Liputan6.com, Jakarta Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menindaki kenaikan harga obat terapi Covid-19 dengan melakukan proses pemeriksaan dalam ranah penegakan hukum. Selain itu, KPPU juga akan memanggil pelaku usaha yang menjual obat-obatan tersebut di atas Harga Eceran Tertinggi (HET).
Wakil Ketua KPPU Guntur Saragih mengatakan, pasca melihat indikasi harga obat terapi Covid-19 yang tak wajar, pihaknya memutuskan untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut melalui pemanggilan.
Baca Juga
"Jika teman-teman (Kanwil KPPU) telah melakukan pemantauan, penelahaan, kami sudah memutuskan per hari ini pukul 11.00 WIB untuk masuk penegakan hukum dan melakukan pemanggilan," ujar Guntur dalam sesi teleconference, Rabu (7/7/2021).
Advertisement
Menurut dia, langkah ini dilakukan untuk memastikan apakah perbedaan disparitas harga obat terapi Covid-19 memang disebabkan oleh permintaan begitu tinggi sehingga tidak mampu disuplai oleh produksi yang ada.
"Atau memang ada pelanggaran persaingan usaha di dalamnya, baik di tingkat produsen maupun di tingkat supplier dan distribusi," sambungnya.
Guntur berharap masyarakat dan konsumen mau ikut membantu dengan memberikan informasi kepada KPPU jika melihat ada indikasi pelanggaran dari mahalnya harga obat terapi Covid-19, atau terkait pelanggaran persaingan dalam industri obat-obatan dan alat kesehatan.
"Kita berharap ini tidak terjadi. Kita mendukung upaya pemerintah untuk bisa menciptakan tersedianya alat kesehatan dan obat terapi Covid-19 dengan harga yang wajar, ketersediannya juga dapat dijangkau. Walaupun kita pahami tadi ada kebijakan untuk memprioritaskan rumah sakit, tapi kita akan lihat apakah ada pelanggaran atau tidak," tuturnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
YLKI Minta Penjual Obat Terapi Covid-19 Mahal Dikenakan Sanksi
Sebelumnya, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) meminta Kementerian Kesehatan memberikan sanksi tertulis, penutupan sementara usaha, hingga pencabutan izin kepada pelaku usaha di e-commerce dan apotek yang menjual obat terapi covid-19 di atas Harga Eceran Tertinggi (HET)
“Kalau memang ada bukti bahwa apotek dan e-commerce melakukan pelanggaran, bisa diberikan teguran tertulis, kalau berulang bisa pembatasan kegiatan usaha ditutup usaha, hingga dicabut izin usahanya,” kata Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo, kepada Liputan6.com, Selasa (6/7/2021).
Sanksi tersebut layak diberikan lantaran telah melewati HET. Menurutnya, HET itu menjadi acuan pedagang dan konsumen ketika membeli produk obat. Karena setiap harga obat itu sudah tertera dalam kemasan HET-nya.
Dia menyebut memang kenaikan harga selalu terjadi di level pedagang, baik secara online maupun offline di apotek. Seharusnya penjual menjelaskan kepada konsumen alasan harga obat terapi covid-19 naik.
“Ketika ada kenaikan harga itu biasanya di level pedagang atau di apotek. Mestinya pihak apotek bisa memberikan penjelasan kepada konsumen kenapa obat tersebut naik,” ujarnya.
Sudaryatmo berpendapat, naiknya harga produk obat-obatan di tengah pandemi ini disebabkan lantaran lemahnya fungsi pengawasan dari Kementerian Kesehatan. Seharusnya Kemenkes menyediakan akses pengaduan obat untuk konsumen.
“Kalau konsumen mendapati harga obat diatas HET, kemana mengadunya? mestinya Kementerian Kesehatan mensosialisasikan akses pengaduan harga obat, bahkan kalau perlu di apotek-apotek itu dicantumkan informasi keluhan konsumen terkait harga obat, sehingga bisa disampaikan ke Kementerian Kesehatan,” ungkapnya.
Advertisement
Panggil Penjual Obat
Setelah menerima pengaduan dari konsumen, Kementerian Kesehatan bisa memanggil penjual obat, baik apotek maupun pedagang di e-commerce agar bisa diberikan sanksi secara menyeluruh.
“Kenapa apotek bisa menaikkan harga? karena pihak apotek melihat pengawasannya tidak ketat, terbatas. Kelihatannya fungsi pengawasannya tidak berjalan, ditambah sosialisasi terkait harga obat juga tidak berjalan baik,” ujarnya.
Menurut dia, ada dua jenis obat yang diperjual belikan kepada konsumen, pertama obat dengan resep dokter, dan kedua adalah obat bebas. Obat bebas yang dimaksud merupakan obat yang sering dikonsumsi rutin oleh konsumen seperti obat diabetes, dan hipertensi.
“Memang ada obat-obatan konsumsi rutin seperti obat diabetes dan hipertensi, konsumen bisa membeli tanpa resep dokter, tapi apotek wajib mencatat nama konsumennya,” kata dia.
Berbeda dengan obat yang perlu resep dokter, maka diperlukan pengawasan yang ketat agar para penjual tidak menjual diatas HET, baik yang diperjualbelikan di apotek maupun di e-commerce.
“Jangankan di marketplace, di apotek yang offline saja mestinya kalau beli obat tanpa resep dokter itu tidak boleh. Lebih baik konsultasi dengan dokter dan ada resepnya, dan membeli obat di outlet resmi saja,” pungkasnya.
Infografis 11 Aplikasi untuk Konsultasi Online dan Obat Gratis Pasien Isolasi Mandiri Covid-19
Advertisement