Belum Ada Bank Syariah yang Mampu Saingi BSI, Mengapa?

Pada 2021, merger dari Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, dan BRI Syariah menghasilkan aset sekitar Rp 240 triliun. Aset BSI pun kembali bertumbuh sekitar Rp 120 triliun.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 24 Agu 2024, 13:45 WIB
Diterbitkan 24 Agu 2024, 13:45 WIB
FOTO: Pelayanan Bank Syariah Indonesia Usai Diresmikan Jokowi
Nasabah menunggu di kantor cabang Bank Syariah Indonesia, Jakarta Selasa (2/2/2021). Dirut BSI Hery Gunardi menjelaskan bahwa integrasi tiga bank syariah BUMN yakni Bank BRI Syariah, BNI Syariah, dan Bank Syariah Mandiri telah dilaksanakan sejak Maret 2020. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus mendorong konsolidasi industri perbankans syariah untuk mewujudkan kehadiran 2 hingga 3 bank umum syariah (BUS) besar secara aset.

Diketahui, PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS) atau BSI menguasai industri perbankan syariah dengan aset sebesar Rp 360,85 triliun terhitung pada semester I-2024.

Kabar terbaru, PT Bank Tabungan Negara (Persero) hampir menyaingi BSI menyusul laporan beberapa waktu lalu bahwa bank pelat merah tersebut hendak spin off menjadi bank umum syariah (BUS) dan mengakuisisi PT Bank Muamalat Indonesia Tbk. (BMI).

Namun rencana akusisi tersebut batal.

Kemudian, muncul laporan yang menyebutkan BTN Syariah beralih ke opsi mengakuisisi PT Bank Victoria Syariah (BVS), yang memiliki aset senilai Rp 3,12 triliun per Mei 2024.

Kepala Departemen Perbankan Syariah OJK, Deden Firman hendarsyah mengungkapkan bahwa pihaknya tidak ingin memaksa bank syariah dalam negeri untuk melakukan penggabungan.

Ia pun mengakui proses konsolidasi memang tidak mudah. Konsolidasi antara entitas harus bersifat business to business (b2b), dan perlu mempertimbangkan bentuk bisnis seperti apa yang diinginkan untuk ke depannya.

"Apabila kemudian suatu bank konsolidasi, maka kemudian kami fasilitasi, kami juga support," ujar Deden di Jakarta, Jumat (23/8/2024).

"Sehingga akan kembali kepada entitas bank itu atau memilih partner yang mana, karena sinergi yang diharapkan," katanya.

Deden pun menyoroti besarnya kemajuan yang dibuat BSI. Pada 2021, merger dari Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, dan BRI Syariah menghasilkan aset sekitar Rp 240 triliun. Aset BSI pun kembali bertumbuh sekitar Rp 120 triliun.

"Ada pertumbuhan organik yang bisa dari merger itu dihasilkan sinergi," imbuhnya.

Dijelaskannya, Peraturan OJK (POJK) memberikan wewenang otoritas untuk meminta bank melakukan konsolidasi, jika Unit Usaha Syariah (UUS) mereka tidak berkembang dan tidak mencatat pertumbuhan.

"Bagaimanapun, UUS itu harus satu entitas kemudian pada saat spin off, hasilnya satu bank baru yang merupakan anak usaha dari induknya. Sehingga dia masih terkait dari induknya pada saat spin off. Itu ada ketentuan bahwa bank hasil spin off minimal modalnya itu Rp1 triliun," jelas dia.

 

Edukasi dan Riset Ekonomi Syariah Indonesia Tertinggi di Dunia

Kepala Departemen Perbankan Syariah OJK, Deden Firman Handarsyah dalam FORWADA DISCUSSION SERIES 2024  yang Mengusung Tema “Peluang dan Tantangan Konsolidasi Industri Perbankan Syariah”, Jumat (23/8/2024). (Tasha/Liputan6.com)
Kepala Departemen Perbankan Syariah OJK, Deden Firman Handarsyah dalam FORWADA DISCUSSION SERIES 2024 yang Mengusung Tema “Peluang dan Tantangan Konsolidasi Industri Perbankan Syariah”, Jumat (23/8/2024). (Tasha/Liputan6.com)

Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan bahwa sektor keuangan dan ekonomi syariah di Indonesia memiliki keunggulan yang belum banyak dimiliki negara lain di dunia.

Kepala Departemen Perbankan Syariah OJK Deden Firman Handarsyah mengatakan, keunggulan ekonomi syariah ini berada pada bidang edukasi dan riset.

