Liputan6.com, Jakarta - Perang Rusia UKraina sudah berlangsung lebih dari 4 minggu, dan diwarnai dengan serangkaian sanksi ekonomi dari berbagai negara atas respon terhadap invasi di negara yang dipimpin Presiden volodymyr zelensky.
Sanksi ekonomi dari AS dan Eropa terhadap Rusia, dijatuhkan pada sejumlah bank, perusahaan, pejabat, dan miliarder negara itu - membekukan aset mereka dan membatasi akses ke pasar keuangan global.
Baca Juga
Dampak Perang Rusia Ukraina juga dirasakan pada ekonomi Amerika Serikat dan Eropa. Seperti apa?
Advertisement
Hambatan di sektor energi Eropa
Konflik antara Rusia UKraina bisa menghambat pasokan energi di Eropa.
Dilansir dari laman Forbes, Selasa (22/3/2022) Eropa adalah tujuan utama ekspor energi bagi Rusia, menurut badan Energy Information Administration di AS.
Pada tahun 2021, Rusia mengekspor 49 persen minyak mentah dan kondensatnya dan 74 persen gas alamnya ke Eropa. Singkatnya, Eropa adalah pelanggan energi terbesar negara itu.
Sebagian besar minyak mentah Rusia diekspor ke Belanda, Jerman, dan Polandia sementara sebagian besar gas alam Rusia dikespor ke Jerman, Turki, Italia, dan Prancis.
Maka dari itu, menangguhkan impor minyak dan gas dari Rusia bukanlah keputusan yang mudah bagi Eropa.
Eropa juga memperoleh hampir 25 persen energinya dari gas alam dan pipa Nord Stream 2, yang akan mengalir antara Rusia dan Jerman, serta mempengaruhi impor gas di masa depan.
Rusia pun dikabarkan tengah membahas penghentian aliran gas alam ke Eropa.
Jika penghentian ini benar terjadi, ekonomi Eropa bisa melambat.
Dampak Konflik Rusia-Ukraina pada Ekonomi AS
Ada banyak perusahaan multinasional di AS yang memperoleh pendapatan mereka dari Eropa Timur.
Jika ekonomi Eropa melambat, banyak dari perusahaan ini bisa mengalami penurunan pendapatan.
Perusahaan mana yang paling berisiko? Berikut adalah beberapa berdasarkan pendapatan (sebagai persentase dari total pendapatan) yang sebelumnya beroperasi di Rusia dan Ukraina.
Daftar tersebut mencakup Philip Morris, PepsiCo, Mohawk MHK, McDonald's dan Karnaval Corporation.
Jika konflik Rusia-Ukraina terus berbelit, kerugian pendapatan yang dialami oleh perusahaan-perusahaan AS dapat menurunkan nilai saham.
Tak hanya itu, konflik juga membuat Federal Reserve harus berhati-hati dalam memutuskan kenaikkan suku bunga, mengingat inflasi yang sudah melonjak di AS.
Salah satu contoh, jika The Fed terus memperketat suku bunga, sementara masalah rantai pasokan dan perang belum selesai, ekonomi AS mungkin akan mengalami kontraksi.
The Fed hanya dapat mempengaruhi sisi permintaan dari persamaan inflasi sehingga harus memperhatikan sisi penawaran dengan sangat cermat.
Saat ini, lonjakan inflasi di AS dipicu dari gangguan rantai pasokan selama pandemi Covid-19 dan naiknya permintaan konsumen.
Hal ini juga sangat dipengaruhi oleh kenaikan biaya energi seperti harga minyak, gas alam, dan bensin ditambah harga makanan yang lebih tinggi.
Advertisement