Liputan6.com, Jakarta - WWF kembali meluncurkan Laporan Sustainable Banking Assessment (SUSBA) edisi ke-4 di Singapura pada Selasa, 21 September 2020. Laporan ini berisikan penilaian integrasi aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola (LST) pada 38 bank di ASEAN.
Tahun ini terdapat penambahan cakupan, yakni sebanyak masing-masing 5 bank dari Jepang dan Korea Selatan (Korsel). Berdasarkan penilaian, rata-rata perbankan telah mengalami kemajuan terkait pertimbangan aspek lingkungan dan sosial ke dalam kegiatan pembiayaan mereka.
Baca Juga
Penanggung jawab untuk program keuangan berkelanjutan Yayasan WWF Indonesia Rizkiasari Yudawinata, menjelaskan secara keseluruhan temuan utama SUSBA tahun 2020 untuk perbankan yang dinilai di ASEAN, Jepang, dan Korsel.
Advertisement
“Sebanyak 5 bank di Jepang dan 60 persen bank Korsel yang dinilai mempunyai strategi untuk mengelola risiko terkait perubahan iklim dan seluruhnya terdaftar sebagai pendukung Task Force on Climate-related Financial Disclosures (TCFD),” kata Rizkiasari dalam keterangan yang diterima Liputan6.com, Selasa (1/12/2020).
Kemudian 24 persen bank-bank di ASEAN yang mempunyai strategi terhadap iklim meningkat empat kali lipat meskipun meskipun masih terbilang rendah. Sementara 34 persen bank-bank di ASEAN mengakui adanya risiko terkait deforestasi dan keanekaragaman hayati, terdapat peningkatan tipis sebanyak 3 bank jika dibandingkan tahun lalu.
Sementara itu, meskipun 5 bank di Jepang telah mengakui adanya risiko deforestasi, namun belum ada yang berkomitmen untuk mengatasi risiko dimaksud pada portofolionya. Baru sekitar 21 persen bank-bank di ASEAN dan 20 persen bank-bank di Korsel mengakui pentingnya risiko terkait air selain faktor polusi.
“1 bank Jepang dan beberapa bank di ASEAN termasuk di Indonesia telah menyadari adanya polusi air sebagai faktor material untuk bisnis, dengan total nilai sebesar USD 425 miliar terpapar risiko terkait air secara global,” ujarnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Temuan di Bank Jepang dan Korsel
Lanjutnya, analisa lanjutan pada sektor dan isu terkait ditemukan di bank-bank di Jepang dan Korsel telah memiliki kebijakan untuk tidak membiayai proyek pembangkit listrik non terbarukan. Bank Shinhan dan 5 bank Jepang tidak membiayai proyek pembangkit listrik batu bara, meskipun kebijakan ini mempunyai pengecualian terhadap teknologi tertentu atau carbon capture.
MUFG, Mizuho dan SMBC telah mengumumkan target waktu dan perencanaan mengakhiri untuk membiayai sektor ini. DBS, OCBC dan UOB merupakan bank ASEAN yang sudah tidak lagi memberikan pembiayaan baru untuk sektor yang sama dengan bank di Jepang.
Sementara CIMB telah juga mengumumkan bahwa mereka akan mengeluarkan kebijakan terkait batu bara pada akhir tahun 2020. Sementara bank di ASEAN dinilai masih membiayai sektor non terbarukan.
“Masih berjalannya bank dalam membiayai sektor yang berkontribusi tinggi terhadap emisi GRK meningkatkan potensi risiko terhadap bank terkait transisi perubahan iklim seperti pajak karbon dan ketertinggalan teknologi,” katanya.
Demikian 53 persen dari bank-bank di ASEAN kini berkomunikasi lebih dekat dengan regulator terkait keuangan berkelanjutan, merupakan peningkatan yang cukup besar sebanyak 31 persen.
Adapun berdasarkan Global Risk Report 2020, kegagalan aksi iklim dan bencana alam merupakan risiko yang tingkat probabilitas terjadinya tergolong tinggi. Terlebih Indonesia merupakan negara yang rentan terhadap risiko perubahan iklim.
“Oleh karena itu, bank perlu menyadari bahwa momen ini perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk menyiapkan strategi bisnis yang berdaya lenting tinggi terhadap tantangan dimaksud. Pandemi ini perlu diambil sebagai pelajaran berharga untuk mengoreksi pendekatan kita mengantisipasi terjadinya krisis iklim yang telah lebih awal diprediksi tersebut,” pungkasnya.
Advertisement