“Indonesia tertinggi di dunia untuk kategori edukasi dan riset,” kata Firman di Jakarta, Jumat (23/8/2024).

Firman membeberkan, jumlah program studi (prodi) keuangan dan ekonomi syariah di universitas-universitas Indonesia sudah melebihi 200 prodi di seluruh negeri.

“Karena itu, kita unggul disini,” ujar dia.

Bahkan, sejumlah besar tulisan-tulisan dan jurnal yang dimuat termasuk di perguruan internasional tentang ekonomi dan keuangan syariah berasal dari Indonesia, tambah Firman.

Dengan besarnya ekosistem ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia, Firman optimis, sektor tersebut dapat menciptakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang kompetitif ke depannya.

”Artinya mudah-mudahkan ke depan memang ekonomi dan keuangan syariah akan memiliki sumber daya manusia yang kita harapakan bersama,” pungkasnya. 

Sederet Tantangan Ekonomi Syariah di Indonesia

Deputi Gubernur BI, Juda Agung dalam opening ceremony Festival ekonomi dan keuangan syariah (FEKSyar) di Kawasan Timur Indonesia (KTI), di Kendari, Senin (8/7/2024). (Foto: Liputan6.com/Tira Santia)
Deputi Gubernur BI, Juda Agung dalam opening ceremony Festival ekonomi dan keuangan syariah (FEKSyar) di Kawasan Timur Indonesia (KTI), di Kendari, Senin (8/7/2024). (Foto: Liputan6.com/Tira Santia)

Indonesia sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia bukan saja memiliki potensi ekonomi syariah yang luar biasa, tetapi Indonesia memiliki tanggung jawab untuk menjadi kiblat bagi inovasi pengembangan ekonomi syariah ke depan.

Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Juda Agung mengatakan, namun di tengah berbagai kemajuan yang telah dicapai dalam pengembangan ekonomi dan keuangan syariah, masih ada 4 tantangan yang perlu diselesaikan.

Tantangan pertama, masih tingginya ketergantungan Indoneisa terhadap bahan baku halal dari luar negeri, baik itu daging maupun bahan-bahan turunan seperti emulsifier yang banyak digunakan dalam industri makanan.

"Sementara itu, daging potong yang disembelih di rumah potong hewan di dalam negeri pun belum semua memiliki sertifikasi halal," kata Juda dalam opening ceremony Festival ekonomi dan keuangan syariah (FEKSyar) di Kawasan Timur Indonesia (KTI), di Kendari, Senin (8/7/2024).

Kedua, rendahnya pangsa keuangan syariah, hal ini antara lain disebabkan oleh inovasi produk keuangan syariah yang terbatas dan basis investor keuangan syariah yang belum kuat.

"Bahkan beberapa kalangan seringkali belum sepenuhnya terliterasi dengan baik terhadap produk keuangan syariah, sehingga terkadang mereka beranggapan bahwa keuangan syariah atau bank syariah sama dengan bank konvensional. Ini yang terus perlu terus kita luruskan dan kita lakukan edukasi," ujarnya.

Potensi Pasar

Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Juda Agung dalam Festival ekonomi dan keuangan syariah (FEKSyar) di Kawasan Timur Indonesia (KTI).
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Juda Agung dalam Festival ekonomi dan keuangan syariah (FEKSyar) di Kawasan Timur Indonesia (KTI). (dok: Tira)

Tantangan ketiga, yakni potensi pasar yang besar baik dari dalam negeri dan luar negeri belum tergarap dengan baik. Misalnya modest fesyen. DI mana potensi Indonesia sangat besar untuk menjadi pusat modest fesyen dunia di Indonesia.

"Kita lihat semakin banyak negara yang bukan mayoritasnya muslim seperti Jepang, Korea dan sebagainya yang mulai membuka wisata ramah muslim mereka membuka restoran-restoran yang halal ya keperluan-keperluan para traveler dari muslim ini juga tentu saja akan membuka permintaan membuka peluang bagi produk-produk halal," ujarnya.

Keempat, masih rendahnya literasi ekonomi syariah. Berdasarkan hasil survei Bank Indonesia yang terakhir dilakukan di 10 provinsi menunjukkan literasi keuangan ekonomi syariah masih 28 persen. Artinya dari 100 orang Indonesia baru 28 orang yang memahami mengenai ekonomi dan keuangan syariah.

"Tentu saja target ke depan 2025 sebesar 50 persen perlu kita terus upayakan," pungkasnya. 

  

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya