara. Nilai tukar petani turun dari akhir masa pak SBY sampai kini masa Jokowi," ujar dia.
Dia menegaskan, petani di Indonesia belum sejahtera. Bahkan mereka terus dirugikan terutama sejak pemerintah menetapkan Harga Pokok Penjualan (HPP) yang rendah.
"Petani itu ditekan terus sama pemerintah. Kenapa saya katakan begitu ? karena pemerintah lebih mengutamakan peningkatan produksi. Menteri Pertaniannya berbohong - berbohong terus dan dibiarkan oleh Presidennya. Kalau anggota DPR protes, anggota DPR nya diajak ketemu "butuh traktor berapa di dapil" begitu. Itu dibiarkan praktek - praktik seperti itu,” ujar dia.
"Harga beras ditahan rendah. HPP mau diturunkan. HPP beras diturunkan untuk menolong kita kelas menengah agar tidak cerewet. Untuk mencegah kelas menengah tidak nyinyir kalau harga beras naik," tambah dia.