Liputan6.com, Jakarta Di tengah pelemahan ekonomi dunia, pemerintah masih ingin mengejar pertumbuhan ekonomi nasional tahun ini sebesar 5 persen. Meskipun perekonomian pada kuartal I-2022 telah mencapai 5,01 persen (yoy), namun diharapkan pada kuartal selanjutnya tumbuh di atas 5 persen.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bahkan mengakui pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini masih rapuh. Sebab kontribusi terbesar dalam perekonomian nasional yakni konsumsi rumah tangga masih rendah. Pada kuartal I-2022 konsumsi rumah tangga hanya mampu tumbuh 4,3 persen.
Baca Juga
"Komposisi agregat demand kita terutama konsumsi rumah tangga masih sangat dini dan rapuh," kata Sri Mulyani dalam Rapat Kerja dengan Badan Anggaran DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (19/5).
Advertisement
Dia menjelaskan konsumsi rumah tangga sepanjang tahun 2020 mengalami kontraksi -2,6 persen. Kemudian pada kuartal I-2021 masih terkontraksi -2,2 persen dan sepanjang tahun 2021 hanya bisa tumbuh 2,0 persen saja.
"Tahun 2021 pemulihannya hanya 2,0 persen dan di kuartal I-2022 ini 4,3 persen," kata dia.
Sehingga, jika target pemerintah pertumbuhan ekonomi tahun 2022 di atas 5 persen, maka pertumbuhan konsumsi rumah tangga harus lebih kuat lagi. Terlebih saat ini daya beli masyarakat belum juga stabil karena dihadapkan dengan tekanan inflasi.
Maka, upaya yang dilakukan pemerintah saat ini harus bisa menjaga daya beli masyarakat. "Makanya policy fiskal kita ini menjaga momentum pertumbuhan daya beli masyarakat, ini harus dijaga," kata dia.
Pertumbuhan Investasi
Di sisi lain yang harus menjadi perhatian pemerintah yakni pertumbuhan investasi. Per kuartal I-2022 investasi tumbuh 4,1 persen. Lebih baik dari tahun 2021 dalam periode yang sama mengalami kontraksi -0,2 persen namun secara tahunannya mampu tumbuh 3,8 persen.
"Kita harap investasi ini dengan reformasi struktural bisa meningkatkan perekonomian terutama dari sisi pasar keuangan dan pasar modal. Ini bisa mendukung agar pertumbuhan ekonomi tidak tergantung pada konsumsi rumah tangga dan konsumsi pemerintah," kata dia.
Sementara itu, kinerja ekspor terus mengalami tren peningkatan. Pada kuartal I-2022 kinerja ekspor tumbuh 16,2 persen, meningkat signifikan dibandingkan kuartal I-2021 yang tumbuhnya 6,9 persen.
Reporter: Anisyah Al Faqir
Sumber: Merdeka.com
Advertisement
Sederet Tantangan Pertumbuhan Ekonomi RI di 2022 versi Bank Indonesia
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Destry Damayanti mencatat, setidaknya ada tiga tantangan besar yang berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2022. Pertama, normalisasi kebijakan moneter oleh negara maju.
kedua, masih terdapat dampak luka memar (scarring effect) akibat pandemi Covid-19 di sektor rill. Dan ketiga berlanjutnya ketegangan politik antara Rusia dan Ukraina.
"Secara global dampaknya terhadap tekanan inflasi begitu kuat, dan ini harus diwaspadai (Indonesia)," jelas Destry dalam acara Peluncuran Buku Kajian Stabilitas Keuangan No.38 Maret 2022, Jumat (13/5).
Untuk itu, Bank Indonesia terus berupaya menjaga momentum pemulihan melalui penguatan sinergi kebijakan nasional. Termasuk didalamnya kebijakan makroprudensial akomodatif.
Selain itu, bank sentral menekankan pentingnya kebijakan otoritas terkait yang well calibrated, well planned, and well communicated. Hal ini untuk menjawab berbagai tantangan yang masih akan mewarnai pemulihan ekonomi global dan domestik ke depan.
Lebih lanjut, Bank Indonesia berkomitmen melanjutkan bauran kebijakan yang mendukung pemulihan ekonomi nasional, diantaranya melalui kebijakan makroprudensial yang akomodatif dan inovatif bersinergi dengan kebijakan KSSK.
Salah satunya sinergi dalam membangun ekonomi yang inklusif melalui pembiayaan dan gerakan penggunaan produk dalam negeri.
Inflasi
Konflik dua negara tersebut telah berhasil mendorong kenaikan inflasi di berbagai negara dngan cepat. Inflasi di negara-negara maju melonjak di atas 5 persen yakni Amerika Serikat di atas 8 persen dan Eropa diatas 7 persen.
Kenaikan inflasi ini menurutnya ini pasti akan direspon dengan pengetatan kebijakan moneter.
"Kita semua tahu mengenai perang yang terjadi di Ukraina yang menimbulkan spill over atau rambatan yang sangat banyak dan sangat pelik, yaitu jadinya disruption supply dan juga dari sisi kenaikan harga-harga komoditas yang akan memunculkan tantangan yang jauh lebih rumit," paparnya.
Advertisement