Liputan6.com, Pyongyang - Sejak lama Korea Utara dianggap sebagai sebuah negara miskin. Nyaris tak ada yang menduga bahwa sejatinya Korut jauh lebih tajir dibanding yang dipikirkan banyak orang, atau setidaknya negara itu memiliki potensi untuk menjadi kaya.
Bagaimana tidak? Negara yang didirikan oleh Kim Il-sung tersebut ditaksir memiliki sumber daya mineral senilai US$ 6 triliun! Demikian seperti dilansir News.com.au yang mengutip Quartz, Selasa (4/7/2017).
Korut dikabarkan memiliki berbagai sumber daya mineral yang sebagian besar belum dimanfaatkan, seperti besi, emas, magnesium, seng, tembaga, batu kapur, molibdenum, dan grafit. Batuan dasarnya juga mengandung sejumlah besar logam yang dibutuhkan untuk membuat ponsel pintar dan produk teknologi lainnya.
Advertisement
Kepastian mengenai nilai sumber daya mineral Korut tak diketahui mengingat kerahasiaan yang terjaga dan sulitnya mengakses informasi.
Angka US$ 6 triliun merupakan perkiraan dari perusahaan tambang milik Korea Selatan. Sementara itu, sebuah lembaga penelitian Korsel menduga nilai sumber daya mineral Korut mendekati US$ 10 triliun.
Meski demikian, ahli Korut Leonid Petrov mengatakan, estimasi US$ 6 triliun tidak realistis. Di lain sisi, ia mengakui, angka pastinya sulit untuk diverifikasi.
Baca Juga
Kepada News.com.au, Petrov menjelaskan bahwa sejatinya Korut memiliki persediaan sumber daya alam yang besar. Selama beberapa dekade, menurut Petrov, Pyongyang mengekspor mineral ke sekutunya seperti China dan Rusia, tetapi sanksi internasional telah membatasi kegiatan tersebut.
Kurangnya peralatan pertambangan yang sesuai dan pembeli potensial untuk mineral langka membuat situasinya semakin sulit bagi Korut. Petrov berpendapat, China berkepentingan untuk menjaga perdagangan dengan Korut dan Tiongkok sangat tertarik untuk mempertahankan monopoli di sejumlah area tertentu.
"China tertarik untuk menjaga Korut sebagai pasar tertutup... Korut sangat kaya sumber daya alam. Sementara mereka memiliki teknologi, mereka tidak punya investasi asing dan investasi modal yang kuat," terang Petrov.
Sanksi internasional yang berat juga mempersempit ruang gerak Korut. Petrov menekankan, perdagangan menggunakan emas atau uang tunai bukanlah hal menarik bagi investor asing.
Pertambangan diyakini tetap penting bagi perekonomian Korut, dan banyak ahli percaya bahwa sektor itulah yang mendukung belanja militer Pyongyang.
Quartz dalam laporannya menyebutkan, penambangan swasta ilegal di Korut. Sekitar 14 persen ekonomi negara itu berasal dari sumber daya pertambangan bawah tanah.
Pada April lalu, Lloyd R. Vasey, seorang penasihat senior di CSIS mencatat, "Produksi pertambangan Korut menurun signifikan sejak awal 1990-an. Kemungkinan tingkat rata-rata operasional fasilitas tambang di bawah 30 persen dari kapasitas. Ada kekurangan peralatan tambang dan Korut tidak dapat membeli yang baru karena buruknya situasi ekonomi..."
Selama ini, China terlibat 90 persen perdagangan luar negeri Korut. Sejumlah bank dan perusahaan Tiongkok dikabarkan memberikan akses ke sistem keuangan internasional yang didominasi Amerika Serikat.
Belakangan, ulah Korut semakin membuat tetangganya ketar-ketir. Negara itu kian intens melakukan uji coba rudal dan nuklir.
Tahun 2017 saja, Pyongyang dikabarkan telah melakukan uji coba 12 rudal dalam sembilan kali peluncuran, sementara tahun lalu pada periode yang sama jumlahnya tercatat 10 kali.
Teranyar, Korut baru saja meluncurkan misil pada hari ini. Rudal dikabarkan jatuh di perairan Zona Ekonomi Eksklusif Jepang. Belum ada rincian terkait jenis rudal yang ditembakkan dari sebuah provinsi di utara Pyongyang tersebut.
Tak hanya negara tetangga yang khawatir dengan aktivitas uji coba rudal atau nuklir Korut, tetapi AS juga. Pasalnya, Korut berupaya menyempurnakan rudal antarbenua (ICBM) yang disebut-sebut mampu menjangkau sejumlah kota di AS.
Pada Maret lalu, PBB dengan suara bulat merilis sebuah resolusi yang memperluas sanksi terhadap Korut sebagai upaya untuk menghentikan program rudal dan nuklir negara itu. China, sebagai sekutu, ikut-ikutan melarang impor emas dari Korut.
Tak sampai di situ, Beijing juga melarang ekspor bahan bakar pesawat dan produk minyak lainnya yang digunakan untuk membuat bahan bakar peluncur.
Dan baru pekan ini, Presiden Donald Trump mendesak seluruh negara untuk bergabung bersama AS menjatuhkan sanksi terhadap Korut. Trump meminta Pyongyang untuk "memilih jalan yang baik dan masa depan yang berbeda bagi rakyat yang lama menderita serta melakukannya dengan cepat".