5 Juta Buruh Bakal Mogok Kerja di Juli 2023, Turun ke Jalan Tolak UU Cipta Kerja

Organisasi buruh mengancam pemerintah akan mogok kerja dan turun ke jalan pada Juli dan Agustus 2023

oleh Ilyas Istianur Praditya diperbarui 29 Mar 2023, 16:30 WIB
Diterbitkan 29 Mar 2023, 16:30 WIB
Aksi Ratusan Buruh Tolak UU Cipta Kerja
Organisasi buruh mengancam pemerintah akan mogok kerja dan turun ke jalan pada Juli dan Agustus 2023. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta Organisasi buruh mengancam pemerintah akan mogok kerja dan turun ke jalan pada Juli dan Agustus 2023. Aksi ini dilakukan sebagai tindak protes para buruh terhadap UU Cipta Kerja dan Permenaker Nomor 5 Tahun 2023, tentang Penyesuaian Waktu Kerja dan Pengupahan pada Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu Berorientasi Ekspor yang Terdampak Perubahan Ekonomi Global.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyatakan menjelaskan wilayah yang akan mengikuti mogok nasional meliputi 38 Provinsi di lebih dari 400 kab/kota dan melibatkan 100 ribu pabrik dan perusahaan. Adapun jumlah buruh yang akan bergabung dalam mogok nasional yang meluas ini adalah 5 juta orang.

“Mereka berasal dari berbagai sektor. Seperti elektronik, otomotif dan komponennya, industri baja, perkebunan, transportasi, kimia, energi, pertambangan, penerbitan, percetakan, media informasi, farmasi, rumah sakit di luar jam kerja, industri alat kesehatan, tekstil, garmen, sepatu, makanan, minuman, sebagian perbankan, pelabuhan, sopir-sopir, dan industrui manufaktur lainnya,” katanya seperti ditulis, Rabu (29/3/2023).

"Bentuk aksi di daerah adalah meminta Gubernur, Bupati, Walikota bersama DPRD setempat membuat surat rekomendasi resmi yang ditujukan Presiden dan DPR RI. Menyatakan penolakan UU Cipta Kerja menolak Pemenaker No 5 Tahun 2023 yang memperbolehkan pemotongan upah 25 persen," pungkasnya.

Seperti di Perancis

Said Iqbal menambahkan, mogok nasional ini akan meluas seperti yang terjadi di Perancis. Dimana para buruh akan menghentikan proses produksi kemudian keluar dari tempat kerja menuju satu titik yang ditentukan.

Namun, ia mengatakan bahwa sikap ini bukan mogok kerja nasional, tapi aksi penolakan. Dalam hal ini, serikat buruh akan mengintruksikan aksi dengan menghentikan produksi, keluar dari pabrik, lalu bergerak ke satu titik.

“Aksi ini diinstruksikan oleh serikat pekerja. Menginstruksikan stop produksi, kemudian melakukan aksi seperti yang selama ini biasa kami lakukan. Bedanya, kalau biasanya yang ikut aksi hanya perwakilan, sekarang tidak lagi diwakilkan,” ujarnya.

“Tidak ada alasan pengusaha melarang. Kalau perusahaan melarang, kami akan tuntut. Karena aksi kami dilindungi Undang-Undang,” tegas Said Iqbal.

Kumpul di Pabrik hingga Gelar Demo

Bentuk kegiatan dari mogok kerja nasional ini adalah berkumpul di depan pabrik, stop produksi, dan sebagain besar yang mogok nasional mendatangi kantor pemerintah. Di Jakarta akan dipusatkan di tiga titik, Istana, DPR RI, dan Mahkamah Konstitusi.

Sedangkan yang lain melakukan stop produksi dan mendatangi Kantor Gubernur atau Bupati/Walikota di daerah masing-masing.

Komisi IX DPR: Pro Kontra UU Cipta Kerja Hal Wajar

Pemerintah dan DPR Sepakat Bawa Perppu Cipta Kerja ke Sidang Paripurna
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyalami sejumlah orang usai menandatangani draft Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (15/2/2023). Baleg DPR menyetujui untuk membawa Perppu Cipta Keria ke Paripurna dan disahkan menjadi Undang-Undang (UU). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Anggota Komisi IX DPR Rahmad Handoyo mengajak masyarakat menghormati produk politik dan hukum yang sudah pemerintah dan parlemen sahkan, termasuk Undang-Undang Cipta Kerja.

Kalau pun menolak, masyarakat bisa mengambil mekanisme judicial review di Mahkamah Konstitusi.

"Keputusan sudah diambil. Apapun keputusannya sudah tentu ini adalah produk politik hukum yang harus dihormati bersama," kata Rahmad, Senin (27/3/2023).

Menurut Rahmad, pro dan kontra pengesahan Perppu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang merupakan sesuatu yang wajar dalam kehidupan negara demokrasi seperti Indonesia. "Kita maklum, kita pahami masih banyak penolakan," kata Rahmad.

Politikus PDI Perjuangan ini memberikan solusi untuk meredam masih banyaknya penolakan pengesahan Perppu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.

 

Sosialisasi

FOTO: Sejumlah Menteri Kabinet Indonesia Maju Hadiri Paripurna Pengesahan UU Ciptaker
Sejumlah menteri kabinet Indonesia Maju foto bersama Pimpinan DPR usai pengesahan UU Cipta Kerja pada Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Jakarta (5/10/2020). Rapat tersebut membahas berbagai agenda, salah satunya mengesahkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi UU. (Liputan6.com/JohanTallo)

Pemerintah melakukan sosialisasi secara masif terkait seluruh isi Undang-Undang. Seluruh elemen dari konfederasi pekerja, akademisi dan mahasiswa harus dilibatkan dalam penyusunan peraturan pemerintah terkait UU Cipta Kerja.

"Misal, masyarakat dilibatkan terkait aturan alih daya yang dibatasi. Dibatasi macam apa nanti yang dikehendaki? Baru diajdikan peraturan pemerintah. Ini tentu bisa akomodir pihak yang menolak. Dari pekerja dilibatkan, akademisi dilibatkan, itu bisa meminimalkan rasa ketidaksetujuan, sedikit mengobati dan menerima," kata Rahmad.

Berikutnya tentu lanjut Rahmad bagi pihak yang masih kontra disarankan agar menjalani proses hukum melalui judicial review ke Mahkamah Konstitusi.

"Kepada para pihak baik mahasiswa, pekerja, akademisi masih tidak setuju, kita hormati karena ini demokrasi. Tapi Perppu sudah disahkan menjadi UU, satu tahap sudah dilalui. Setiap negara wajib menaati, tetapi masih ada tahap judicial review ke MK, silakan kita hormati. Tetapi catatan apapun putusan MK nanti harus juga ditaati oleh semua pihak," kata Rahmad.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya