Liputan6.com, Jakarta - Perairan Natuna di Kepulauan Riau kembali memanas usai penangkapan kapal nelayan milik Tiongkok oleh pemerintah Indonesia. Kondisi memanas setelah pemerintah Tiongkok mengklaim bahwa nelayannya masih berada di wilayah teritorial Laut China Selatan.
Semuanya berawal Sabtu 19 Maret lalu, ketika kapal pengawas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Hiu 11 yang tengah berpatroli mendeteksi pergerakan kapal ikan ilegal dari Tiongkok, Kway Fey 10078.
Pada pukul 14.15 WIB di hari tersebut, Kway Fey 10078 tercatat berada di sekitar koordinat 5 derajat Lintang Utara dan 109 derajat Bujur Timur yang merupakan kawasan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI).
Advertisement
Akibat pelanggaran tersebut, Hiu 11 mulai mengejar sambil melepaskan tembakan peringatan, tetapi kapal Kway Fey melarikan diri, antara lain dengan bermanuver zig-zag.
Namun sekitar pukul 15.00 WIB, kapal ikan ilegal tersebut berhasil dihentikan dan petugas KKP segera menginjak geladak kapal Kway Fey serta menahan delapan awak buah kapal itu.
Kemudian, saat KM Kway Fey akan dibawa petugas KKP, tiba-tiba datang kapal Penjaga Pantai Tiongkok yang datang mendekat dan menabrak Kway Fey, dengan dugaan agar kapal ikan asal Tiongkok tersebut tidak bisa dibawa ke daratan Indonesia.
Untuk menghindari konflik, petugas KKP meninggalkan Kway Fey dan kembali ke KP Hiu 11 dan hanya berhasil membawa delapan ABK.
Sampaikan Nota Protes
Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi pun bergerak cepat dengan memanggil pihak Kedutaan Besar Tiongkok untuk Indonesia dan menyampaikan nota protes terkait tindakan kapal penjaga pantai dan laut (coast guard) Tiongkok yang melindungi kapal pencuri ikan.
"Jadi tadi pagi saya memanggil kuasa usaha sementara kedutaan besar Tiongkok di Jakarta karena duta besar sedang berada di Beijing dan kami menyampaikan fakta-fakta yang diperoleh dari lapangan," ujar Retno di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin lalu.
Retno mengatakan, kepada pihak kedubes Tiongkok, ia mempertanyakan 3 hal mengenai insiden yang terjadi di wilayah laut Natuna. Pertama mengenai masalah pelanggaran hak berdaulat dan yurisdiksi Indonesia di kawasan ZEE dan landas kontinen.
Kedua, mengenai tindakan yang dilakukan oleh Coast Guard Tiongkok mencegah upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh otoritas Indonesia di wilayah ZEE dan landas kontinen.
"Dan ketiga, tentu keberatan kita atau protes kita terhadap pelanggaran kedaulatan laut teritorial Indonesia. Jadi tiga hal itu sudah kami sampaikan kepada kuasa usaha sementara kedutaan besar Tiongkok," ucap Retno.
Bantahan dari Tiongkok
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok Hua Chunying pada Senin lalu mengatakan, insiden terjadi di wilayah perikanan negara itu. Hua justru mengatakan kapal mereka diserang dan dilecehkan oleh kapal bersenjata Indonesia.
Tiongkok selama ini mengklaim lebih dari 80 persen kawasan Laut China Selatan, berdasarkan sembilan garis putus-putus yang tak memberikan koordinat yang tepat. Langkah China tersebut memicu sengketa dengan Vietnam, Filipina, Brunei dan Malaysia yang juga mengklaim pulau-pulau di dalam garis yang dibuat China.
Pada 2012, Cina mengeluarkan paspor yang menunjukkan sembilan garis putus-putus melanggar batas zona ekonomi eksklusif dari Kepulauan Natuna, tapi bukan pulau itu sendiri. Namun, Indonesia tak mengakui klaim itu.
Hingga kini, Indonesia masih menunggu jawaban dari pemerintah Tiongkok terkait insiden di Kepulauan Natuna itu.
"Kami sudah mengirimkan nota protes, kini kita masih menunggu jawabannya (dari pemerintah Tiongkok)," kata Retno Marsudi di Jakarta, Kamis (24/3/2016).
Sementara Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, Arrmanatha Nasir mengatakan, protes keras yang disampaikan Marsudi terkait insiden di Natuna itu sudah sesuai fakta dan hukum internasional.
Namun, Nasir juga mengatakan, "Dalam hubungan dua negara pasti ada hal-hal di luar dugaan yang terjadi, dan setiap masalah perlu ditangani secara terukur," ujar dia
Walau bukan serangan terhadap kapal berbendera Indonesia, tindakan menyeduruk kapal ikan ilegal Tiongkok oleh kapal patroli Penjaga Pantai negara itu dengan petugas resmi Indonesia sedang berada di kapal ikan itu menimbulkan keprihatinan banyak negara di kawasan, di antaranya Jepang.
TNI Siaga Penuh
Sementara itu, mengantisipasi situasi yang memanas, TNI Angkatan Laut menyiagakan kapalnya di wilayah Kepulauan Natuna.
"Kita kan ada kapal di sana, sudah stand by," ucap Kepala Staf TNI AL (KSAL) Laksamana TNI Ade Supandi di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Selasa lalu.
Sampai saat ini TNI AL belum mempertimbangkan penambahan pasukan untuk diterjunkan, namun jika situasi memaksa, maka Panglima TNI akan memerintahkan penambahan pasukan.
"Kekuatan itu nanti kan Panglima yang menentukan. Tergantung kondisinya," ucap Ade.
Yang jelas, sampai saat ini permasalahan dengan Tiongkok hanya sebatas pada permasalahan perikanan. Bukan masalah kedaulatan wilayah NKRI. "Tapi ini kan baru semacam konflik perikanan ya. Jadi diselesaikan dulu dalam konteks perikanan," ucap dia.
Tak hanya TNI AL, seluruh pesawat tempur yang ada di Lapangan Udara Roesmin Nurjadin Pekanbaru juga bersiaga menyikapi gesekan di Laut China Selatan.
Komandan Lanud RSN Pekanbaru Marsma Hendri Alfiandi menyatakan, pihaknya 100 persen siap mengawal kedaulatan NKRI apabila Tiongkok benar-benar mengerahkan pesawat tempur.
"Kita pasti mendapatkan perintah ke sana untuk mengamankan dan siaga 100 persen," tegas Hendri di Pekanbaru.
Hendri menyatakan, semua pesawat di Lanud Roemin, baik Hawk ataupun F-16 mampu mencapai kawasan perbatasan laut di Natuna. "Tetapi, penugasan tergantung Pangop (Panglima Operasi) TNI AU," ucap dia.
Hendri menyebutkan, Lanud Roesmin mempunyai tiga skuadron udara. Satu di antaranya skuadron teknik dengan kekuatan Pesawat Hawk dan F-16.
Sikap tegas pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri serta langkah antisipasi TNI layak diapresiasi. Hidup berdampingan secara harmonis dengan negara lain tentu menjadi keinginan semua bangsa. Tapi, kehormatan di atas segala-galanya.